When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Satu bulan, Guntur benar-benar pulang. Asya harusnya senang. Namun, wajahnya justru suram. Bukannya tak paham, tetapi ini memusingkan. "Calon manten, kok, cemberut aja mukanya, kenapa?" "Tau, nih. Yang bentar lagi mau lepas lajang, senyum dong, Kak! Senyuuum! Nih, kayak Lita." Dari ibu dan Pelita, Asya melirik mereka, lalu menghela napas panjang. Membuat ibu berdecak gemas. Ah, iya, kabar Asya yang dilamar pengusaha itu sudah sampai di telinga adiknya, hingga Pelita yang sedang berbadan dua itu jadi sering main di rumah ibu. Ingin meledek kakaknya. Nyaris sebulan ini Asya dibuli mereka, dikata mau pecah telorlah, lepas segellah, hingga disuruh minta honeymoon di luar negeri. Ibu bahkan sudah pesan cucu made in Paris. Astagfirullah. Kuping Asya panas sekali rasanya. "Duh ... bisa aja