22 | Belajar Jujur dan Ingin

2076 Words
Mika yang selama ini sangat tahu bawa dirinya cantik, kini merasa menjadi cewek paling cantik sejagad raya, hanya karena Marco yang mengatakannya. Mika bertanya pada dirinya sendiri, mengapa ia sampai sesenang ini padahal Marco bukan satu-satunya orang yang bilang kalau ia cantik. Naksir kah? Tidak mungkin, Mika bahkan tidak tahu perasaan naksir itu seperti apa lantaran ia belum pernah mengalaminya. Jadi, Mika simpulkan bahwa bunga-bunga di hatinya ini disebabkan lantaran ia tahu Marco bukan orang yang mau berbohong demi menyenangkan hati orang lain. Dia akan jujur, sepahit, semenyakitkan, dan entah setidak sopan apa itu. Kalau Marco sampai bilang Mika cantik, berarti kenyataannya Mika memang lah cantik. “Kakak kok baru pulang? Kak Icha aja udah pulang dari tadi,” celetuk Sikka, adik Mika, saat mereka sedang berkumpul di meja makan untuk makan malam bersama. “Bukan mentang-mentang karena kami satu sekolah, kamu kira urusan kamu juga sama.” “Ih, sewot banget, sih,” cibir Sikka yang sama sekali tidak Mika pedulikan. Seandainya Sikka hanya bertanya tanpa perlu memberi TMI—too much information tentang Icha, respon Mika pasti bisa lebih manis. “Band udah mulai latihan lagi, Kak?” tanya Sadin. “Iya, Bun. Ini akau mau bilang kalau mulai besok aku bakal pulang telat terus, kita mesti banyak latihan karena kan waktunya udah mepet dan kita keambahan dua personil baru,” jawab Mika sambil mengangkat piringnya, membiarkan sang bundamengisi piring keramik datar tersebut dengan dua centong nasi. “Temanmu yang kamu bilang jago itu udah mau?” tanya Duta, menyambung. Mika memang sempat cerita keinginannya megajak Marco gabungdi Naranada saat kemarin sang ayah mengantarnya sekolah. “Iya, jadi. Sama satu orang lagi, namanya Leo.” “Leo? Kayak nama pacarnya Kak Icha.” Mika memutar bola mata malas, meningkahi sahutan bersemangat Sikka, seolah-olah di dunia ini yang bernama Leo cuma Leo pacarnya Icha saja. “Bener pacarnya Kak Icha ya, Kak? Kan kalian sekarang satu sekolah. “Sikka, kenapa sih kamu sebut-sebut Icha terus.” Mika akhirnya mengungkapkan keheranannya. Seandainya adiknya ini sudah cukup besar, Mika pasti sudah cerita apa yang telah Icha lakukan padanya dan mari lihat apa dia teap mengidolakan Icha atau ikut sakit hati untuk kakak kandungnya. “Karena masih nyambung,” balas Sikka enteng. “Lagian Kakak juga kenapa sih? Segitu ngga sukanya dengar nma Kak Icha. Padahal Kak Icha itu kasihan lho, Kak. Tadi aku kan mau kembalikan buku, ternyata Kak Icha lagi sakit. Untung ada cowoknya yang nemenin karena kayaknya mama papanya masih di luar negeri gitu.” Mika menghela napas. Memang palingtepat tidaak perlu dihiraukan saja, daripada makin banyak informasi tak perlu tentang Icha yang harus masuk ke telinga Mika. “Benar juga, kalau Ayah ingat-ingat, kayaknya Ayah nggak pernah lihat mereka ya, Bun?’ Mika mengunyah makanannya dengan malas, kalau sudah begini, pembahasan tentang Icha akan panjang. “Kalau mamanya Icha, Bunda masih suka lihat, Yah. Kalau yang Papanya itu kayaknya beberapa kali pas awal-awal mereka pindah.” “Iya, Bun. Kata Kak Icha Papanya tuh kerjanya di luar kota, terus Mamanya juga bolak-balik Singapura.” “Terus dia di rumah sama pembantu aja?” “Iya, Yah. Makanya Kak Icha senang banget waktu cowoknya pindah ke sini, jadi dia ada temannya.” Sadin menghela napas panjang. “Bunda nggak bakal bisa jadi mamanya Icha, lebih baik resign daripada ninggalin anak-anak di rumah Cuma sama asisten rumah tangga. Malah kalau seandainya bisa, Bunda ingin kalian jadi anak kecil selamanya biar bisa Bunda gendong ke mana-mana.” Salah satu hal yang menurut Mika kelebihannya Icha, yakni Icha punya orang tua yang santai dan membebaskannya. Bukan orang tua paranoid dan protektif berlebihan seperti bundanya. Jika Icha tahu ini, dia pasti tidak akan bilang kalau hidup Mika sempurna. “Mereka kan pasti punya pertimbangan, Bun.” “Mereka kayaknya bukan orang yang kekurangan uang sampai dua-duanya harus kerja. Atau kalau mamanya Icha tetap mau jadi wanita karir, kelihatanya mereka punya modal lebihdari cukup untuk berbisnis atau mungkin cari pekerjaan lain yang nggak terlalu menyita waktu.” “Yang kelihatan kan belum tentu yang sebenarnya. Sudah lah, jangan menilai keluarga orang lain kalau nggak tahu apa-apa. Tahu sendiri kan gimana rasanya kalau ada orang lain megatakan sesuatu tentang kita tapi itu nggak benar?” Bunda tidak mengatakan apa-apa lagi, dan malah terlihat agak kesal. Mengingatkan Mika pada dirinya saat Marco menegurnya agar jangan judgemental, diam saja kalau tidak tahu apa-apa. Ah, Mika jadi ingat Marco lagi. Dibanding memikirkan Icha, Mika kini lebih penasaran apa yang sedang di lakukan Marco, sedang di mana dia sekarang, dan apakah dia juga sedang makan malam bersama keluarganya. Mika harap, Marco telah menyelesaikan masalahnya dengan papanya. *** Keesokan harinya saat melihat Icha di sekolah, Icha tidak terlihat sakit sepertikata Sikka semalam. Wajahnya masih tampak segar dan dia bisa tertawa lepas. Malah sebaliknya, Leo lah yang tampak lesu dan tak bersemangat, mirip orang sakit. Untungnya, saat waktunya latihan band, Leo sudah agak lebih sedikit. Padahal bukankan dia harusnya dia lebih semangat kalau ada Icha? Mika acungi jempol untuk Alvin dan Jodi yang ramah sekali sebagai senior untuk membuat anak baru merasa nyaman. Sayangnya, Alvin dan Jodi sebaik itu hanya pada Leo saja, mereka tak ambil pusing dengan Marco yang sedari awal mojok sendiri dengan gitarnya. Sebenarnya, bukan salah mereka juga. Siapapun akan sebal jika ada orang yang kelihatannya seperti sengaja tidak mau berbaur dengan orang lain. Mika harap Marco hanya butuh penyesuaian diri, karena dengan teman-temannya di kelas, Marco tidak sependiam ini. “Lo nyaman kan, Co, di Naranada?” tanya Mika sesaat setelah latihan berakhir dan mereka sedang beres-beres untuk pulang. “Biasa aja.” Mika mengangguk-angguk berlagak mengerti. “Soalnya gue merasa lo nggak main sebagus pas main sendiri di tempat Om Dimas.” “Ya iya lah, biasanya gue main sendiri. Ini gue harus nyesuiin sama empat kepala, mana lagu udah dipilih dan gue nggak bisa usul lagi.” Mika menghela napas, mengerti kekesalan Marco yang tadi sempat memberi masukan tentang konsep dan pemilihan lagu, tapi langsung ditolak oleh Alvin dan Jodi dengan alasan konsep dan lagu tersebut telah dipikirkan matang-matang. “Kan lo tahu sendiri waktunya udah mepet, mending waktunya dipakai fokus buat pemantapan.” Mika berusaha menjelaskan agar Marco tidak salah paham, takut jika Marco merasa suaranya tidak mau didengar. “Mika.” Panggilan suara Alvin menyela obrolan Mika dan Marco. “Tolong ke bawah, dong. Ojeknya udah di depan,” lanjut Alvin begitu Mika menoleh padanya. Beberapa saat lalu Alvin memang berinisiatif memesan minuman dan cemilan melalui ojek online lantaran kantin pastinya sudah tutup sehingga siswa boleh beli atau pesan antar makanan atau minuman dari luar sekolah. “Oke. Ikut gue, yuk, Co.” Belum sempat ajakan Mika dijawab Marco, suara Alvin lebih dulu kembali menimpali. “Lo turun aja sendiri, ada yang mau kita bahas sama Marco.” Mika menghela napas panjang dan pada akhirnya butut saja. Alvin memberinya sejumlah uang yang kata dia pas sesuai tarif di aplikasi pemesanan, padahal Mika masih ingin bicara dengan Marco. Di depan gerbang utama sekolah memang sudah ada pengemudi ojek berjaket hijau yang menunggu. Mika memastikan kalau dia lah ojek yang ia cari. “Terima kasih ya, Pak. Uangnya pas, ya,” ucap Mika, mengulurkan sejumlah uang di tangannya, sesaat setelah ia menerima dua kantong plastik pesanan Alvin. “Eh tunggu dulu, Neng,” tahan Pak Tukang Ojek saat Mika hendak langsung berbalik ke dalam sekolah. “Ini uangnya 260, ya?” “Iya, 260 ribu.” Tukang ojek itu lantas memeriksa ponselnya. “Kurang, Neng. Mestinya 280 ribu.” Untuk meyakinkan Mika, tukang ojek itu menunjukkan deretan angka di layar ponselnya yang memang tertera angka yang dia sebutkan. “Aduh,” Mika mengaduh antara kesal dan malas. Bisa-bisanya Alvin tidak bisa membaca angka, sedangkan Mika tidak bawa dompet ataupun ponsel. “Sebentar ya, Pak—“ “Uangnya kurang, ya?” Mika kaget lantaran Leo tahu-tahu muncul di saat yang sungguh tepat. “Ini, Pak, kurang 20 ribu kan?” Leo memberikan selembar uang warna hijau, nominal pas dengan kekurangan yang harus Mika bayar. Barulah transaksi benar-benar selesai. “Huft makasih ya, Yo. Lo tepat waktu banget,” ucap Mika bersungguh-sungguh. Hanya dengan membayangkannya saja ia sudah malas kalau harus jalan dari gerbang utama ke studio yang letaknya di lantai tiga di gedung paling belakang sekolah. “Sialan banget Kak Alvin, udah nyuruh orang, mana uangnya juga kurang.” Mika selalu menyempatkan diri untuk mengomel, mengeluarkan isi hatinya. Ayahnya pernah bilang, bahwa Mika harus jujur dengan perasaanya, sekecil apapun itu sebaiknya tidak dipendam sendiri agak tidak menumpuk dan menjadi benci. Sebab kalau benci sudah menguasai, kita tidak akan pernah bisa melihat kebaikan seseorang. Bahkan kebaikan itu bisa jadi sumber kedengkian. “Iya, dia juga kaget makanya suruh aku buru-buru nyusul.” Mika hanya menggut-manggut mengerti, ia tak bisa mencegah saat Leo mengambil dua kantong plastik di tangannya untuk dipindahtangankan ke tangann Leo sendiri. Jika cowok di sebelahnya ini adalah Marco, Mika pasti akan mencibirnya sok gentleman. Berhubung dia adalah Leo, Mika tidak heran. Orang seperti Leo pasti tahu manner. Mereka berjalan beriringan menuju kelas, melewati area sekolah yang sangat sepi. Yang masih di sekolah hanya siswa-siswa yang bergabung di club-club peminatan tertentu. “Hmm … lo nggak masalah tetap gabung dana Naranada, Yo?” tanya Mika sekadar untuk memecahkan kebisuan. “Maaf, kemarin gue emang sempat dengar sepintas. Kayaknya Icha nggak setuju lo main band.” “Dia bukan nggak setuju aku main band …,” jawab Leo tapi menggantung. Mika sontak menoleh dengan kening berkerut penasaran. “Tapi?” “Tapi dia nggak suka aku dekat-dekat sama kamu.” Mika nyaris tersedak dengan ludahnya sendiri. “Hah? Gue nggak salah dengar? Lo becanda ya, Yo? Nggak jelas banget.” “Iya … nggak jelas banget.” Mika seketika tutup mulut dan pasang wajah datar. Ia sungguh berharap Leo akan menimpalinya dengan kekehan tawa canda, tapi desahan dengan senyum masam di sudut bibirnya, menyiratkan bahwa Leo tidak sedang bercanda. Sehingga Mika pun terbawa aura serius yang dikuarkan Leo. “Kayaknya dia sebenci itu sama gue, meskipun gue nggak bisa berhenti heran. Kenapa gitu lho, gue pernah bikin salah apa sama dia?” “Kadang ada orang benci tanpa alasan, dan justru sumber salahnya ada di dirinya sendiri.” “Aku nggak ngerti,” respon Mika spontan sambil berpikir apa maksud kalimat Leo. Leo menggeleng pelan, lagi-lagi dengan senyum masam di sudut bibirnya. “Bukan apa-apa.” Mika mengembalikan arah pandang ke depan. Jujur saja, ia penasaran tapi juga malas mendesak Leo. Ribet. Maksud Mika, Leo kan pintar, seharusnya orang pintar bisa merangkai kalimat lebih mudah dicerna. Mika heran kenapa orang pintar sangat suka bertingkah tidak jelas dan mengatakan hal-hal aneh. Ingin dibilang misterius? Ingin secara tersirat mengatakan kalau lawan bicaranya itu bodoh karena gagal paham? Memangnya keren begitu? “Terus udah tahu cewek lo nggak suka lo gabung sama Naranada karena ada g-u-e, ngapain lo masih datang latihan hari ini?” Mika bersumpah ini akan jadi pertanyaan terakhir jika Leo masih sok misterius seperti sebelumnya. Leo tak langsung menjawab, Mika bersabar menunggu beberapa saat, tapi Leo tak kunjung menunjukkan tanda-tanda ia akan buka mulut. Tarikan napasnya saja sangat senyap. Lantaran gemas dan hilang sabar, Mika mempercepat langkah. Malas berlama-lama dengan Leo atau ia akan mengomel menumpahkan kekesalannya. Mika akan mengomel sendiri nanti entah di mana, mungkin sambil gebuk-gebuk drum, atau bisa juga sambil ngeden buang air besar. “Mungkin karena aku ingin seperti orang lain, bisa melakukan sesuatu yang diinginkan. Dan yang aku inginkan sekarang adalah … bisa berteman sama kamu.” Leo bersuara tiba-tiba. Mika sontak menghentikan langkahnya dan memutar badan hanya agar berhadapan dengan Leo yang kini berjarak lima langkah di depannya itu. “Hah? Memangnya ada yang melarang lo berkeinginan?” “Nggak melarang tapi nggak memberi pilihan, bukankah sama saja?” Mika mengibaskan tangan tak peduli. “Gini ya, Yo? Kalau cuma berteman, sih, ayo aja. Tapi kan lo tahu hubungan gue sama Icha gimana, lo juga tahu Icha nggak suka kalau lo dekat-dekat sama orang yang dia nggak suka. Kemarin Icha nyebar aib keluarga gue, nggak tahu apa lagi yang akan dia lakukan setelah ini. Karena yang dia kerjain pasti gue, bukan elo. Gue senang punya banyak teman selama orang itu mau asyik. Kan nggak harus sampai gabung Naranada kalau alasannya cuma itu.” “Waktu aku bilang aku ingin melakukan hal baru, gue bersungguh-sungguh,” ucap Leo menggantung. Ada jeda sesaat, di momen itu matanya dan mata Mika bertemu di satu garis lurus dan lembut. “Aku ingin memulai itu dari Naranada … dan kamu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD