8.

1494 Words
Ini bukan pilihan, Tapi paksaan, Pilihanku hanya satu, Berlari sejauh yang kumau. _______________      Meskipun wajahnya sudah dirias sedemikian rupa tapi Elsa tetap murung, ia menatap tajam pantulan dirinya lewat cermin berbentuk persegi yang menempel pada meja rias dengan masing-masing sisi menempel tiga buah lampu yang berpendar. Elsa tak suka warna apapun yang menempel pada wajahnya, semua itu hanya semu. Dia ingin warna lain, warna yang sesungguhnya dan bukan polesan semata.      Kesepuluh kuku jemarinya juga ikut dipoles secantik mungkin, hari ini Elsa akan melakukan sesi pemotretan sebuah produk cat kuku dengan brand terkenal, terserah apa namanya karena semua itu tidak penting baginya. Dua roll rambut masih menggulung bagian atas rambutnya, andai dia punya jubah penghilang pasti akan dipakainya sekarang juga.      "Tadi yang anter kamu itu si Bagas, kan, El?" tanya Ayu—asisten Elsa yang selalu persiapkan apapun untuk sesi pemotretan gadis itu, Ayu gadis usia dua puluh lima yang berhijab dan kini sedang merampungkan urusan rambut Elsa.      Elsa menatap pantulan wajah Ayu lewat kaca, "Iya, Mbak. Itu Bagas, teman sekelas Elsa. Anaknya Tante Monica," balas gadis itu selengkap mungkin.      "Pantas ya bisa antar kamu ke mana-mana, soalnya Mama kamu dekat sama Bu Monica itu," ujar Ayu seraya melepas roll dari rambut Elsa.      Elsa menghela napas kasar, "Iya kayak gitu deh, tahu sendiri Mama orangnya kayak gimana, bolehnya dekat sama anak teman-teman dia aja. Padahal Elsa maunya berteman sama siapa aja," gerutunya lalu menggaruk dagu.      "Namanya juga Ibu, El. Ya kayak gitu, pasti Bu Mentari maunya yang paling baik buat Elsa, maunya Elsa punya teman yang sepadan."      "Tapi semua orang di mata Tuhan itu sama, Mbak. Elsa maunya kayak gitu, bukan pilih ini pilih itu, coba kalau Elsa terlahir dari keluarga yang sederhana terus dipandang orang lain nggak cocok berteman sama orang berada emangnya nggak sakit hati?"      Ayu mengulas senyumnya setelah mendengar penuturan bijak itu, "Sabar, Elsa sabar."      "Setiap hari sih Elsa sabar."      Seseorang membuka pintu ruang rias Elsa, ternyata Mentari yang kini berdiri di ambang pintu.      "Elsa udah selesai belum, lima belas menit lagi ya? Ada teman Mama yang mau ketemu sama kamu."      Elsa menoleh, "Iya sebentar lagi." ______________      Satria mengela napas kasar, tidak biasanya dia begini. Menuruti setiap ucapan ayahnya yang meminta Satria untuk datang ke sebuah acara penting, bahkan pakaian yang harus Satria kenakan sengaja dikirim ke tempat kostnya. Tangan kanan Satria menggulung lengan kemeja warna biru navy itu hingga mendekati siku, setelah itu lengan lainnya.      Dia melepas kedua tindiknya seraya menatap pantulan diri pada kaca oval yang menempel di dinding kamar, Satria merasa berbeda setelah melepas kedua benda itu.      Satria menyugar rambutnya, "Kayak cupu nggak sih," gumamnya.      Segera dia duduk di atas ranjang dan membungkuk memakai sepatunya, dia menoleh setelah ponselnya yang berada di atas bantal bergetar. Satria menyelesaikan urusan sepatunya dan barulah dia meraih benda itu, ada sebuah chat. Papa tunggu di hotel Grand Aquila.      Satria berdecak, dia memasukan ponselnya pada saku celana dan beranjak meraih helm serta kontak motor di atas nakas, sambil berjalan keluar dari kamar kost dia mengenakan helmnya lalu mengunci pintu.      Sedangkan di tempat berbeda gadis itu sedang berpose secantik mungkin, dia tengah menghadapi kamera dan mengambil posisi duduk di sebuah sofa dengan meja bundar yang dipernis begitu cantik di depan Elsa, salah satu tangannya bertopang dagu dan menunjukkan warna cat kuku yang ia pakai. Tangan lainnya menyentuh gelas bening. Gadis itu tak memasang senyum, sekadar menatap kamera dengan sorot mata tajam.       Sampai lima kali dia berganti gaya, dan semua hasilnya memuaskan. Usai photo shoot selesai Elsa bergegas menuju ruang riasnya, dia menarik laci meja rias dan mengambil ikat rambut, segera Elsa yang merasa kepanasan mengikat rambutnya tinggi. Tanpa menunggu Ayu atau lainnya Elsa membersihkan riasan tebal pada wajah menggunakan kapas dan micellar water yang ia teteskan dari botol kecil. Elsa mengusap semuanya sampai ke bibir yang kemerahan oleh lipstik, kini terlihat rona merah muda asli pada bibir gadis itu.      Kini terlihatlah wajah natural Elsa yang tetap saja cantik, dia melihat kuku-kukunya dan berdecak.      "Ah, ini ntar aja deh gue hapus di rumah. Sekarang ribet," ujarnya.      Mentari masuk ke dalam ruang rias Elsa, "Ayo, El. Mama mau ketemu teman Mama di Grand Aquila."       Elsa memutar bola mata jengah, "Harus yah, Ma. Elsa capek pengin pulang," keluh gadis itu, sorot mata Elsa jelas menunjukan jika dia mengantuk berat.      "Sebentar aja kok, El. Habis pertemuan itu kita pulang, di sana banyak klien Mama dan bawa anak mereka, masa Mama nggak bawa kamu."      Please deh, ini tuh berasa kayak kondangan anak kecil. Batin Elsa kesal, "Oke, aku bakal ikut, Mama tunggu aja di luar, cuma sebentar kok."      "Oke, Mama tunggu di luar, di mobil." Lalu Mentari keluar dari ruangan itu.      Segera gadis itu beranjak dan meraih jaket jeans yang menggantung di antara beberapa dress miliknya, tatapannya turun ke bawah, tepat pada heels yang ia kenakan. Elsa berjongkok dan melepasnya, ia menggantinya dengan sneakers putih. Barulah Elsa mengenakan jaketnya dan meraih sling bag di atas meja rias lalu beringsut keluar dari ruangan itu.       Usai keluar dari lokasi pemotretan, Elsa menghampiri mobil milik Mentari dan duduk di sisinya. Sengaja Jojo dan Marko dibiarkan tidak menjemputnya malam ini, Mentari ingin pergi berdua bersama sang putri. Wanita itu menatap jaket dan sepatu yang Elsa kenakan.      "Lho, kok malah ganti sih? Kan udah bagus yang tadi," protesnya.       "Dingin, lagian kaki Elsa lama-lama bisa sakit kalau pakai heels terus, Ma. Cepetan deh, udah ngantuk banget ini."      Mentari hanya menghela napas lalu mulai memutar kontak mobilnya dan menghidupkan mesin, kakinya menginjak gas hingga mobil meluncur ke jalan raya.       Rupanya waktu lima belas menit bisa ditempuh mencapai hotel yang dituju, mobil masuk area parkir. Mentari melepas seat belt yang melingkar pada tubuhnya lalu turun dari mobil, sedangkan gadis itu masih sibuk dengan ponselnya.      "Cepat ya, El. Mama mau masuk dulu," pamit Mentari.      Elsa menoleh, "Ng ... iya, iya nanti juga ke sana kok," balasnya.      Mentari sudah melangkah pergi, tapi gadis itu masih saja santai dan tak ada pergerakan untuk keluar dari mobil, dia begitu asyik mendengarkan musik lewat headset pada kedua telinganya.      Namun kesenangannya terganggu saat ponselnya berubah bunyi menjadi nada dering panggilan masuk, setelah Elsa lirik ternyata dari Mentari.      Gadis itu berdecak dan memutar bola mata, "Apaan sih Mama, baru juga keluar udah diganggu aja!" keluh Elsa, dia tak menjawab panggilan Mentari lantas melepas seat belt dan turun dari mobil.      Elsa melangkah tanpa memerhatikan jalan di depannya, dia asyik membalas pesan chat dari beberapa temannya juga telinga yang terusik oleh alunan musik. Kaki yang seperti punya mata itu menapaki sekitar lima tangga agar mencapai beranda hotel, nyatanya kaki Elsa sama sekali tak tersandung meski matanya fokus pada benda lain.      "Aduh! Hati-hati dong!" pekik Elsa yang kesal karena baru saja ponselnya hampir terjatuh, seseorang melewatinya dari samping tapi tak sengaja menyenggol lengan gadis itu cukup keras.      Laki-laki itu menoleh, mereka saling tatap. Elsa membeku di tempatnya, dia tak percaya dengan penglihatannya karena seseorang yang berada di depannya ternyata adalah Satria. Matanya meneliti penampilan Satria dari ujung kaki hingga kepala, benar-benar rapi dan jauh berbeda ketika memakai seragam sekolah. Tak ada tindik serta slayer di sana.      "Harusnya lo yang hati-hati, jalan itu fokusnya ke depan, bukan ke hape," cibir Satria lalu tersenyum miring.      Kening Elsa mengernyit, "Kok gue yang salah? Itu tuh elo tadi, kan elo yang jalan di belakang gue tadi. Jangan main salah-salahin orang dong," balas Elsa ketus.      "Cewek emang nggak pernah mau disalahin biar pun salah, udah biasa ketemu cewek kayak lo."      "Maksud lo apa, hm?"      "Pikir aja sendiri, gue banyak urusan." Lekas Satria menyudahi perdebatan mereka dan masuk ke dalam hotel meninggalkan Elsa bersama rasa kesalnya.      "Dasar cowok—" Elsa tak melanjutkan bicaranya, tiba-tiba terbesit sesuatu dalam pikirannya. "Itu cowok ngapain di sini? Mana rapi bener. Masa iya sih bad boy kayak dia jadi salah satu tamu di sini," asumsi Elsa.      Lekas Elsa juga beringsut masuk ke dalam dan melangkah di area lobi yang ternyata cukup ramai, terlihat orang-orang berpakaian rapi seperti dirinya, tercampur aroma macam-macam parfum yang menguar, Elsa mengedarkan pandangannya mencari sosok Mentari.      Namun dia mendapati sosok lain yang cukup menarik perhatiannya, masih dengan Satria yang sedang berbicara dengan seorang gadis, mereka tampak akrab. Sialnya Elsa sama sekali tak mengenali gadis itu, mereka berdiri sekitar dua meter dari Elsa dengan posisi berhadapan dan wajah mereka cukup terlihat dari samping, meski banyak orang berlalu-lalang.      Elsa masih saja memerhatikan interaksi dua manusia itu, apalagi sang gadis sesekali tertawa. Elsa sampai tak sadar jika ponselnya terus saja berbunyi akibat panggilan dari Mentari.      Tiba-tiba Satria menoleh, mereka kembali bertatapan. Senyum miring Satria kembali muncul, cukup membius. Entah sengaja atau tidak laki-laki itu memeluk pinggang gadis di depannya dan membuat Elsa sontak memalingkan pandangan, gadis itu beringsut pergi dari tempatnya berdiri tadi. Benar-benar pemandangan yang menyakitkan mata. _______________
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD