“Lo pacaran sama Icha?” Mika menodong Leo dengan pertanyaan itu, begitu melihat Leo memasuki kelas dan duduk di bangkunya. Hari masih cukup pagi, di kelas baru hanya ada mereka berdua.
Hari ini Mika membuat semua orang di rumahnya heran karena sudah siap berangkat sekolah tanpa perlu diteriaki seperti biasanya, ia membuat Sikka akhirnya merasakan apa yang selama ini ia rasakan, yaitu bagaimana menyebalkannya diburu-buru berangkat padahal menurutnya masih terlalu pagi. Mika melakukan itu semata-mata karena tak sabar ingin segera tiba di sekolah dan bertemu Leo.
Kemarin, sejak pulang sekolah hingga hari menjelang sore, Mika menghabiskan waktu di balkon lantai dua yang mengharap tepat ke rumah Icha. Mika menahan diri untuk tidak mendatangi rumah Icha saat itu juga dan meneluarkan semua pertanyaan yang ada di benaknya saat ini.
Leo menatap Mika sekilas, lalu meneluarkan buku pelajaran jam pertama. “Iya,” jawab Leo pendek, seolah tak merasa harus menjelaskan lebih.
“Kok bisa?” tanya Mika, mendesak.
“Ya, bisa, kenapa nggak bisa? Semua orang juga bisa pacaran.”
Mika mendengkus, Leo pasti sedang berpura-pura bodoh sekarang. “Maksud aku, kenapa dia bisa jadi pacar lo, di saat kita baru bertemu lagi sejak lo pindah ke Surabaya. Kenapa dia masih bisa berteman sama lo, sedangkan sama gue enggak.” Mika sadar, dirinya mungkin tidak seharusnya merasa ini. Namun, Mika tidak bisa mencegahnya, entah mengapa Mika merasa dikhianati. Padahal Mika dulu mengganggap Leo adalah satu-satunya temannya.
Leo akhirnya menatap Mika, namun hanya untuk memberi helaan napas seakan bosan. “Kenapa kamu membuat hal itu jadi kayak masalah serius, sih, Mik? Kamu sudah umur berapa sekarang? Masih saja iri-irian sama Icha?”
“Ini bukan soal iri-rian ya, Yo!” geram Mika, tertahan. Hatinya sakit respon seacuh ini dari Leo. “Tapi gue tanya, kenapa setelah lo pindah, lo sama Icha masih bisa berteman dan bahkan sekarang pacaran. Sedangkan gue, sama sekali kehilangan jejak lo sejak hari terakhir sekolah. Gue kira … kita ini teman.”
Leo menghela napas berat. “Mik, kamu mikir apa, sih? Aku dan Icha masih bisa berteman karena Mamanya Icha dan Mamaku punya kontak masing-masing, seingatku dulu kami sering main bareng. Terus kebetulan keluarga Icha asalnya dari Surabaya, dia sering bolak-balik makanya kami masih bisa berteman. Kita waktu itu baru umur 6 tahun, aku mana kepikiran buat pilih-pilih kayak yang kamu tuduh. Saat itu, semua yang seumuran sama aku, aku anggap teman. Seandainya Mama kita juga berteman, kita mungkin saat itu masih berteman juga sampai aku punya handphone sendiri.”
“Itu …,” Mika tergagu, penjesalan Leo masuk akal juga. Terlebih, Mika ingat Bundanya dulu selalu sibuk bekerja dan jika ada acara-acara yang melibatkan orantua, bundanya pasti menjadi orang yan paling terlambat datang dan pulang paling cepat.
Mika menghela napas panjang, lalu menyengir, menyadari pikiran pendeknya. “Oke, maaf kalau begitu. Wajar, dong, kalau gue kaget melihat lo tahu-tahu gandengan sama Icha.”
Leo hanya geleng-geleng kepala seolah tak habis pikir dengan jalan pikiran Mika.
Belum puas, Mika lantas duduk menyamping di kursi bangku depan Leo. “Eh, tapi … beneran kalian pacaran? Maksud gue, lo cinta sama Icha?” Dalam hati, Mika telah mempersiapkan diri untuk mendenar apapun jawaban Leo.
“Kalau enggak, ngapain pacaran?”
“Iya, sih …,” gumam Mika, tersenyum paksa. “Tapi kok bisa sih lo cinta sama Icha? Dia kan—“ Mika menelan kembali kata-kata yang telah siap tinggal ucap di ujung lidahnya. Nanti salah-salah Leo menilai Mika menjelek-jelekkan Icha, dan itu justru membuat Mika sendiri terlihat lebih jelek.
Sudah lah, biarkan saja. Yang menikah saja bisa cerai, yang pacaran dewasa juga bisa pisah, apalagi yang pacaran bermodal cinta monyet? Bukannya Mika berharap Leo dan Icha akan putus, tapi … beneran putus jua bagus. Eh.
Lucu jika dipikir-pikir menapa Mika merasa terluka, sedangkan hubungan mereka hanya mantan teman TK. Barangkali lantaran saat itu Leo satu-satunya teman Mika, makanya meninggalkan bekas mendalam di hati Mika dan terbawa hingga saat ini.
“Hei, Mikayla!” Mika menoleh cepat ke arah pintu saat mendengar namanya diserukan oleh suara yang sangat ia kenali milik Aninda, teman sebankunya. “Pagi-pagi lo udah genit aja sama anak baru. Lo jam segini sudah di kelas, pasti karena belum bikin PR, kan.”
Mika merutuk dalam hati, sungguh sialan temannya yang satu ini. Aninda sukses membuatnya terlihat buruk di mata Leo.
"Eh, enak aja, PR-nya udah rapi." Mika bersunggut-sunggut kesal, lalu kembali beralih menatap Leo. "Lo nggak lupa sama janji lo mau traktir gue Seblak, kan?"
"Itu—"
"Pokoknya nanti pulang sekolah, lo harus penuhi."
Leo menipiskan bibir, menatap Mika pasrah. "Lo nggak akan berhenti sampai beneran gue beliin, kan?" Dengan enteng, kepala Mika mengangguk-angguk. Leo lalu mengembuskan napas panjang. "Ya udah, asal lo berhenti ganggu gue setelah ini."
Senyum Mika yang mulanya mengembang lebar, berangsur-angsur menyusut kecut. Menganggu, Leo bilang? Sejujurnya itu tidak mengejutkan, sejak dulu pun Leo selalu bilang merasa terganggu jika Mika mengintilinya ke mana-mana. Tapi tetap saja pada akhirnya Leo tidak pernah mengusirnya.
***
Gara-gara Aninda terus meledek Mika, menganggap Mika naksir anak baru, langsung saja Mika cerita yang sebenarnya bahwa dirinya dan Leo dulunya adalah teman TK dan sekarang sedang pacaran dengan Icha. Mika tidak perlu menjelaskan siapa Icha karena Aninda sudah tahu, Mika banyak curhat hanya pada Aninda. Aninda hampir tahu semua hal tentang Mika karena pada dasarnya Mika memang bukan orang yang bisa menyimpan masalah sendirian, makanya Mika sangat bersyukur punya satu teman sebaik Aninda.
"Tapi kayaknya cuma lo doang ya yang excited kalian satu sekolah lagi?" komentar Aninda dengan mimik wajah iba.
Mika mengembuskan napas berat, Aninda baru saja menyadarkannya akan kenyataan itu. "Kayaknya begitu, lo pernah tanya siapa orang yang gambarnya gue figurain dan gantung di kamar, kan? Ya Leo itu orangnya." Jawaban tersebut agaknya cukup menjelaskan betapa sosok Leo punya kenangan khusus di hati Mika kecil yang lugu dan murni. Mika kemudian melanjutkan dengan nada mengeluh, "padahal gue sempat kira dia sengaja sekolah di sini karena tahu gue sekolah di sini juga. Kenapa dia nggak sekolah di sekolahnya Icha aja coba, kan enak bisa sekelas sama pacar sendiri."
"Terus, udah tahu dia punya pacaran, ngapain masih lo ajak makan Seblak?"
"Eh eh eh, bukan ajak ya! Tapi nagih janji," elak Mika defensif. "Memang si Leo janji mau traktir gue Seblak, kok, buat ganti roti yang kemarin gue kasih."
"Dia yang mau ganti sendiri atau lo yang minta?" todong Aninda.
Mika meringis. "Ya gue yang minta, sih. Gue kan pelit."
"Mika, Mika ...," decak Aninda geleng-geleng kepala. "Awas lho, main hati sama pacar musuh sendiri. Kayak nggak ada cowok lain aja."
"Ih, siapa juga yang mau rebut Leo. Gini-gini gue juga punya harga diri kali," Mika menampik. "Lagian cuma berteman doang apa salahnya, sih? Baru juga pacaran doang."
"Nah itu, baru pacaran doang. Selagi berteman sama Leo, lo nunggu mereka putus, gitu?"
"Heh, Aninda!" Mika menyentak sambil berkacak pinggang dengan wajah galak, ingin menunjukkan bahwa dia tersinggung. Tampang menantang Aninda membuat Mika hanya bisa duduk kembali di bangkunya sambil mendesah panjang. "Emang salah ya, Nin? Kan aku nggak ngerebut."
"Ya ampun, Mika...," seru Aninda geregetan. "Yang lo maksud nggak merebut tapi berharap mereka putus itu gimana coba? Kalau pun nggak salah, menurut gue buang-buang waktu. Dariada ngarepin orang yang jelas-jelas udah punya pacar, mending sama yang masih jomlo."
"Tapi maunya yang kayak Leo," Mika merengek sedih.
Aninda menarik napas dalam-dalam, seolah tengah berusaha mengontrol emosi agar tidak menjitak kepala Mika. "Mik, kalau kata gue, lo itu cuma terjebak nostalgia ketemu sama childhood crush lo aja. Gue nggak yakin cowok modelan kayak Leo cocok sama lo."
"Memang nggak cocok kenapa?"
"Lihat aja si Leo, dia itu tipe-tipe cowok lurus, juara kelas, dan bakal dominan abis, apalagi kalau lo-nya menye-menye begini. Sedangkan lo itu Mikayla Dinta, si cewek nggak bisa diam yang moody-an dan gampang bosan."
"Kalau bukan cowok sama Leo, terus gue cocoknya sama siapa, dong?"
Sesaat Aninda menyisir sekitar dengan pandangan matanya ke seluruh penjuru ruang kelas yang sebagian muridnya sedang istirahat di luar kelas, sejurus kemudian terdengar suara bel masuk. Murid-murid yang ada di luar pun mulai masuk satu per satu.
"Yang pasti bukan di Pak RT Darren, lo akan mati berdiri karena kelurusan dia," gumam Aninda saat sosok Darren melewatu pintu kelas. Tak berselang lama setelah Darren, sosok cowok lain yang masuk adalah Erga, seorang anggota tim basket yang tinggi dan jadi idola.
"Erga boleh juga tuh," bisik Mika.
"Enggak. Dia terlalu populer, hidup lo nggak akan tenang karena banyak saingan."
"Ah, si Yoga? Dia nggak populer, cakep juga, nggak bakal banyak saingannya."
"Jangan, ih apaan. Cowok ansos begitu. Nanti lo ketularan anti sosial.
"Ya terus siapa, dong?" Mika mengerucutkan bibir sambil bertopang dagu, menunggu Aninda menentukan cowok seperti apa yang menurutnya cocok untuk Mika. Hingga kemudian terdengar suara ribut-ribut dari arah luar, disusul dengan munculnya sosok Marco, Ryan, dan Vino.
"Heh, Bangke!" teriak Marco, menggeplak kepala Vino sambil tertawa-tawa.
Sambil mendesah malas, Mika melirik Aninda. "Yang pasti bukan dia, sih. Amit-amit."
"Iya, sih, kalau bisa jangan."
"Nggak pakai kalau bisa-kalau bisa, udah pasti nggak bakal bisa. Gue yang ogah." Mika begidik hanya dengan membayangkan dirinya dan Marco menjadi pasangan. Kombinasi yang sangat buruk. Mika si cantik, ceria, dan menyenangan. Sementara Marco si berandalan sekolah yang penampilannya seperti anak tak terurus lantaran sepatunya bebal dan pakaiannya hampir selalu kusut.
"Amit-amitnya biasa aja, biasanya kalau terlalu keras bisa jadi amin-amin."
"Teori dari mana itu?!" Mika menyelak tak terima. "Lo jangan nyumpahin gue kayak gitu dong, Nin. Serem, tahu!"
Tanpa menunjukkan rasa bersalah, Aninda tartawa-tawa melihat wajah Mika bertekuk-tekuk sebal. "Lah, siapa juga yang nyumpahin, coba. Gue cuma bilang biasanya, udah sering terjadi di awal ogah-ogah, eh ujung-ujungnya jadi."
"Eng—" Seruan Mika tercekat lantaran suasana riuh kelas mendadak senyap, Mika sontak meluruskan duduk ke depan, berpikir guru sudah datang. Namun ternyata bukan guru yang membuat seisi kelas bungkam, mereka terdiam lantaran tercenggang melihat Leo berjalan santai menuju bangiunya dengan kedua kaki telanjang tanpa alas kaki. Bagian bawah celana Leo bahas pun dengan buku sketsa di tangannya yang juga terlihat basah.
Di antara semua yang terdiam anatara bingung dan penasaran, hanya Marco dan kedua temannya yang saling berbisik sambil tertawa-tawa. Mika menatap tajam ke arah Marco, tidak butuh otak jenius untuk tahu siapa yang membuat Leo seperti itu.
"Lihat-lihat apa lo?" tantang Marco, menyadari Mika menatapnya.
"Lo—" Lagi-lagi ucapan Mika tertahan, kali ini karena Aninda mengingatkan bahwa guru sudah datang.
Mika benar-benar tak habis pikir, kepuasan macam apa yang Marco dapat dengan mem-bully orang lain. Jujur saja, Mika kasihan. Ia pernah membaca sebuah penelitian bahwa kebanyakan anak-anak nakal seperti Marco adalah anak-anak yang kurang perhatian dan haus atensi. Cara mereka menunjukkan eksistensi adalah dengan membuat keonaran.
Mika lalu mengalihkan tatapannya pada Leo. Cowok itu masih sangat tenang, padahal Mika berani jamin jika anak lain mengalami hal serupa, mereka pasti akan menangis atau setidaknya menunjukkan emosi marah. Namun Leo tidak, dia terlalu tenang hingga Mika tidak bisa meraba apa kiranya yang cowok itu pikirkan dan rasakan. Dia terlihat baik-baik saja, tetapi Mika justru kasihan di waktu yang sama.