When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
"Gak habis pikir Awan sama Papi, maksudnya apa coba nyuruh Langit nyampein soal undangan, pake dicetak-cetak segala lagi ... Papi masih sehat, kan, ya?" Saking unlogikanya perbuatan papi di otak Awan, dia berani bilang demikian. Iya, dari sepulang kerja tadi, Awan mampir ke rumah papi, sebab bicara di chat saja rasanya belum afdol bagi Awan. Sementara itu, Alam sesap teh hangatnya dengan khidmat. Pahit, sengaja diracik demikian karena kadar gula Alam mulai ada grafik perubahan naik-turunnya. "Papi!" Malah Awan yang frustrasi. Alam letakkan cangkir teh di meja. "Gini, Wan ...." Dia mulai bicara. Katanya, "Papi cuma menyampaikan, undangan itu datang dan sifatnya amanah, kan?" "Nggak sekadar cuma, kalo Papi lupa, ini sampe dicetak, lho!" protes Awan. Dia tahu Alam Semesta, papi Awan yang