Gleiche Natur

1038 Words
"Petugas Penerbangan, pintu tertutup, geser lengan, dan lapor." Suara Arka menggema di seluruh penjuru kokpit maupun kabin pesawat. Hari ini ia harus memulai aktivitasnya seperti biasa, yaitu aktivitas yang berhubungan langsung dengan mesin atau atribut pesawat. "Pintu tertutup, geser bersenjata, dan periksa silang," sahut salah seorang pramugari, yang Arka yakini telah menyediakan pintu pesawat yang telah ditutup dengan aman. "Kabin siap lepas landas." Terdengar suara pramugari itu lagi, membuat ia menganggukan kepala. "Oke, bersiaplah." Seperti biasa, sebelum menjalankan tugas menyopiri burung besinya, ia pasti akan menyempatkan diri terlebih dulu untuk berdoa pada sang maha kuasa. Tangannya menengadah. Meminta agar perjalanannya dilancarkan, dan tidak terjadi transisi yang berarti. Mengusapkan tangan ke depan wajah. Ia diedarkan pandangan memandang Gilang, co-pilot yang sedari tadi ada bersamanya. "Siap?" tanyanya. Gilang mengangguk dengan semangat empat lima. "Siap, Kapten!" "Oke, Saudaraku, kita siap pergi!" seru Arka lantang, lalu segera menarik mesin pesawat. " Bismillahirahmannirahim. " Arka bergumam, lalu tanpa dirasa, pesawat telah berjalan, siap melayang, meninggalkan lapangan, tinggal landas. . . Reina Bulan Selkasa, polisi cantik yang terkenal sangat ramah pada pertandingan. Bekerja menjadi seorang pengabdi negara memang tidak semudah yang terlihat. Mungkin sebagian besar orang akan beranggapan jika menjadi polisi, kita harus bebas biaya orang, mendapatkan uang hitam, pun jika pangkat polisi itu sendiri sudah tinggi, mereka bisa lebih mudah menyuruh anak buah mereka melakukan hal diambang kata baik. Namun, berbaring dengan sosok Reina. Apalagi pangkatnya sudah tidak bisa diragukan lagi. Ia akan tetap berpegang teguh pada satu prinsip. Tabiatnya memang suka. Tapi, percayalah, jika ia diminta dalam hal memuaskan. Jauh dengan sifat yang menyalahgunakan kekuasaan. Malah rekan-rekan juga atasan, ia tegur saat ketahuan melakukan hal merugikan. Reina, komandan cantik, baik, pintar dan selalu memegang teguh makna keadilan! Seperti yang terjadi seruan yang sering dilontarkan oleh rekan sejawat polisi cantik tersebut. Membuat Reina, sang empunya nama hanya bisa geleng-geleng kepala. "Stttt ... ngerumpi aja terus, orangnya gak ada ini," interupsi Reina, membuat rekan-rekan sejawatnya seketika diam. Entah apa yang sedang dibahas. "Eh, ada Komandan. Apa kabar, Ndan?" seloroh Rafa dengan cengiran khasnya. Reina mengangguk. " Alhamdulillah baik. Tapi, kayanya kuping aku deh yang gak baik." Polisi ketiga berbeda angkatan itu mengernyit. "Loh, kenapa kupingnya, Ndan? Digigit serangga? Kemasukan udara? Ah, atau kejepit anting?" Faiz membondongnya dengan banyak pertanyaan, membuat Reina selaku narasumber memberengut tidak suka. Ish, dasar cowok-cowok tukang rumpi! Lagian di mana-mana tuh cewek yang rumpi. Eh, ini malah mereka yang jelas-jelas ada jakunnya. "Bukan. Kuping aku tuh sakit karena kamu ngomongin aku," tanggap Reina yang dibalas oleh seruan Marshal. "Kita gak ngomongin loh, Ndan. Kita tuh cuma membahas kebenaran. Iya gak, kawan ? " Baik Rafa maupun Faiz langsung mengangguk. Polisi ketiga ini memang terkadang menyebalkan. "Iya, bener tuh, Ndan. Kita cuma bisa membantah. Lagian juga, kalau misal kita ngerumpiin Komandan, rumpian kita cuma yang baik-baik doang kok." Mata Reina menyipit. "Masa?" "Iya. Tanya meja aja kalau gak percaya." Faiz menyahut sambil menunjuk meja panjang yang sedari tadi telah menemani mereka bertiga berbicara. Bahu Reina langsung mengendik seraya mendesis. "Idih, kurang kerjaan banget saya tanya-tanya meja. Syukur-syukur dia mau jawab. Lah, kalau engga? Saya dong yang disangkanya orang gila." Marshal, Rafa, dan Faiz lantas tertawa. "Aduh, Ndan. Polos banget sih diselesaikan. Aku bisa-bisa awet muda, ada terus di deket Komandan." Itu ucapan Marshal. Sudah jelas ia berucap seperti itu, karena mereka memang jarang sekali terpisahkan. "Tau, ah, sebel liat kamu. Mending aku ngecekin laporan penggrebekan aja sekalian." "Dih, kok, marah sih, Ndan? Kita kan tadi cuma bercanda." "Biarin. Udah, ah, aku pergi dulu, assalamualaikum. " Reina segera berlalu meninggalkan pria berseragam polri lengkap tersebut. " Waalaikumsalam , " jawab mereka bersamaan. . . Dengan langkah cepat, Arka segera menuruni tangga pesawat yang telah terjulur sejak lima menit yang lalu. Ia menyugarkan rambutnya yang sudah tidak tertutup lagi oleh topi khas seorang pilot. Mulai berjalan melewati beberapa orang yang hilir mudik mengambil barang-barang bawaannya. "Ya ampun, pilot Mamas, gue ganteng banget." "Apaan sih, lo! Mas Arka tuh punya gue." "Diharapkan, gak usah nyolot dong lo! Lagian juga Mas Arka yang dinilai sendiri, kalau kegantengan dia itu milik kita semua." "Ih, tetep gak bisa! Dia tuh cuma punya gue!" "Engga! Dia punya gue!" "Punya gue!" Arka geleng-geleng kepala. Baru saja mendarat, ia sudah disuguhkan dengan ocehan khas bocah SMA yang berseteru hanya untuk memperebutkannya. Sedikit melonggarkan dasinya, ia berdehem membuat ketiga bocah nanggung itu menoleh. "Kalian tuh kenapa masih suka ribut, sih? Aku sudah pernah bilang aku milikku. Jadi, untuk apa kalian harus mempersalahkan hal seperti ini lagi?" Bocah ketiga itu cengengesan. "Ya abis, Reta duluan yang mengaku Mas Arka punya dia," seloroh gadis yang bernama Dewi, membuat Reta bernyanyi empunya nama melotot. "Lah, gak ngaca lo! Lo juga mengaku Mas Arka cuma punya elo!" "Eh, gak cuma gue, ya! Si Zia juga ngikut." Dewi melempar tatapan nyolot pada gadis berlesung pipit bernama Zia. Zia mengendik. "Ya, itu sih bukan salah gue. Lagian, suruh siapa kalian mancing-mancing?" Arka menghela napas. Mungkin untuk bocah bocah-bocah baru menetas ini, ia harus ekstra bersabar. Jika tidak, bisa saja tanduk banteng langsung keluar dari atas. "Ya Allah, kalian gak cape apa tarik otot terus dari tadi?" Reta menggeleng. "Gak cape dong. Apalagi kalau soal soal Mas Arka." "Iya tuh bener," timpal Dewi dan Zia bersamaan. Arka lagi-lagi geleng kepala. Dengan kesabaran yang dikembalikan, ia mengacak-acak rambut ketiga bocah SMA yang berganti. "Keras sekali sama banget, sih," ucap Arka tanpa sadar, yang dibalas dengan kernyitan dalam tiga bocah nanggung itu. "Sama? Sama ama siapa, Mas?" Tubuh Arka menegang. Rupanya ia tadi kelepasan. Ia tidak mau Reina menjadi bulan-bulanan ketiga bocah nanggung ini, jika-jika mereka tahu itu Bulannya adalah orang yang sangat spesial dalam perjalanan. "Ah, engga. Aku gak bilang kaya gitu. Kalian salah dengar kali." Tampilan bocah-bocah SMA itu menyipit. "Bener?" "Iya, benar. Udah, ya, aku mau pulang dulu. Sempat jetlag waktu tunda di Amsterdam tadi." Tidak mau Mamas Pilot mereka sakit, akhirnya baik Reta, Dewi, maupun Zia sama-sama mengangguk. "Ya udah, hati-hati ya Masku. Kalau ada cabe, telepon kita aja." Arka hanya tersenyum kata cabe yang baru saja terlontar dari mulut bocah SMA di hadapannya itu. Ya, ia sangat tahu jika kata "cabe" yang dilontar itu memiliki makna sangat ganda. " Oke , kalian pulangnya hati-hati, ya. Assalamualaikum, " kata Arka. " Waalaikumsalam. " ▪▪▪
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD