Naluri Seorang kakak

1612 Words
"Cintai ususmu, minum yakult tiap hari"_Giorgino Sabin *** Di lapangan futsal telah dipenuhi murid kelas berbeda yang tengah bermain sembari membagi kelompok menjadi dua kubu. Walau berakhir dengan bermain tidak beraturan, seperti Daehwi yang dengan polosnya memasukan gol pada gawang sendiri membuat Bento yang menjadi penjaga mengumpat kasar dan hampir menggeplak kepala pemuda itu. Beda lagi dengan Kai yang asik berselfie dan bervlog ria bersama Yogi di tengah lapangan saat yang lain bermain. Melihat hal itu yang lain mengkerubuni sembari menyapa manis para viewers Kai. "Hai guys, ini kita lagi main futsal lho guys. Main manja-manja di padang rumput ilalang bersama domba-domba kesepian ini guys," cerocosnya sembari memperlihatkan teman-temannya yang tersenyum manis kearah kamera walau merutuki pemuda itu dalam hati. "Itu udah berapa banyak yang nonton ?" Tanya Lucas dengan antusias, yang lain hanya melambai manis pada kamera sembari menebar pesona. Kai menghela nafas. "Banyak lah," jawabnya tak santai, "Yah berapa anjir ?" Lanjut Lucas sembari mendorong kasar kepala Kai membuat pemuda berkulit putih itu berdecak kasar. "Baru juga dua," ujarnya tanpa dosa membuat yang lain menganga sembari mengumpat lalu menjauh dari kamera. Mereka pun kompat rebahan pada lapangan sembari menetralkan nafas yang masih ngos-ngosan karena lelah bermain. Peluh dan keringat sudah membasahi pelipis dan seragamnya. Karena memang hari ini tidak ada jam olahraga, mereka memanfaatkan jam istrahat untuk bermain futsal. Walau panas, siapa yang peduli. Mereka hanya ingin bersenang-senng dengan cara mereka sendiri. "Johny guk guk guk, kemari guk guk guk, ayo mari-mari," ujar Mark yang sudah mendudukan diri sembari melambai pada pemuda jangkung yang tengah tidur telentang itu. "Emang gue anjing ?" Geram Johny sembari melempar Mark dengan sepatunya, dengan sigap Mark menghindar kalau tidak sepatu Johny akan mengenai wajah tampannya. "Lagian kenapa juga nama lo Johny, kayak nama anjing tetangga gue," ujarnya membuat yang lain terbahak, sedangkan Daewhi hanya menyimak tidak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan. "Gini aja dah, lo ganti nama lo pake jojo aja." Celetuk Bento berkontribusi, "Jojo, jadi pengen nyanyi" ujar Haechan sembari memberi kode pada Yuta di sebelahnya, "AIRNYA DI OBOK-OBOK AIRNYA DI OBOK-OBOK," Haechan dan Yuta sudah bernyanyi dan berjoget ria dengan hebohnya. Diikuti sorakan dari teman-temannya yang lain, Daewhi sendiri sudah bertepuk tangan dengan hebohnya sembari memperbaiki rambut belah tengahnya yang tertiup angin. Kai tidak tinggal diam, langsung mengabadikan moment itu dengan kameranya. Perlahan ia membelalakan mata melihat viewers yang bertambah. "Woe viewers gue bertambah anjir," pekiknya nyaring membuat Yogi mendekat merasa penasaran. "Berapa-berapa ?" Ujarnya sembari mendongak pada kamera, "Udah tiga orang dong," Yogi menganga sembari menatap Kai dengan wajah masamnya. "Sebahagia lo dah," ujarnya sembari menyempatkan memukul pelan bahu pemuda itu yang masih tersenyum lebar. Wawan yang sedari tadi mencoba kalem melirik sekilas kearah koridor, ia memicingkan mata melihat anak unggulan sedang berjalan beriringan menuju laboraturium di pimpin oleh Pak Mike. Sekelompok anak laki-laki berotak cerdas itu tengah berjalan dengan santainya sembari melirik kearah lapangan dengan tersenyum pada mereka. Senyum mengejek. "Anjing bangat tuh Hendra," geramnya sudah beranjak dari tempat duduknya, "Kenapa ?" Sahut yang lain sembari mendekat, "Kalian lihat aja tuh tampangnya tuh, songong bangat anjir. Mereka semua udah tahu kalau si lampu taman ngadain test buat kita, makanya mereka semua ngeremehin kita" jelas Wawan dengan tangan yang mengepal erat, lampu taman adalah sebutan untuk kepala sekolahnya. "Yaelah soal test lawan mereka ?" Tanya Mark yang sedang mengancing seragamnya, Wawan mengangguk pelan. "Biarin aja elah, ngapain juga kita ikut test. Mending ikut wajib militer, biar kayak oppa-oppa koriyah," celetuknya dengan menyeringai lebar. "Mark oppa saranghae," ujar Daewhi sudah menempel padanya membuat ia mendelik jijik. "Jangan dekat-dekat anjing," umpatnya kasar sembari mendorong tubuh mungil Daewhi kasar. "Kalaupun kita ikut test, palingan cuma Gio yang lulus." Kata Yogi dengan helaan nafas panjang, yang lain mengangguk membenarkan. Pasalnya di kelas mereka yang otaknya rada normal cuma Giorgino, sisanya ampas semua. *** Azzam terlihat menutup pintu kelas sembari melangkah menyusuri koridor menuju ruang guru. Pemuda beriris mata cokelat itu sesekali tersenyum samar pada siswi yang terlihat menyapanya lembut. Baru seminggu Azzam disana, pemuda itu sudah tahu beberapa hal tentang murid disana. Disana ada banyak program baru yang dibuat oleh kepala sekolah, ada dua kelas yang sangat terkenal seantero sekolah. Kelas unggulan dan juga kelas berbeda, kelas unggulan diisi anak-anak cowok dengan IQ diatas rata-rata namun sayangnya mereka sama sekali tidak mau berkumpul dengan anak kelas lain. Karena bagi mereka, bermain dengan anak kelas lain takutnya otak mereka terkontaminasi. Anak unggulan dipimpin oleh Hendra, pemuda tampan yang dikenal songongnya luar biasa. Berbanding terbalik dengan anak kelas berbeda yang notabennya tak berotak. Tujuan hidup mereka tidak jauh dari main-main, bagi mereka belajar adalah salah satu firus yang membuat mereka terserang berbagai penyakit. Seperti tertidur disaat jam fisika, mendadak amnesia kalau ada test dadakan dari guru bahasa inggris dan pusing dikala jam kimia berlangsung. Jadi, belajar adalah penyakit. Saat tengah sibuk dengan pikirannya sendiri, Azzam mengerjap pelan saat melihat seseorang tengah berdiri sembari menoleh kiri kanan seperti mencari seseorang. Azzam pun perlahan mendekati pemuda jangkung itu yang kini menatap kearahnya. "Maaf mau cari siapa yah ?" Ujarnya dengan tersenyum samar, sosok itu menghela pelan. "Gio," "Gio ?" Ujar Azzam sembari mengulang pertanyaannya, sosok di depannya itu terlihat mengangguk lemah. "Giorgino Sabin," tambahnya lagi dengan nada suara yang masih sama, Azzam menganggum paham sembari tersenyim tipis. "Anda siapanya Gio ?" Tanyanya lagi, tampaknya sosok di depannya ini merasa Azzam terlalu cerewet menanyakannya ini dan itu. "Abang," balasnya singkat, "Oh anda kakaknya Gio, Gio lagi di UKS dia sakit." Mendengar penuturan Azzam terlihat raut kaget dari wajah dingin itu. Azzam pun langsung berjalan memimpin membuat sosok yang mengaku-ngaku sebagai abang Gio itu pun mengekorinya sampai ke UKS. Azzam membuka pintu UKS dengan perlahan membuat Gio yang sedang berbaring jadi beranjak dari temlat tidurnya dan membelalak kaget melihat kemunculan mereka berdua. Bukan, tepatnya kemunculan sosok di samping Azzam. "Bang Maliq ?" Ujarnya sembari tersenyum lebar, tidak menyangka sang kakak datang mengunjunginya. Pemuda bernama Maliq itu hanya menatap datar kearah Gio yang masih tersenyum lebar menatapnya, Azzam sendiri hanya menatap keduanya secara bergantian. Deritan pada ponselnya membuat ia merogoh ponselnya dalam kantong celananya. Melihat nama Azura yang tertera disana membuat ia tersenyum samar sembari menempelkan benda pipih itu pada telinga kanannya. "Azura," ujarnya antusias, membuat kedua orang di sebelahnya melirik kearahnya. "Seriusan di sini ? Ke UKS aja, aku lagi di UKS sekarang," ujarnya membuat Azura di seberang langsung mematikan telepon. Tidak lama setelah itu, pintu UKS terbuka lebar menampilkan gadis berkerudung tengah melongokan kepalanya sembari tersenyum lebar menatap Azzam yang berdiri di dalam sana. Gadis itu berlari kecil dan langsung menubruk tubuh tegap Azzam dan memeluknya erat. Azzam langsung membalasnya sembari membelai lembut kepala mungil Azura yang tertutup kerudung. Maliq yang berdiri di sana makin mempertajamkan pandangannya kearah keduanya. "Gue kangen bangat sama lo, Zam." Ujarnya masih melingkarkan tangannya pada tubuh Azzam, sang kakak hanya mengangguk dengan senyuman manisnya. Azura perlahan melepaskan pelukannya merasa sedari tadi ada yang memperhatikannya. Gadis itu mendongak kecil sembari meleparkan matanya melihat Maliq berdiri disana dengan tampang datarnya. "Kak Maliq ?" Gio yang sedari tadi diam makin menautkan alis bingung melihat adegan berbagai adegan di depan matanya itu. "Kamu kenal sama kakaknya Gio ?" Azura mengernyit tak paham, "Gio siapa ?" Tanyanya dengan alis bertautan, "Saya Gio Kak, Bang Maliq kakak saya." Ujarnya membuat Azura menganga kecil sembari melirik Maliq yang hanya diam. "Jadi Kak Maliq punya adek ?" Pemuda itu hanya memejamkan mata sebagai balasan ucapan Azura, "Gimana kalau kita ke kafetaria aja, kita makan-makan dulu." Ajak Azura sembari menoleh pada Azzam yang sudah mengangguk lemah, Gio juga mengangguk ragu. "Gimana kak ?" Tanya Azura pada Maliq yang hanya menatapnya dalam diam, "Oke anggap aja kak Maliq setuju," ujar Azura lalu menyeret pemuda itu dan Gio bersamaan, diikuti Azzam yang hanya tertawa kecil sembari menutup pintu UKS rapat. Merekapun langsung mencari tempat duduk saat sampai di kafetaria, Azura masih mengalungkan tangannya pada lengan dua pemuda jangkung itu. Maliq hanya diam sembari menatap jemari mungil Azura yang melingkar pada lengannya. Gio sendiri hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal, merasa canggung seketika. "Kak Maliq duduk sama Azzam dulu yah, gue sama Gio yang pesan makanan." Ujarnya sembari mengajak Gio untuk pergi ke kasir bersamanya, pemuda jangkung itu terlihat tersenyum kaku namun perlahan mendekat pada gadis berkerudung itu. Azzam sudah duduk berhadapan dengan Maliq yang hanya menatap lurus meja di depannya. "Gio itu anaknya pendiam yah ?" Ujar Azzam sembari melirik kearah kasir. Kini Azura tengah mengobrol dengan sesekali terkekeh bersama Gio. Maliq hanya mengerjap perlahan dengan menatap sang adik yang tersenyum lebar bersama orang lain selain dirinya. Jujur, perasaannya menghangat begitu saja. "Kamu tahu kalau Gio dapat k*******n dari papa kamu ?" Maliq menoleh pada Azzam sembari menatap pemuda itu tajam. "Di sering kali di cambuk dan --" Maliq sudah berdiri sembari melangkah cepat menuju sang adik yang masih tertawa kecil dengan Azura. Azzam ikut berdiri sembari mengikuti pemuda berwajah dingin itu, "Kak Maliq kenapa kesini, biar ki--" Belum selesai Azura menyelesaikan dialognya Maliq sudah menarik Gio dan menuntunnya keluar dari sana. Gio sendiri jadi menautkan alis bingung melihat sang kakak yang terlihat sedang emosi itu. "Bang, kenapa pulang ?" Maliq tak menjawab malah mempercepat langkahnya, "Bang, kita kan belum makan," lanjut Gio sembari menggerakan lengan sang kakak. Maliq menghentikan langkahnya sembari menatap Gio tajam, tangannya menarik kasar seragam sang adik membuat tubuh tegal Gio terekspos dan terlihatlah berbagai luka bekas cambukan dan juga beberapa bagian tubuhnya yang kebiruan entah karena apa. Maliq kembali mengepalkan tangannya erat sembari menonjok tembok di depannya kuat, Gio mengerjap sembari mengulum bibir takut. "Bang, gue gakpapa bang serius," ujarnya pelan, takutnya sang kakak akan menghabisinya papanya sekarang juga. "Bang," panggilnya lagi, Maliq menoleh sembari melirik Gio yang menahan tangis. "Dia," ujarnya sembari menajamkan tatapannya, "mati." Tambahnya sembari melesat pergi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD