Chapter 4

1508 Words
Hello, welcome to my story! And enjoy the reading . Setelah selesai memberikan salam, Reina tidak segera berajak dari atas sajadah bermotif abstrak biru muda miliknya. Ia memutuskan untuk lebih mendekatkan diri lagi pada sang pencipta. Membuka al-qur'an, dan membacanya dengan tartil. Sudah menjadi kebiasaan untuknya jika sedang merasa gundah gulana. Mengaji adalah penawar yang tepat tiada dua. Menghela napas, ia jadi teringat pertemuan kedua kalinya dengan Arka. Lelaki itu kini tak lagi tersesat. Arahnya mungkin sudah tepat. Mendapat seorang perempuan cantik, menuntunnya menjadi sesosok lelaki dewasa nan berwibawa. Ditambah dengan profesi keduanya yang sejalur dan bersisian. Ia tak bisa menampik, bahwa kenyataannya, baik Arka mau pun perempuan pramugari itu terlihat begitu serasi. Jauh jika harus dibandingkan dengan dirinya yang kala dulu bahkan selalu menyusahkan. Arka--tokoh utama cerita masa kecilnya, sekarang harus segera disisihkan karena tak lagi dalam satu frame cerita yang sama. . . Arka cepat menoleh saat mendengar suara pecahan kaca saling bersahutan dengan dinginnya lantai marmer ruang apartemennya. Ia mendapati wajah Kelly terlihat tegang dengan tubuh gemetaran. "Kenapa, Kel?" Pramugari cantik berdarah Tionghoa yang subuh tadi memaksa ingin ikut serta ke apartemennya pun hanya menggeleng sambil sedikit meringis. "Ada apa?" Arka bangkit berdiri, lalu melangkah menghampiri Kelly. Dilihatnya kaki kiri perempuan itu terdapat luka sayatan yang lumayan memanjang. "Ya Allah, ngapain sih?" "Maaf." "Gue nanya ngapain? Bukan nyuruh minta maaf!" Arka berdecak. Kelly menunduk, ia sungguh takut kena marah Arka. Cerobohnya ia sampai memecahkan sebuah pigura yang bahkan saat pertama kali ia berkunjung ke apartemen ini saja sudah diperingati untuk tidak menyentuhnya. "Gue gak larang lo nyentuh atau pakai barang gue yang lain. Tapi, tolong jangan yang ini." "Itu kan cuma foto. Anak kecil lagi." "Terserah. Jangan yang ini." Kelly terus menunduk sambil sesekali menggumamkan kata maaf. Ia yakin, setelah ini Arka pasti akan marah besar padanya. "Sini." Dan tanpa diduga, Arka malah menarik pergelangan tangan Kelly. Dibawanya perempuan itu untuk duduk, menunggunya di sofa. Dengan langkah cepat, dibukanya kabinet kecil di sebelah meja televisi, mencari kotak P3K. "Gue bukan ahli dalam hal ini. Tapi, luka lo mesti cepat diobati, yang kalau engga bisa infeksi." Arka berlari ke wastafel untuk membersihkan kedua tangannya. "Kalau sakit lo bil--" "I really feel sorry. Please don't be mad at me, Ka." Arka tak mengindahkan, ia berlutut dengan paha yang segera menopang pergelangan kaki Kelly. "Arka?" "Bisa diam dulu? Gue butuh konsentrasi." Mendesah, Kelly menyerah. Ia tahu Arka bukan lah tipe lelaki yang temperamental. Marahnya tidak akan meledak-ledak seperti kebanyakan lelaki pada umumnya. Pun, ia yakin, lelaki itu pasti hanya sedang menyembunyikan rasa kesalnya. "Tolong jangan buat orang khawatir. Kita berdua udah sama-sama dewasa, kalau ada bahaya ya coba cepat menghindar, bukannya malah diam." Mata Kelly tak berkedip. "Jangan ceroboh." Tubuh Kelly seperti tersihir, ucapan Arka bagai sebuah matra yang berhasil mendesirkan hatinya. "Paham, Kel?" Kelly bergeming. Arka yang merasa tidak segera mendapatkan jawaban, memutuskan untuk mendongak. Ditatapnya mata perempuan pramugari itu yang kini sudah terlihat memerah. "Lo nangis?" Kelly menggeleng. "Lepasin aja, Kel. Gapapa, gak semua hal bisa lo tahan." Kelly tetap menggeleng, pun dengan pandangan yang malah terlihat semakin memburam. "Fine, gue bantu aja kalau gitu," kata Arka yang langsung menekan kuat luka tertutup Kelly, membuat sang empunya luka menjerit seraya terisak. "See? Bakat akting lo memang gak bagus, Kel. Jangan sok kuat. Lo bukan strong women." Kelly sesegukan. Arka memang selalu begitu. Ia menyiapkan bahu atau bahkan tubuh untuk seseorang berkeluh. Tidak pandang siapa, ia akan selalu merengkuh. I love you, Ka.  You're the only one I can't have. "Idih, elap ingus lo. Dilarang buat wajah meme di sini."  Tiba-tiba Arka berkomentar, menyodorkan satu kotak tempat tisu ke hadapan Kelly. "Kurang ajar! Siapa juga yang nyuruh gue nangis begini? Pergi sana lo!" sungut Kelly menimpuk kepala Arka menggunakan bantal. "Tuh kan, gak bisa ya tangan lo anteng gak coba mukul gue sehari?" "Gak bisa! Cepat pergi! Sebelum gue tonjok perut lo nanti." "Ck, gak sopan." Kelly terenyuh. Arka itu ibarat merpati, saat kita diam ia mendekati. Pun saat kita ingin menunjukan rasa kasih sayang, ia malah menjauhi. "Bentar, deh. Ntar gue balik lagi." "Gak usah balik juga gue gak peduli." "Sebentar." Alis Kelly bertaut, memerhatikan Arka yang ternyata pergi mondar-mandir untuk mengepel semua lantai ruang apartemennya. "Katanya gak peduli. Kok masih aja merhatiin?" Arka menyeletuk saat ia mengepel lantai dekat sofa yang sedang diduduki oleh Kelly. "Idih, kepedean banget. Orang gue cari remote TV." "Wah, serius? Gak cuma ngebanyakin gengsi?" Dagu Arka terangkat menunjuk benda yang tergeletak di atas kabinet TV. "Itu apa? Pajangan lemari?" "Ish, repot banget sih. Udah sana ngepel lagi!" Arka tertawa, lalu melanjutkan acara mengepelnya kembali. "By the way, Ka?" "Iya?" "Lo suka panda?" Kini alis Arka yang terangkat beberapa mili. "Panda? Engga." Kelly balik mengernyit. Tidak suka panda, lalu cangkir di depannya ini milik siapa? Ini sungguh mencolok jika dibandingkan dengan cangkir-cangkir polos yang tertata rapi di rak dapur sana. "Terus ini punya siapa? Lo baru beli?" Arka melirik. "Ah, itu?" "Itu pemberian sepupu gue. Kata dia kalau semisal gue gak mau nerima cangkir pemberiannya, dia gak bakal mau ngomong lagi sama gue." Kelly mangut-mangut. "Cewek nih pasti." Arka berdehem. "Seumuran keponakan gue kali, ya? Dia juga gitu kalau tantenya nolak." "Bukan. Dia satu tahun di bawah kita." "Really? Wah, kenalin ke gue ya kapan-kapan," Arka tersenyum. "Iya, kapan-kapan," jawabnya penuh helaan. Pikirannya pun tak pelak langsung mengenang masa kecil dengan Bulannya. "Loh, kok dikembaliin?" tanya Reina sesaat setelah melihat Arka mengembalikan barang pemberiannya. Arka menggeleng. "Arka gak mau terima. Panda kan hewan kesukaan cewek." Mata Reina seketika membulat. "Ih, gak selalu buat cewek tau! Cowok juga bisa." Arka lagi-lagi menggeleng. "Engga, ah. Arka gak suka sama panda." "Ish, Arka. Arka kok gitu, sih? Reina kan udah cape-cape bawain ini dari rumah eyang. Masa Arka tetep gak mau nerima?" Arka mengendik. "Ya, itu sih risiko. Arka kan gak minta kamu bawain itu." "Iya, Reina tau, Arka gak minta. Tapi, kan Reina keinget sama Arka, makanya Reina mutusin buat bawain ini." Arka menghela napas. "Aduh, Rei. Arka kasih tau, ya. Itu kan barang gak berguna. Arka tuh gak butuh barang kaya gitu. Dan kalaupun memang Arka butuh, Arka bisa kok beli sendiri. Gak perlu minta dulu ke kamu." Entah karena nada suara Arka yang terlampau santai, atau karena mata Reina yang tiba-tiba kelilipan. Yang jelas, dalam keheningan tersebut, air mata gadis kecil itu sudah dengan mudah meluncur membasahi kedua pipi chubbynya. "Eh, kok nangis?" tanya Arka panik. Bulannya kenapa? "Gapapa." "Bohong! Arka tau Reina bohong." Reina menggeleng. "Aduh, Rei. Ucapan Arka ada yang salah, ya?" Reina masih tetap pada pendiriannya, yaitu menggeleng. "Ya ampun, Rei. Arka--" "Reina pulang dulu, ya. Assalamualaikum." potong Reina cepat, lalu pergi berlalu meninggalkan Arka. Arka terpaku. Bahkan ia lupa membalas salam dari Bulannya. "Ya Allah, Arka salah ngomong, ya? Ya ampun, maafin Arka, Rei." . . Seminggu telah berlalu, pun Reina masih belum mau menampakkan batang hidungnya di hadapan Arka. Membuat Arka yang jelas-jelas salah, semakin merasa sangat bersalah. "Ya Allah, Reina kok jadi marah beneran sama Arka? Niat Arka kan padahal bukan gitu." Dengan terseok, Arka berjalan mendekati pintu rumah Reina. "Assalamualaikum?" salamnya pelan. Tidak ada yang menyahut. "Assalamualaikum?" Kali ini Arka sedikit menaikkan volume suaranya. Tetap tidak ada yang menyahut. Pada ke mana, 'kah? "Eh, ada Mas Arka. Ada apa, Mas?" tanya Bi Sum, asisten rumah tangga di rumah Reina yang ternyata telah datang membukakan pintu. "Ehm Bi, Reina ada?" Mata Bi Sum lantas terlihat sayu. "Gak ada, Mas. Kakak udah empat hari ini tinggal di rumah eyang," jelasnya membuat mata Arka membelalak. "Empat hari, Bi? Reina kok gak bilang-bilang sama Arka?" Bi Sum menggeleng. Ia tidak tau jika nona mudanya pergi atas tujuan apa. Arka meringis. Ya ampun, Rei. Reina kok malah pergi ninggalin Arka? Arka kan belum sempet minta maaf. "Ah, iya, Mas. Sebentar, ya. Bibi mau ngasih titipan dulu buat Mas Arka." Dahi Arka mengernyit. Titipan? Titipan apa? Di saat Arka sedang berpusing-pusing ria dalam menerka jawaban, Bi Sum kembali datang menyodorkan cangkir yang tempo hari ditolaknya mentah-mentah. "Ini, Mas. Titipan dari Kakak." Arka segera mengambil alih cangkir tersebut. Meraih secarik surat yang bisa diyakini pasti diperuntukkan untuknya. Membuka lipatan demi lipatan suratnya. Untuk Arka Bintang, manusia paling nyebelin yang pernah Reina kenal. Ka, Reina gak mau basa-basi, ya. Kalau Arka gak mau terima cangkir ini, ya, terserah. Reina gak akan maksa Arka lagi, kok. Mau Arka buang, bakar, atau Arka pecahin juga, itu udah jadi hak Arka. Tapi, Reina cuma mau bilang, kalau Arka sampai nekat ngelakuin hal itu, jangan harap deh Arka bisa ngobrol ataupun bertegur sapa lagi sama Reina. Karena, ya, pasti mulai saat itu Reina bakal benci banget sama Arka. Ah iya, Reina tau Reina salah. Tapi, apa salahnya sih, Ka, terima aja barang pemberian Reina? Toh, Reina gak bakalan nagih uang pembayarannya ke Arka. Reina ikhlas, Ka. Ya walaupun, nanti gak akan Arka pake. Ehmm ... ya udah deh, Ka. Segitu aja. Oh, iya, lupa. Satu lagi deh. Jangan berharap Reina bakal balik lagi ke rumah, ya, Ka. Karena kalau Reina udah marah, Arka juga kalah. Ya udah, itu aja. Reina sayang Arka, walaupun Arka suka nyebelin. Salam Reina, puteri cantik di hati Mama, dan Papa :) "Heh, Ka? Arka, lo kenapa?" Tangan Kelly melambai-lambaikan meminta perhatian Arka. Pun lelaki itu hanya diam. "Arka!" "Eung?" Arka mengerjap. "Lo kenapa? Jangan buat orang parno, deh." "Ah, gapapa. Emang gue kenapa?" "Ya Tuhan, malah jadi linglung sih? Lo kenapa? Please, nah seram tau gak?" Arka tertawa. "Gue gak kenapa-napa, Kel. Sehat tuh alhamdulillah." Ia jingkrak-jingkrak. Kelly bergidik. "Tambah seram, bodoh! Jauh-jauh lo sana!" Arka makin tertawa, ia tahu Kelly sangat mengkhawatirkannya. Pun ia tak bisa berbuat apa-apa, karena hatinya sudah hak paten milik Bulannya. Tetap kaya gini, Kel. Jangan lebih. ▪▪▪ "Lo sahabat gue." Chorim, To be continue ... Vote love and comment. Thank you
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD