Kamu Bebas Memakai Baju Apa Pun yang Kamu Mau

1553 Words
"Please, nggak usah mikir yang macem-macem, aku nggak suka kamu dijadikan pemandangan sama laki-laki di luar sana, bukan karena aku menyukaimu. Bukan," ucap suamiku buru-buru dan terkesan ingin mempertegas. Mendengar itu, aku jadi benar-benar sadar jika seseorang yang sejak awal membenci, mustahil jika semudah itu membalikkan hati. Namun, jika bukan jatuh cinta yang menjadi alasan, lantas apa yang mendasari dia mendadak posesif seperti ini? "Selagi kamu masih sah menjadi istriku, maka kamu wajib menjaga kehormatanmu, Liona." Tercubit hatiku mendengar ucapannya. Jadi … apa kau memang memiliki rencana untuk melepaskan aku, Mas? "Seorang istri wajib menjaga maruah suami, salah satunya dengan menutup auratnya saat berada di muka umum. Karena kamu tahu, dosa seorang istri yang —." "Stop! Stop! Nggak perlu ceramah terus. Oke, aku nggak jadi pergi. Mau di rumah aja." Aku yang malas mendengar ceramah dari seorang manusia munafik seperti Rafka Pramuditya, memotong cepat ucapan suamiku. Setelahnya, aku yang tak ingin memperpanjang perdebatan, memilih keluar kamar dan lantas mengambil posisi duduk sambil memainkan ponsel di ruang keluarga. "Sorry, La. Cancel." Aku terpaksa mengabari pada Sheila jika rencana menonton film hanyalah sebuah wacana. Adalah laki-laki sok alim itu yang membuat semuanya jadi berantakan. Huh! Kenapa aku mengatakan dia sok alim? Tentu saja, dia memang seperti itu, kan? Dia kerap menuntutku agar bisa menjadi istri yang baik dengan senantiasa menjaga kehormatan. Namun,dia sendiri ….? Tidakkah dia merasa kalau dirinya juga belum bisa dikatakan sebagai suami yang baik? Bukankah membiarkan istri tak tersentuh sampai lebih dari dua bulan lamanya adalah perbuatan zalim? Aku menarik napas dalam. Ya Tuhan! Apakah perbuatanku yang dengan sengaja menjebaknya agar dia menjadi milikku adalah langkah yang sia-sia? Selesai mengabari Sheila, pesan masuk yang dikirim Bang Alex, sepupuku, membuatku memajukan bibir saat membacanya. "Udah romantis belum, temen gue?" tanyanya memulai percakapan. Lelaki 27 tahun yang memiliki andil besar dalam menjembatani pernikahanku dengan Mas Rafka, kadang memang kepo dengan perkembangan hubunganku dengan teman masa SMA-nya dulu. Maklum saja, bukankah pernikahan kami memang terjadi bukan lantaran cinta? Tapi karena sebab lain? "Belum. Masih kayak pas baru nikah. Kaku. Persis kanebo kering." Stiker dengan gambar orang tertawa ngakak sampai berguling dia kirimkan kemudian. Menyebalkan! "Nah! Kan! Kan gue udah pernah ngasih tau lo. Dia tuh suka cewek kalem yang alim. Coba aja lo rubah penampilan dan jadi lebih kalem. Kali aja dia berubah pikiran dan jadi suka sama lo." Aku merengut membaca pesan dari kakak sepupuku ini. "Kalau aku harus jadi orang lain biar dia jatuh cinta, berarti dia cintanya bukan sama aku, dong, Bang? Tapi sama orang lain." "Ya, terserah kalau lo masih mikir kek gitu. Yang penting gue udah ngasih saran. Sebagai Abang, gue tahu dan gue percaya kalau Rafka bisa bikin lo bahagia. Tinggal lo-nya aja yang harus pinter-pinter cari cara biar bikin dia suka sama lo." Aku diam beberapa lama. Tak lagi tertarik untuk membalas pesan dari kakak sepupu yang kadang baik dan kadang cuek ini. Ah! Tidak! Dia lebih banyak cuek, sih, daripada baiknya. Ya, bisa dimaklumi, pacarnya, 'kan, banyak. Mungkin saja setiap hari dia sibuk membuat jadwal untuk berjumpa dengan pacar yang mana dulu. Dasar, Sepupu playboy! Aku yang sedang melamun setelah mengakhiri aksi balas pesan dengan Bang Alex, tertegun saat mendapati orang yang sempat menjadi bahan perbincangan olehku dan sepupuku belum lama ini, sudah berdiri dengan kaku di hadapanku saat ini. Aku menatapnya waspada. Mau apa lagi dia? Apakah ingin menyelesaikan ceramahnya? Aku yang malas jika terus-menerus mendapatkan tausiah, memilih bangkit untuk kemudian berjalan menuju kamar. Pusing kepalaku. Ternyata benar, cantik saja tidak cukup untuk membuat laki-laki jatuh cinta. Buktinya, meski dengan wajahku yang boleh dikatakan lumayan, tidak semudah itu bisa membuat keangkuhan lelaki ini goyah. "Liona, aku ingin berbicara serius denganmu." Aku terpaksa menahan langkah saat mendengar dia seperti tak main-main dengan apa yang hendak dikatakannya. "Ya, katakan saja," ucapku tanpa menoleh. "Apa kau mendapatkan obat perangsang itu dari Alex?" tanyanya yang dalam seketika mampu membuat jantungku berdegup lebih kencang. Ya ampun! Setelah beberapa hari, dia ingin membahas tentang obat menyebalkan itu lagi? "Tidak. Aku membelinya di toko online," jawabku jujur. "Untuk apa kau membelinya?" tanyanya, seperti ingin menginterogasi. Entahlah, dia sedang menginterogasi atau … sedang menertawakanku? "Oke oke, aku minta maaf. Aku minta maaf karena telah berbuat kesalahan dengan membeli obat itu dan mencampurkannya ke minuman tanpa sepengetahuanmu, aku minta maaf." Aku yang sedang malas berdebat, memilih untuk mengakui kesalahan. Meskipun itu harus membuat harga diriku jatuh sejatuh-jatuhnya. "Bukan jawaban seperti itu yang ingin aku dengar." "Lalu?" tanyaku sambil menoleh pelan dan lantas menatap tajam wajahnya. "Cermati dulu pertanyaanku sebelumnya," ucapnya seperti ingin bermain teka-teki. "Aku rasa kamu cukup cerdas untuk menyimpulkan kenapa aku harus membeli obat itu, Tuan Rafka!" jawabku sinis. Suamiku mendengkus kecil. "Kau ingin mengikatku dengan anak, kan? Makanya kau repot-repot membeli obat seperti itu?" tanyanya terkesan menyepelekan. Aku diam. Tak ingin membenarkan atau menyangkal tuduhannya. Bukankah semua yang kulakukan dan kukatakan tak ada benarnya? Jadi, untuk apa aku bersuara? "Dengarkan aku. Gadis barbar yang suka melawan dan gemar mencari keributan, tidak pernah masuk dalam kriteria wanita yang kuharapkan menjadi ibu untuk anak-anakku. Camkan itu," desisnya tajam dan penuh penekanan. Sombong sekali! Belum sempat aku membalas ucapannya yang senantiasa pedas, dia keburu pergi. Meninggalkan aku yang masih berdiri di sini dengan perasaan dongkol. Sial! Apakah aku harus menyerah, dan meminta cerai? Huh! Ternyata benar, mencintai sendirian itu lelah. Sangat melelahkan. Air mata tak tahu diri kembali menetes. Seperti ingin menegaskan jika aku adalah seorang pecundang sejati yang sudah kalah bahkan sebelum peperangan sejati dimulai. Sampai di kamar, kugunakan lagi ponselku untuk menghubungi Sheila dan meluahkan segala keluhan begitu panggilan dengannya terhubung. Beruntung, Sheila tak marah meski kami batal pergi. Dan seperti biasanya, dia selalu menjadi pendengar yang baik saat aku sedang ingin bercerita. Ya, sejauh ini, dia memang sahabat terbaik yang kumiliki. "Aduh … cerai? Jangan konyol, deh, Na. Masa iya, gampang banget nyerah," ucap Sheila, setelah memberikan waktu untukku berbicara. Meluahkan segala macam yang mengganjal di d**a. "Lo dapetin dia aja susah, loh. Sampe minta tolong Bang Alex, kan, buat jebak dia? Terus, pas udah dapet, kenapa pengen ngelepasin gitu aja? Aduh … mending jangan, deh, Na. Jadi janda, tuh, nggak enak. Tante gue aja sering dicibir sama orang-orang gara-gara status itu. Dikatain inilah, itulah, nggak enak banget tau dengernya," ucap Sheila panjang lebar. Aku menarik napas panjang. Sebenarnya dalam hati setuju dengan pendapat yang disampaikan Sheila barusan. Tentang predikat janda yang memang kerap dipandang sebelah mata oleh sebagian besar orang di masyarakat kita. "Terus, menurut lo gue harus gimana sekarang? Gue capek, La. Capek banget ternyata nikah sama orang yang nggak suka sama kita. Udah kayak pengemis cinta aja gue." Mendengarku mengeluh lagi, justru memancing gelak tawa dari mulut Sheila. Apa-apaan, sih, dia? "Santai saja, Nana. Jalani saja seperti air mengalir, oke?" Aku tersenyum miris. "Sampai kapan, La? Sampai kapan?" "Sampai dia jatuh cinta dan bucin beneran sama lo." Aku mendengkus kecil. "Nggak yakin gue. Palingan dia udah ada rencana buat balikan sama mantannya yang gagal nikah itu. Makanya tadi pedes banget pas ngomong kalau cewek kayak gue nggak ada pantes-pantesnya buat jadi ibu untuk anak-anak dia." Terdengar Sheila menghembuskan napas di seberang sana. "Jangan pesimis. Walaupun dia ngomongnya selalu pedes, tapi dia nggak pernah bilang pengen cerai sama lo, kan?" "Eum … enggak, sih." "Makanya … lo jangan nyerah. Kalau dari pengamatan gue, sih, keknya dia udah mulai berdamai sama takdir karena punya bini gesrek kayak elo. Cuma, ya, itu … keknya dia masih perlu waktu buat mantepin hatinya sama seorang Liona Kaisara yang memang ababil ini." Dia terkekeh pelan pasca menuntaskan kalimatnya. "Huh! Sialan lo!" Lagi, Sheila tergelak tanpa rasa berdosa. "Jadi menurut lo … gue emang nggak boleh nyerah?" "Nggak boleh, dong, lanjutkan perjuanganmu merebut hati suamimu sendiri, Liona. Lanjutkan!" Mendengar bagaimana Sheila memberikan dukungan, membuatku yakin jika seorang Rafka mungkin memang bisa kumiliki sepenuhnya. Meski … entah kapan waktunya. Baiklah, kita tunggu saja kapan hari itu datang. *** Sampai pukul delapan malam, Mas Rafka yang sudah pergi hampir empat jam dari rumah, tak juga menunjukkan tanda-tanda bakal pulang dalam waktu dekat. Membuatku merasa jika keinginannya pisah rumah dengan sang mama adalah agar dia bisa pergi sesuka hati tanpa ada yang mengetahuinya selain aku. Istrinya. Huh! Sabar saja lah. Paling juga dia menginap di rumah kakeknya. Seperti biasa. Merasa dia tak mungkin pulang malam ini, aku yang merasa lebih bebas dalam berpakaian tanpa memikirkan kecaman dan olok-olokan pedas darinya, memilih baju tidur berbelahan d**a rendah yang jarang aku pakai setelah menikah. Aku baru keluar dari kamar mandi pasca mencuci muka, saat tanpa terduga, lelaki yang aku sangka tidak akan pulang malam ini, tampak berdiri dengan kaku di hadapanku. Melihatku tampil berbeda dibandingkan hari-hari biasanya, membuatnya buru-buru membuang pandangan saat mungkin tanpa sengaja, tatapan matanya jatuh ke bagian atas tubuhku. "Ma-maaf, rasanya … aku perlu mengganti bajuku," ucapku, merasa tak enak hati saat melihatnya berkali-kali membuang pandangan ketika menatap pakaianku yang boleh dikatakan seksi ini. "Tidak perlu. Kamu bebas memakai baju seperti apa pun yang kamu mau selagi itu cuma dikenakan di rumah. Tidak masalah," ucapnya, seperti berusaha terlihat santai saat mengatakan hal itu. "Ya udah, aku … ke kamar mandi dulu," ucapnya sambil menarik napas dalam sebelum bergantian denganku memakai kamar mandi di kamar ini. Oh! Hei! Bukankah katanya … aku boleh memakai baju apa pun yang aku mau selagi itu cuma dipakai di rumah? Rasanya … bukan ide yang buruk jika aku memakai lingerie besok malam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD