Aku yang belum mengantuk, memilih untuk duduk santai di sofa kamar sambil memainkan ponsel sembari menunggunya keluar dari kamar mandi dalam diam.
Ya ampun! Kenapa menunggu lelaki sombong itu keluar dari kamar mandi rasanya seperti menunggu Jin BTS keluar dari wajib militer?
Lama sekali.
Eh, apa cuma perasaanku saja, ya?
Bukankah belum sampai sepuluh menit dirinya berada di dalam sana, Liona?
Selama menikah, kami memang hampir tak pernah berangkat tidur secara bersamaan. Dia yang kerap pulang lambat dan seringkali meninggalkan rumah saat jam tidur, membuatku merasa jika kerelaannya untuk menikahiku saat itu memang bentuk sebuah keterpaksaan, bukan atas dasar keinginan.
Jadi … jika malam ini kami bisa start tidur sama-sama, bukankah itu kejadian langka?
"Baik, Om, baik. Saya setuju menikahinya."
Aku tersenyum sendiri ketika mengingat lagi tentang peristiwa hari itu. Di depan papaku yang katanya galak, dia mengucapkan kata setuju untuk menikahiku meski jelas dia terlihat setengah hati saat mengatakannya.
"Belum ngantuk?" Aku yang semula sedang memainkan ponsel, tertegun saat lelaki menyebalkan yang tetap saja membuat hatiku klepek-klepek saat menatap wajahnya, bertanya sambil berjalan mendekat begitu dirinya keluar dari kamar mandi.
Mau apa dia?
"Be-belum." Aku menjawab sedikit gugup pertanyaan darinya. Bagaimana tidak, dia yang selama ini selalu dingin, jutek, dan sombong, tiba-tiba … ingin duduk di sampingku?
Aku menggeser sedikit posisi duduk saat ternyata dia memang benar-benar menjatuhkan tubuhnya di sampingku.
Apakah ada yang salah dengannya?
"Ma-maaf, Mas, aku ngantuk." Aku yang justru merasa canggung saat dia berada di sampingnya sedekat ini, memilih bangkit.
Aku tak mau jika sampai dadaku yang deg-degan seperti bedug ditabuh, tertangkap oleh sepasang indera pendengarannya.
"Aku membelikanmu sesuatu."
Aku yang hampir melangkahkan kaki menuju ranjang, dibuat terkejut saat mendengarnya mengatakan tiga kata itu.
Dia … membelikan aku sesuatu? Apa itu … makanan?
"Aku udah kenyang, Mas. Tadi udah GoFood," ujarku sambil menoleh padanya.
Dia menggeleng sambil tersenyum. Manis sekali.
Ya Tuhan! Kenapa ada manusia setampan ini?
"Aku bukan membelikanmu makanan," ucapnya yang justru membuat dahiku mengernyit.
"Kamu tunggu di situ."
Aku terpaksa berdiam diri saat dia tiba-tiba bangkit dan melangkahkan kaki keluar kamar.
Mau apa dia sebenarnya?
Aku yang menunggunya kembali dengan rasa penasaran, dibuat tersentak saat pintu tiba-tiba terbuka dan dia ….
Suamiku membawa beberapa paper bag? Apa isinya?
"Aku membelikanmu baju-baju baru. Dan aku harap kamu mau memakai baju-baju ini nantinya."
Aku sampai kehabisan kata-kata saat dia mendekat sambil mengulurkan paper bag yang berjumlah beberapa buah ke hadapanku.
"Baju baru?" tanyaku memastikan.
"Ya."
Aku meraih dengan kaku apa yang diulurkannya.
"Boleh aku membukanya?"
"Tentu saja."
Paper bag satu persatu kubuka. Dan kalian tahu apa isinya? Baju-baju yang sama sekali bukan style aku; baju panjang oversize, rok panjang, celana panjang longgar, dan … jilbab pun ada.
Hei! Apa dia ingin aku menjadi Nisa Sabyan? Kenapa aku dibelikan baju-baju seperti ini?
"Aku harap kamu menyukainya," ucapnya sambil tersenyum tipis. Dia sedang mengejek atau apa?
Aku tersenyum kecut. Tak tahu harus berterima kasih atau bagaimana setelah menerima baju-baju yang bukan style-ku ini.
"Ma-makasih, Mas," ucapku pada akhirnya.
Mas Rafka mengangguk pelan dan lantas berjalan menuju tempat tidur. Dia yang ternyata selama pergi dari rumah menyempatkan diri untuk membeli baju-baju menyebalkan ini, tampak merebahkan tubuhnya setelah menyimpan ponsel miliknya di atas nakas samping ranjang.
Aku menyimpan baju-baju baru dengan perasaan kesal. Ada juga rasa sesal karena ternyata, aksi penjebakan yang berbuah pernikahan ini tak seindah khayalan.
Jauh … benar-benar jauh api dari panggang.
Aku kira … laki-laki akan mudah tergoda dengan wajah cantik dan penampilan menarik. Tapi ternyata aku salah. Suamiku berbeda. Sangat berbeda dengan kebanyakan lelaki di luaran sana.
Tahu dia belum tidur, aku yang sebenarnya sudah mulai mengantuk, merebahkan tubuh di sampingnya meski dengan sedikit ragu.
Dia terlihat cuek. Tapi tidak tahu dengan hatinya. Apakah dia sama sekali tak terusik dengan keberadaan seorang wanita di sisinya? Entahlah.
Hampir satu jam aku yang sejak awal memilih berbaring miring, tak juga dapat memejamkan mata. Adalah keberadaan lelaki yang biasa cuek dan dingin ini yang membuat rasa kantuk yang sebelumnya sudah datang, menghilang entah ke mana.
"Mau ke mana?"
Aku yang sudah menurunkan kaki ke lantai dan berniat melangkahkan kakiku ke arah sofa, tersentak mendengar pertanyaannya.
Jadi … dari tadi dia tidak bisa tidur? Sama sepertiku?
"Aku … aku mau minum, Mas. Haus," ucapku beralasan.
Tanpa menoleh ke belakang, aku menarik langkah menuju dapur. Sekedar untuk meyakinkan dia kalau alasanku haus memang tidaklah mengada-ada.
Aku yang baru menutup pintu lemari es, dibuat terkejut saat menyadari Mas Rafka sudah berdiri di belakangku.
"Ya ampun, Mas! Kaget tau!"
Dia tersenyum tipis melihat keterkejutanku.
"Ternyata, aku juga haus," ucapnya pelan dan tak terdengar dingin.
Apakah aku salah lihat dan dengar? Kenapa sejak pulang tadi dia kelihatan lebih hangat ya, sikapnya? Tidak mungkin, 'kan, dia tiba-tiba berubah karena bajuku yang cukup seksi ini?
Tak ingin berlama-lama di depan kulkas, aku buru-buru menarik langkah menuju kamar.
Aku yang merasa lebih baik jika tak tidur satu ranjang dengannya, memilih membaringkan tubuh di sofa. Dan ajaibnya, belum sampai lima menit, rasa kantuk kembali datang menyerang dan aku pun … terlelap.
***
Pagi.
Aku membuka mata dengan perasaan yang lebih baik saat pukul lima pagi. Ternyata benar, cukup tidur bisa memperbaiki mood. Buktinya, aku merasa lebih fresh setelah tidur hampir delapan jam.
Eh! Tapi tunggu, bukankah tadi malam aku tidur di sofa? Kenapa bangun-bangun sudah di atas tempat tidur?
Aku mengucek mata sambil mengingat-ingat. Benar, aku memang tidur di sofa tadi malam.
"Mas, kok aku bisa pindah di sini tidurnya? Perasaan tadi malam aku tidur di sofa?" Aku yang penasaran, nekat bertanya saat melihat suamiku keluar dari kamar mandi dengan wajah yang terlihat lebih segar.
"Nggak tahu. Mungkin aja, kamu tidur sambil jalan," jawab Mas Rafka, terdengar cuek.
Dia lantas mengambil sajadah untuk kemudian melaksanakan ibadah dua rakaat.
"Kamu nggak sholat?"
Aku tersentak mendengar pertanyaannya yang tiba-tiba.
"Kamu nggak lagi datang bulan, 'kan?" tanyanya yang secara ampuh membuat pipiku memanas mendengarnya. Bukankah membalas perihal tamu bulanan dengan seorang lelaki, terlebih lelaki dingin sepertinya merupakan hal yang tabu?
Huh! Tumben sekali dia perhatian, biasanya dia cuek-cuek saja dengan jadwal tamu bulananku.
"Kalau nggak lagi datang bulan, ayo kita berjamaah sekarang."
Aku mematung. Tak tahu harus membalas bagaimana ajakan suamiku.
"Iya, aku nggak lagi datang bulan. Aku ambil air wudhu dulu," ucapku setelah sekian lama diam.
"Oke, aku tunggu. Jangan lama-lama," ucapnya terdengar mengancam.
Tak mau mendapatkan komplain, aku pun melakukan segala sesuatu dengan singkat. Cuci muka dan gosok gigi aku lakukan sekedarnya sebelum mengambil air wudhu.
Aku kembali ke hadapan suamiku tak sampai sepuluh menit. Dan selanjutnya, ibadah shalat dua rakaat pun dilakukan secara berjamaah.
Selesai shalat subuh dilaksanakan, aku mencium punggung tangannya dengan kaku. Melakukan sesuatu yang baru pertama terjadi sejak lebih dari dua bulan menikah, ternyata rasanya seindah ini. Ingin rasanya aku mengecup pipi setelah mencium punggung tangannya, tapi apa daya. Nyaliku tak cukup kuat untuk melakukan aksi nekat itu.
Aku yang tak tahu harus melakukan apa, berinisiatif untuk mandi pagi setelah menyimpan mukena yang jujur saja jarang aku gunakan selama ini.
Melihatkan Mas Rafka sudah keluar kamar, aku yang baru kembali dari kamar mandi, buru-buru mengambil hair dryer untuk mengeringkan rambut. Saat mandi tadi, aku memang menyempatkan diri untuk berkeramas agar kepalaku terasa lebih segar.
Aku yang sedang melamun sambil mengeringkan rambut, tak menyadari jika ternyata kaitan handuk di tubuhku terle—.
"Liona!"
Aku terkejut bukan kepalang saat mendengarnya berteriak kaget saat melihatku dalam keadaan yang tak pantas dilihat saat ini.
Hei! Ya ampun! Bisa-bisanya handuk milikku terlepas dan aku tak menyadarinya!
Dan … dan setelah ini, kemana harus kusembunyikan wajah setelah Mas Rafka melihat semuanya?