Si Ulet Keket

1548 Words
Ponsel pintar keluaran terbaru merk apel yang digigit milik Deon bergetar di atas nakas. Riko, Andreas dan Deon pun jadi terbangun karena suara dari getaran itu cukup nyaring, maklum ponsel baru jadi getarannya masih uwu. Para cowok ganteng tidur tanpa baju atasan, terbayang bagaimana indahnya otot-otot perut mereka. Biar pernah tinggal di negara yang banyak menjual makanan cepat saji dan kopi, mereka rajin olahraga sehingga tubuhnya indah bak pangeran dari negeri dongeng. Yang paling tampan, tinggi dan atletis yang jelas si abang Deon. Panggilan masuk ke ponsel Deon rupanya dari mama sambung yakni Endang. Ada apa Endang telepon sepagi ini. Udah siang sih menurut Endang, tapi menurut trio cowok ganteng ini masih pagi. Mereka sengaja bangun siang karena hari ini libur. "Nak Deon hari ini kerja?" tanya Endang ramah. Beda sekali cara bicaranya dengan ke Milia, biasa nyablak mendadak jadi romantis begini dan anggun. Kalau dari sikap jadi seperti pilih kasih tapi kalau soal kasih sayang sih sama. "Libur, Bu." Jadwal hari ini kan dia akan gunakan untuk istirahat, tapi semalam Endang bilang harusnya bisa PDKT dengan Milia agar mereka semakin saling kenal. "Milia udah pulang tapi itu anak abis kena musibah." Endang yang tadinya kepingin boker sampai tidak jadi mules lagi karena lihat anaknya ada di dalam sumur. Sesuatu yang menumpuk di ujung lubang pencernaannya malah masuk lagi, mules pun hilang.   "Lho kok kenapa?" tanya Deon sedikit kaget, kemarin kan tidak apa-apa sampai bisa kabur segala.   "Kecebur sumur!" Endang jujur sekali, aib anaknya dia buka blak-blakan tidak pakai saringan. Ya habis dia juga tidak menyangka anaknya bisa kena musibah sekonyol itu. Mana badan Milia mungil, muat banget masuk sumur, kalau yang gendut bisa kelelep, gak bisa balik badan terus yang ada mati. Milia masih diberikan umur panjang jadi bisa selamat. "Ptttt ….. Kok bisa?" Deon jadi ingat saat di club tadi, dia asal berucap hingga tak sengaja mendoakan Milia yang tidak-tidak. Anak itu jadi kena karmanya juga. "Nginjek tumpahan oli semalam pas mau nimba air." Ada-ada saja itu oli yang salah bukan Milia atau pemilik motornya, setia banget menempel di plesteran sampai-sampai buat anak orang kepleset, untung Milia, kalau yang kepeleset pak Bimo yang gendutnya kebangetan bagaimana? Bakal macet badannya di tengah-tengah lorong sumur. "Nak Deon mau ke sini mumpung Milia ada?" Endang kan ingin Milia dekat dengan Deon, kalau tidak bisa jadi anak kandung, setidaknya bisa jadi menantu. "Iya, Bu. Deon ke sana setelah mandi dulu." Dia jadi penasaran wujud Milia yang asli dan di foto perbandingannya seperti apa. Cewek-cewek kids zaman now kan paling demen upload foto menggunakan filter dari i********: atau aplikasi t****k agar terlihat cantiknya kebangetan. Coba kalau aslinya Milia burik atau cantik tidak ya guys? Ada rasa penasaran juga ternyata di hati abang Deon, penasaran dengan penderitaan yang Milia alami, dengan kecantikan wajahnya atau kepribadian dia? Hanya hati Deon yang bisa menjawabnya. Riko yang sedang mengucek kelopak matanya pun melirik ke arah Deon yang sudah mengenakan kaus berwarna mustard berkerah. Mereka siang ini kalau tidak ada acara kan mau main golf, eh sepertinya yang punya rumah mau pergi sendiri saja tak ajak-ajak. "Mau kemana lo?" Riko cemburu nih ceritanya mau ditinggal. "Ke rumah ibu." Yang Deon panggil sebutan ibu kan hanya ibu sambungnya saja, enyak Endang. Riko dan Andreas kini sudah tahu siapa Endang dan apa saja jasanya. "Calon mertua lo itu?" Riko sampai sempat lupa namanya. "Iya." Deon mengangguk sambil memasang arloji ke pergelangan tangannya. "Kenapa buru-buru?" Ini dia tanyakan karena Deon tau-tau sudah mengambil kunci mobilnya saja. "Mau jenguk anaknya. Katanya abis jatuh ke sumur." Deon juga jujur apa yang terjadi pada Milia. Aib Milia kini banyak diketahui orang. Andreas baru bangun dan menyimak, dia langsung memberikan pandangan menyelidik disertai dengan gerak tubuh yang bicara, "Tuh kan langsung!" "Tiati, Bro!" ujar Riko sambil pindah rebahannya jadi di atas kasur bersama Andreas. Di rumah ini mereka bebas dan sudah seperti tinggal di rumah sendiri. Deon pun sampai di kediaman rumah Endang, dia sudah hafal rutenya jadi kali ini tidak kelamaan melihat dan memikirkan apa jalan yang dilewati sudah benar apa bukan. "Ibu gak bawa Milia ke rumah sakit aja?" tanya Deon sambil mencium tangan Endang. Masa iya habis terjun bebas begitu ke dalam sumur tidak diperiksakan, nanti kalau otaknya kebalik atau organnya ada yang syok bagaimana? "Enggak usah, cuma meriang doang. Dia gak kenapa-napa, sih. Ada benturan dikit di kepalanya tapi ga bikin geger otak, cuma benjol sedikit." Banyak arti definisi meriang, bisa diartikan merindukan kasih sayang, merindukan ribuan ratusan uang atau beneran meriang karena masuk angin.  "Lho harus diperiksa takutnya ada luka dalam. Ini buat Milia, Bu." Deon datang tidak dengan tangan kosong. Dia membawa donat JCO, bunga mawar kesukaan Endang dan ayam bakar madu yang dia beli di restoran favoritnya, barangkali Endang tidak sempat masak karena sibuk mengurus Milia. "Terima kasih, Nak." Perhatian Deon dari dulu memang sama. Pikiran Deon saat di jalan tadi, kalau iya Milia terjun masuk ke dalam sumur berarti tubuh dan kepalanya pasti terbentur dinding sumur. Memang iya sih, tapi yang lumayan kepalanya saja. Sudah sinting apa makin sinting? Semoga saja jangan. "Apa saya bawa saja Milia ke rumah sakit, ya. Takut kenapa-napa. Sekarang dia dia di mana?" tanya Deon sepertinya khawatir, padahal dekat dan kenal saja tidak. Kenapa mendadak dia seperti mengkhawatirkan Milia. "Di kamar aja, selimutan." Endang sudah bawakan selimut tebal, air minum hangat dan beberapa kudapan untuk Milia tadi. Anaknya mengeluh kedinginan efek semalam nyebur ke air sumur yang suhunya seperti air es. "Nak Deon masuk aja, kalo mau diajak ke rumah sakit syukur, enggak juga gak papa!" Dia pun mengajak Deon pergi ke kamar Mila. "Mili ini ada nak Deon." Endang mengetuk pintu sambil berteriak agar Milia dengar bahwa calon imamnya datang untuk menjenguk. Milia yang sedang rebahan dan melilit dirinya menggunakan selimut pun panik, Dia tidak menyangka hari ini kedatangan tamu seperti Deon. Sialnya lagi kenapa harus dalam keadaan seperti ini? "Waduh …. Demi apapun, kenapa bisa itu cowok ada di rumah gue? Ini kerjaan Enyak pasti."  Milia menyentuh pipi dan rambutnya. "Aduh mana kucel begini." Semenjak ke luar SMA dia tidak percaya diri jika ke luar rumah dilihat orang tidak menggunakan bedak tipis dan alis terlebih dahulu, maklum alisnya tipis nanti disangka bisa lihat jin dan setan. ”Kagak mandi, gak bedakan, gak sisiran, rambut gue kayak mak lampir kalau baru bangun tidur.” Dia tutup saja seluruh badannya agar tidak terlihat semua. Kalau memperlihatkan diri kan berabe. Muka bantal dan rambut seperti rambutnya kunti. "Milia." Endang bersiap membuka pintu. "Duh mau masuk sekarang." Milia tarik napas dalam-dalam untuk siapkan mental.  "Mil ini ada calon laki lu. Bangun Salim dulu, kenalan, dulu ketemu pas masih kecil kan udah lupa kayak gimana." Endang tekan-tekan p****t Milia agar gadis ini mau balik badan dan bangun, sayang Milia tidak menurut, ya sudah lebih baik mereka dibiarkan hanya berdua. "Enyak pamit dulu mau ke dapur lagi, ya!" ujarnya agak kencang agar Milia dengar. Kali ini anak itu tak bisa kabur dan bisa bertemu dengan Deon. Deon duduk di bangku dekat kasur Milia yang ukurannya cuma muat untuk satu orang. Dia perhatikan tubuh Milia yang terbungkus oleh selimut dari atas hingga bawah. "Ini kenapa ini anak lebih mirip ulet keket." Tidak mirip ulat bagaimana? Milia Berbaring lurus dan tubuhnya dililit dari atas hingga bawah oleh selimut tebal. Kalau tidak bisa melepaskan diri dari kungkungan selimut ini dia baru tahu rasa! “Kenalkan saya Deon.” Deon memperkenalkan diri sambil mengulirkan tangannya barangkali Milia mau berjabatan tangan. “Saya Milia, Pak, eh Om. Duhh panggil apa, ya?” Milia tengok sedikit dari balik selimut, yang Deon lihat hanya dua mata Milia saja. Mata saja sudah indah sih, bola mata Milia coklat asli bukan dari softlens dan terlihat sedikit sipit. Deon yang mendengar sebutan dari Milia pun agak sedikit sewot, dia jelas masih muda dan tampan, bukan pria berjanggut dan sudah tua disertai perut yang membuncit. “Ketuaan amat panggil sebutan itu. Abang aja, anggap saya kakak kamu, toh kita cuma beda umur delapan tahun.” Milia pun menurut. “Iya, Bang.” Tangan Deon dianggurkan, Milia sama sekali tak mau berjabat tangan atau menunjukkan wajahnya. “Gak sopan nih cewek, gak mau liat gue, gak bales jabatan tangan gue juga.” Ingin rasanya mengeluarkan kata kasar lagi dalam hati tapi dia tidak tega jika Milia semalam berada di dalam sumur. “Kamu beneran gak kenapa-napa? Mau saya bawa ke rumah sakit?” tanya Deon sambil ingat-ingat momen dia jatuh saat belajar mengendarai motor. Jatuh sedikit saja sudah sakit apalagi yang jatuhnya sangat dalam ke sumur seperti Milia. “Enggak usah.” Gadis itu kalau dibawa ke rumah sakit bakal malu. Kecelakaannya sungguh memalukan sehingga dia sendiri tak mau mengakui musibah ini. “Udah makan?” Deon pastikan Milia belum mengganjal perutnya dari semalam. Ada kudapan di atas meja saja tidak dimakan-makan. “Duh kenapa ini lidah lemes banget tanya-tanya segala, yang ada ntar dia kegeeran,” gumam Deon dalam hati. Dia tak sengaja keceplosan perhatian tadi. Deon sampai menepuk pelan-pelan bibirnya.  “Belum, Bang.” Milia menjawabnya mantap padahal dia pengen makan.  “Ini udah siang enggak laper?” tanya Deon berusaha membujuk, barangkali jadi Milia mau makan. “Enggak, kok.” Baru saja bilang Enggak, cacing di perut Bunda tidak main-main. langsung berbunyi. Kriuukkk …. Suara perut Milia malah terdengar nyaring sekali. “Duh ini cacing di perut gue gak bisa diajak kompromi.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD