Dennis menyentuh ujung bibirnya, masih teringat akan buaian mimpi yang masih terputar dalam benaknya. Mulut itu, dalam mimpi baru saja melakukan sesuatu pada Bintang. Dan saat ingatan itu makin terbayang-bayang, tanpa sadar Dennis mendengkus. Bukan karena sedang marah, tapi karena menertawakan dirinya sendiri. Seumur-umur, sampai ia setua ini, baru kali ini ia bermimpi bércinta dengan cara yang terhitung manusiawi. Karena dalam mimpi sekali pun, atau dalam fantasi-fantasi liarnya, tak pernah tercipta sebuah bayangan di mana ia akan melakukan séx untuk kesenangan bersama. Selama ini, yang ia pikirkan hanya kesenangan sendiri. Sementara untuk patner séx-nya, ia tak peduli itu. “Tuan Dennis kok senyum-senyum?” “Hah?” “Tuan Dennis kenapa? Kok senyum-senyum sendiri. “Emang gak boleh senyu