07 | Adik Baru

2025 Words
“Gara-gara lo, nih,” omel Mika entah telah yang ke berapa kalinya. Jalan dari depan sekolah menuju ruang kelas mendadak terasa sangat jauh hanya karena Marco jalannya sama Mika. “Kaki pincang gini gue jadi nggak bisa latihan band padahal kami mesti nyiapin buat ikut festival, kalau band gue sampai kalah, berarti itu salah lo.” Marco memutar bola mata malas. “Ya ya ya, semua saja salahin ke gue. Ekor cicak putus, salah gue. Minyak goreng langka, salah gue. Timnas lagi-lagi jadi runner up, salah gue. Lama-lama hujan meteor dan manusia punah pun di akhirat lo pasti masih nyalah-nyalahin gue.” “Ya memang lo salah,” sahut Mika. “Orang kayak lo itu sakit atau enggak nggak ngaruh karena lo nggak punya tanggung jawab, kerjaan lo tiap hari paling cuma sekolah sama nongkrong nggak jelas.” “Halah, nggak usah berlagak keren di depan gue. Timbang main band sekolahan doang, kayak yang sudah mangging se-Indonesia saja.” “Hah? Apa lo bilang?” Marco membuat darah Mika mendidih karena dengan songong Marco mengulangi kalimatnya sama persis. “Hei, nggak semua orang bisa main musik dan punya kesempatan buat ikut festival ya! Ah, sudah lah gue nggak akan dengerin bacot orang yang suka ngeremehin padahal sendirinya nggak bisa main musik.” “Cih,” Marco berdecih dengan senyum pongah, membuang Mika mendengkus. Memangnya Marco bisa membalas apa lagi, kenyataannya dia memang besar omong saja. Mika misuh-musuh saat memasuki kelas dan kelas langsung heboh menyambut kedatangannya, tapi bukan lantaran bertanya mengapa kakinya pincang sebelah, melainkan sibuk cie-cie-in dirinya dan Marco. Jika Mika misuh-musuhnya hanya mendumel seperti dukun komat-kamit baca mantra, Marco langsung menyembur mereka semua agar diam. “Heh! Hati-hati, dong!” pekik Mika refleks saat Marco main lepas pegangan saat Mika hendak duduk. Marco hanya mengibaskan tangan tak peduli dan berjalan ke bangkunya sendiri, seperti enggan makin lama terlihat berdekatan dengan Mika. “Nggak usah terima kasih,” ujar Marco sambil lalu. “Siapa juga yang mau terima kasih!” Jika ada sesuatu di tangan Mika selain ponsel, Mika pasti sudah melemparkannya ke kepala Marco. “Eh eh, kaki begini masih saja mau lari,” ujar Aninda, menahan Mika tetap duduk di tempatnya. Mika mengembuskan napas sebal. “Habisnya itu orang ngeselin banget, ngapain gue terima kasih, orang dia yang bikin kaki gue begini.” “Hah? Gimana ceritanya?” Mika mau tak mau, malu tak malu, harus tetap menceritakan kejadian sebenarnya ke Aninda daripada nanti Aninda dengarnya dari ocehan Marco misalnya. Mika cerita semuanya dari ia yang kasihan pada Leo, manjat pohon, digigit semut, jatuh dari atas pohon, sampai akhirnya harus digendong Marco untuk masuk ke mobil lantaran hati dan tubuhnya remuk. “Ye … itu sih bukan salah Marco, tapi salah lo sendiri,” rutuk Aninda tak berperi-sahabatan. Mika mengerucutkan bibir sebal. “Ya tetap salah Marco lah, dia yang gantug sepatu itu di atas pohon.” “Tapi kan itu bukan sepatu lo dan dia nggak nyuruh lo manjat,” timpal Aninda benar-benar blak-blakan. “Ini namanya lo cuma menjadikan Marco objek buat melampiaskan kesal karena lo nggak tahu bagaimana caranya melampiaskan ke diri sendiri.” “Tahu, ah,” Mika mendengkus, merajuk. Di saat yang sama, Leo tampak memasuki kelas, tentu dengan sepasang sepatu baru. Mika harap kali ini Leo bisa lebih tegas, melindungi sepasang sepatu saja tidak becus, bagaimana dia bisa melindungi diri? Ah, sialan Mika khawatir lagi jadinya, kan. Mika menggeleng-geleng cepat, berusaha menepis pikiran itu, tepat di saat bersamaan Leo menoleh ke arahannya. Lantas saja Mika membuang pandangannya ke sembarang arah dan sialnya pandangannya terarah pada bangku Marco di mana teman-teman Marco masih sibuk menggoda Marco seperti anak SD baru cinta-cintaan lewat sinetron. Spontan mereka berseru heboh mendapati Mika mereka kira sedang memandang Marco. “Hadeh,” keluh Mika malas, memilih memandang Aninda saja. Sayangnya itupun bukan pilihan bagus sebab Aninda, biar kata Aninda mulutnya sepedas Seblak levelan, tapi dia baik. “Mika … Mika ….” Aninda malah geleng-geleng kepala seolah tak habis pikir dengan tingkah Mika. “Terus sekarang lo mau gimana? Masih mau ngarep dia putus sama cowoknya?” “Enggak lah,” tampik Mika tegas. “Mau putus kek, nikah kek, nggak peduli.” “Bener!” “Bener!” jawab Mika seratus persen yakin, saat ini. Tidak tahu kalau nanti. *** Neneknya bilang, kalau Mika ingin cepat sempuh, Mika harus berjalan-jalan di atas rumput yang masih berembun tanpa alas kaki. Tidak tahu bagaimana hubungannya, Mika tak mau ambil pusing dengan langsung melakukannya saja. Siapa tahu manjur betulan. Kebanyakan mitos nenek moyang itu selalu benar. "Udah ah, jangan manja. Orang udah nggak bengkak begini." "Ya ya ya, Bunda... " Mika merengek persis seperti anak kecil ketika Sadin melepaskan gandengan mereka, dan menyuruh Mika latihan berjalan sendiri. Meskipun anak kandungnya, terkadang Sadin sebal sendiri setiap kali Mika bersikap manja berlebihan. Berbeda dengan Duta yang malah menganggapnya menggemaskan padahal Mika bukan lagi anak-anak. Sikap Mika ini kebalikan dengan sang adik, Sikka, dia sangat mandiri hingga kerap kali Sadin merasa Sikka dewasa sebelum waktunya. "Hoaaamm... ada apa pagi-pagi sudah ribut?" Suara Duta menguap terdengar mendekat bersama langkah lelaki itu. Duta masih mengenakan pakaian santai untuk tidur, dengan rambut berantakan, dan wajah bantal belum tersentuh air. Oh, tidak. Bagaimana bisa Sadin selalu terpesona dengan wajah yang selalu dilihatnya setiap hari. Dan bagaimana bisa juga lelaki itu tetap tampan sekalipun anak tertunya tak lama lagi akan punya KTP. Sadin tak habis pikir, apa yang dinikahinya ini bukan manusia. "Nah, udah ada Ayah." Mika menepuk senang. "Bunda masuk aja deh, masak buat kita." "Eh, enak sekali ngomongnya." "Kamu mau ngikutin saran Eyang?" Mika mengangguk kuat. Jika tidak, mana mungkin Mika mau bangun pagi sebelum matahari meninggi pada hari Sabtu seperti ini? "Coba jalan sendiri, nanti Ayah lihatin dari sini." Air muka Mika jatuh seketika. Ternyata Ayah dan Bundanya sama saja. "Hoek..." Dua pasang mata ayah dan anak itu sontak diarahkan ke arah Sadin yang tengah membekap mulut, mencegah gejolak di perutnya keluar lewat mulut. Perut Sadin kembali bergejolak dan Sadin buru-buru masuk ke dalam rumah, sebelum muntah tidak pada tempatnya. Mika yang cemas, mengambil ancang-ancang ingin mengejar sang Bunda. “Bunda sakit, Yah?" "Bunda enggak sakit,” jawab Duta terlampau tenang, padahal Duta biasanya berlebihan jika ada keluarganya yang menunjukkan tanda-tanda kurang enak badan. "Tapi Bunda muntah - muntah, Yah. Pasti maag-nya kambuh." "Enggak, Bunda kamu sudah biasa. Bukan maag itu.” "Kok?" kening Mika berkerut bingung, sama sekali tidak paham maksud ayahnya. Sementara wajah Mika kusut, wajah Duta sebaliknya. Senyum Duta mendadak merekah sangat lebar. "Iya, mual-mual saat hamil muda itu biasa. Dulu saat hamil Sikka, kan Bunda gitu juga.” Mika terdiam, menahan waktu sejenak untuk berhenti berputar selagi gadis itu berpikir. Hamil? "Bunda hamil?!” pekikMika diambang antara percaya dan tidak. Dan masih dengan wajah bahagianya sang ayah mengangguk. "Iya, kamu mau punya adik lagi." Mika menghentakkan kakinya yang tidak sakit. Jelas itu bukan reaksi senang. "Ayah sama Bunda benar-benar ya.” Mika kesulitan berkata-kata saking kesalnya “Aku kan udah SMA, Yah, masa mau punya adek bayi?” "Apa salahnya?” “Malu, Yah,” jawab Mika geregetan. Duta menghela napas lalu merangkul Mika. “Malu kenapa? Orang Ayah sama Mika masih pantas kok punya anak bayi. Tenang aja, nggak akan ada yang bilang adik nanti lebih cocok jadi anakmu,” jelas Duta tenang. Sejak kehamilan Sadin diketahui beberapa hari lalu, Duta dan Sadin telah menebak seperti inilah reaksi Mika. Mika pasti merasa aneh harus memiliki adik dengan rentang usia 17 tahun. “Ah, sudahlah." Mika melepas rangkulan ayahnya dan berjalan masuk ke dalam rumah. Mika berdecak, belum bisa sepenuhnya menerima tapi harus mulai menerima. Bagaimana pun juga, calon adiknya sudah ada di dalam perut Sadin. “Lho, sudah nggak sakit lagi?” tunjuk Sadin saat berpapasan dengan Mika. Mika belum mau bicara, jadi Mika melewati bundanya begitu saja. “Kenapa dia?” tanya Sadin pada Duta. Duta menunggu Sadin mendekat dan langsung merangkulnya sambil mengelus perut Sadin sekilas. “Mika udah aku kasih tahu.” “Terus dia ngambek?” Duta menggelengkan kepala pelan. “Enggak, cuma butuh waktu karena nggak nyangka akan punya adik lagi. Nggak apa-apa, kayak nggak paham aja Mika gimana,” ujar Duta menenangkan meski tak bisa membuat Sadin sepenuhnya tenang. Paling tidak, Mika sekarang sudah berhenti pura-pura kakinya masih sakit biar dimanja penghuni rumah. *** Niat hati ingin disayang-sayang dan tidak disuruh-suruh lebih lama harus berakhir oleh kabar kehamilan Bundanya. Jujur, Mika memang tak ingin adik bayi di isianya yang akan 17 tahun. Satu adik seperti Sikka saja sudah merepotkan, tidak terbayang bagaimana jika Mika memiliki satu lagi. Untuk menyegarkan pikiran, malam ini Mika sudah ada janji dengan seorang di sebuah kafe milik orang spesial itu. Kenapa orang itu spesial? Karena selain ayahnya, dia adalah orang yang selalu mengerti keinginannya. Bedanya kalau Duta hanya mengerti, orang itu tidak hanya sekedar mengerti tapi juga menuruti. Dialah pamannya, Dimas. Salah satu pelayan yang mengenali Mika menyapanya ramah, dan Mika pun selalu membalas lebih ramah. Mika bertanya dimana paman tersayangnya, pelayan itu menunjuk ke satu arah. Mika mengucap terima kasih, lalu pergi. "Om!" teriak Mika tak ada manis-manisnya, tapi jika menutup telinga dan hanya melihat seyuman Mika, maka manisnya lebih dari gula. Lelaki yang tengah mengawasi dua orang pekerjanya menata salah satu sudut yang biasa digunakan untuk pertunjukan live band itu merentangkan tangan siap memeluk sang keponakan yang telah dianggap sebagai anak sendiri sekalipun di rumah dia telah memiliki dua orang buah cintanya dengan sang istri yang selalu terlihat seperti remaja. "Tumben Bunda kamu nginjiin keluar malam." Dimas merangkul pundak Mika, membimbingnya duduk di salah satu meja yang cukup dekat dengan panggung yang disinari lampu terang. "Itu karena sekarang Bunda susah membagi perhatian sama ketiga anaknya." "Ketiga anaknya?" Dimas menaikkan seleah alis bingung, apa ia salah dengar? "Om nggak tahu Bunda hamil lagi?" Dimas tak bereaksi, tapi wajahnya tak terlihat terkejut sama sekali. "Nggak tahu deh, harusnya kalau Ayah sama Bunda berencana punya anak banyak ya jangan jauh - jauh jaraknya. Iya kan, Om?" Dimas mengangkat bahu acuh. Perlahan ikut duduk di samping Mika. "Wajar saja lah, Mik. Bunda sama Ayah kamu kan masih muda." "Tapi Mika udah ketuaan buat punya adik bayi, Om." Mika melemaskan badan, seiring helaan nafasnya yang panjang. "Sudahlah, Om. Dibahas terlalu lama juga nggak akan merubah keadaan." Mika memegangi perutnya. "Laper nih, Om. Mau makan." Dimas terkekeh pelan. "Kamu ini." Dimas lalu memanggil salah satu pelayan untuk menyiapkan menu spesial hari ini. "Mau ada band yang tampil ya, Om?" Mika melihat sudut itu sudah siap. Ada sebuah kursi dan standing mike ditengah-tengah, serta beberapa alat musik lain di belakang. "Bukan band, tapi penyanyi tunggal. Banyak yang suka dia, Om yakin kamu juga pasti nanti suka." "Cowok?" Dimas mengangguk. "Ganteng nggak? Mika terlihat antusias. Baginya selain musik, fisik si penyanyi juga sangat mempengaruhi penilaian. Tapi anehnya, Mika selalu marah-marah tak terima kalau ada yang mengkritik band nya sendiri menang di tampang. "Lihat sendiri deh, dia kayaknya juga seusia kamu." Oke, Mika akan melihatnya sendiri. Mika jadi tidak sabar. "Om, kapan-kapan band aku dong suruh manggung di sini. Kan lumayan buat jam terbang." "Atur aja waktunya, kamu kan tahu sama Om semua beres." Seseorang tiba-tiba menghampiri Dimas, berbicara berbisik-bisik, lalu Dimas pamit pergi. Mika mengangkat bahu tak peduli, ada masalah mungkin. Sepiring spicy tuna spaghetti dan strawberry squash dihidangkan ke hadapan Mika, air liur Mika hampir menetes karenanya. Mika lantas memakannya, enak sekali. Wajar saja jika kafe ini banyak dijadikan tempat nongkrong anak muda, selain enak, harganya juga bisa berteman dengan kantong. Jreng! Suara gitar mengalihkan perhatian Mika sejenak ke panggung. Tampak seorang pemuda berjaket denim dengan celana robek-robek dan sepatu bebal menenteng gitar, bersiap duduk di kursi yang disediakan. Wajahnya sedikit tidak terlihat karena tertutup topi, ditambah kepalanya yang terus menunduk. Dari penampilannya, Mika langsung suka. Cuek dan apa adanya. Mika menunggu-nunggu pemuda itu mengangkat wajahnya agar Mika bisa melihat dengan jelas wajah pemuda bertubuh kurus itu. "Cek... malam, semua." Pemuda itu menyapa, sambil membalik topinya ke belakang sehingga wajahnya kini terlihat jelas. Mika mengerejap perlahan. Di bawah lampu sorot yang terang fokus pada panggung, dan topi yang kini dipakai terbalik, Mika dengan jelas melihat wajah si penyanyi itu. Dia. "Marco?” gumam Mika tak percaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD