"Kenapa gak duduk? Aku gak akan nerkam kamu, loh."
Netra Reina kembali menatap Arka. Lelaki ini mau apa, sih?
"Serius, maunya berdiri aja?"
Reina berdecak, melangkahkan pertemuan menuju sofa, lalu duduk tepat di hadapan Arka yang sekarang sedang tersenyum sangat puas.
"Kenapa? Masih kesal aku datang ke sini?"
Reina tidak menjawab, biar saja Arka mengoceh sendiri. Lebih baik ia memandang ke arah yang lain, layar televisi lebih menarik minatnya dibandingkan dengan Arka.
"Saingan saya televisi ternyata."
Reina merapatkan bibirnya. Tidak menoleh, pun tidak melakukan apa-apa.
"Kamu gugup, ya? Gak maki saya dari tadi."
Menggeram, akhirnya Reina mengeluarkan suara. Ia bertanya perlu apa Arka dengan dirinya?
Arka balik tersenyum. "Tanganmu sudah pulih?" tanyanya yang lagi-lagi keluar dari topik.
Cobalah.
"Sudah pulih?" ulangnya, buat Reina yang kesal, lantas pilih tangan kirinya yang tidak lagi dibalut oleh gips penyongkong.
"Gak bisa lihat aku bebas udah? Sekarang, mau nonjok kamu keluar aja bisa!" sembur Reina berapi-api.
Arka malah tertawa. Bulannya sudah kembali. Memang perlu sambutan yang lama agar Reina mau balas ucapannya walau dengan nada ketus.
"Sudah makan?"
Jika perempuan lain akan langsung menjawab pertanyaan lemah lembut itu. Beda lagi dengan Reina yang memang sedang berapi-api, malah disulut kembali oleh pertanyaan tidak penting Arka.
"Mau kamu tuh, apa? Dari tadi gak jelas banget pertanyaannya! Kalau memang gak penting, ya, ngapain ke sini?"
Tidak perlu berlama-lama, ia yakin setelah ini Bulannya pasti akan mengusir atau menyiram miliknya dengan udara.
Menatap lekat. Ia berbisik lambat. "Saya rindu kamu."
Hah! Hilang sudah bertahan egonya selama ini. Ia rindu, amat rindu Bulan di hadapannya ini. Tidak peduli Reina akan mengusir atau menyiramnya. Yang jelas ia tidak akan kehilangan Bulannya lagi.
"Maaf, perlu Anda sedang memperbaharui alkohol," kata Reina tidak tahu harus menanggapi apa.
Arka menggeleng. Menjawab itu serius, sangat merindukan Bulannya. Sebaliknya ia sekarang sudah beralih posisi berlutut di depan kaki Reina.
"Eh ..., apa-apaan, sih? Bangun."
Kepala Arka kembali menggeleng. Menahan lutut Reina agar tidak berpindah dari tempat.
"Tolong dengar." Arka meraih jari jemari dingin milik Bulannya. "Arka gak sanggup." Ia bahkan sudah mengubah panggilannya. " Aku tidak bisa melihatmu pergi lagi. Aku hancur tanpamu, Reina."
Mata Arka berubah merah, berubah sekali saja sudah bisa dipastikan udara mata akan jatuh membasahi pipinya. Pun meminjam masih terjadi, Reina menarik pelan-pelan yang tergenggam. Menepuk-nepuk bahu Arka pelan.
"Sudah hampir malam. Sebaiknya kamu pulang."
Ingin berteriak rasanya. Apa Bulannya sudah tidak pakai nurani? Atau malah sebaliknya, sudah mati?
Arka makin mencelos, kala Reina bangkit dan meraih bahunya untuk ikut serta bangkit.
"Silakan. Biar aku antar," katanya melepaskan keterpurukan Arka.
" Kamu tentu saja terluka hati bukan, Rei?"
.
.
Setelah disetujui oleh sepihak oleh Reina petang tadi. Arka hanya bisa terus terdiam, walau masih dengan sikapnya yang profesional.
"Dor!" kejut Kelly, tidak mendapat respons apa-apa.
Berdecak. Kelly menduduki posisi di hadapan lelaki berseragam pilot yang tidak lain dan bukan Arka Bintang Reftara.
"Idih, pura-pura kaget atau gimana, kek, Ka. Lo mah, ah."
Arka memainkan sendok di genggamannya. Memutar dan membalik posisinya.
"Heh! Orang ngomong tuh disahutin! Ini makan aja ngalahin bayi." Kelly mengomelihkan perhatian Arka segera.
"Malas bercanda, Kel," katanya pelan. Mengundang pertanyaan dari Kelly.
"Loh, kenapa? Ada masalah? Cerita dong sama gue."
Arka menggeleng. Menjawab ia sedang tidak mau melakukan apa-apa, dan ingin meninggalkan seorang diri.
"Cih, kalau ada masalah tuh mestinya bagi-bagi. Ini malah mau dipendam sendiri," cibir Kelly.
"Kel?" Panggil Arka yang mendesak untuk mengusir Kelly.
"Aish ... okey, baiklah ! Gue pergi." Kelly bangkit. "Tapi, inget, Ka. Dua puluh menit lagi kita lo gak akan sendiri. Makan makanan lo! Gue gak mau, ya, terbang malam ini supaya ajang pergi sendiri!"
Arka menghela napas. "Kel?"
"Iya, astaga. Bawel banget." Kelly segera bangun meninggalkan Arka sendiri.
.
.
"Pa, Mama kepo, deh." Fara berceloteh dengan kepala yang bersandar santai di bahu sang suami, Reyhan.
"Kira-kira, apa ya yang diomongin Arka sama Reina?"
"Kemarin kan Mama niatnya mau ngintip. Eh, lupa kalau Papa buat pintu kamar kejauhan."
Reyhan mengetuk dahi Fara gemas. Istrinya senang sekali ikut campur orangutan. Apa lagi yang dimaksud dengan putri semata wayang mereka.
"Mama nih, kebiasaan. Biarlah mereka yang menyelesaikannya. Tugas kita hanya cukup."
Fara memandang mengingat sebal. Merasa tidak cocok dengan karakter pengganti yang lempeng-lempeng saja. Tidak berniat ikut campur sedikit pun.
"Papa mah nyebelin! Gak pernah tuh sejalur sama pikiran Mama, selalu aja ambil jalan tengah."
Mulut Reyhan baru akan menimpali. Istrinya sudah terlebih dahulu menyahuti.
"Jangan peluk-peluk Mama! Tidur aja sana di kursi!"
Fara langsung merebahkan diri, dan membalik memunggungi.
Reyhan tersenyum. Ia tidak akan patuh saat diundang menyuruh pergiuhi. Karena itu ia lakukan setelahnya ikut merebahkan diri, dan kepala Fara terus dikecupi.
"Selamat tidur, Mama cantik. Mimpi yang indah."
▪︎▪︎▪︎
"Seindah cinta Papa."