19 | Karena Kamu yang Minta

1813 Words
Alvin, leader Naranada tersinggung setelah Mika mengatakan bahwa Marco ingin melihat penampilan band mereka dulu sebelum memutuskan mau gabung atau tidak. Dia merasa Marco terlalu sombong, mana mungkin siswa sekolah ini tidak pernah melihat penampilan band mereka barang satu kali pun? Mika berusaha membela mati-matian bahwa mungkin tiap mereka tampil Marco memang tidak menonton dan sialnya itu malah membuat Alvin makin tersinggung. Ditambah lagi mereka cuma tahunya Marco itu siswa nakal, Alvin takut sifat nakal Marco kan mempertaruhi band mereka. “Ayo lah, Kak. Kalau Kak Alvin udah lihat penampilan Marco, Kak Alvin pasti akan suka. Dia aslinya nggak senakal itu, kok. Dasarnya dia anak baik, cuma ya mungkin emang penge kelihatan keren aja.” “Mika, ini yang mau rekrut dan direkrut sebenarnya siapa? Harusnya dia lah yang tampil di depan kita, terus kita nilai dia cocok nggak sama Naranada. Bukan sebaliknya. Memangnya dia siapa? Arash Buana?” Mika mengerucutkan bibir, tak tahu harus meyakinkan bagaimana lagi. Ucapan Alvin memang ada benarnya, tapi Alvin tidak tahu kalau Marco lebih keren daripada Arash Buana. Setidaknya di mata Mika begitu. “Sudah lah, aku kayaknya nggak bisa segrup sama orang songong. Kalau dia masih mau masuk Naranada, nanti sepulang sekolah suruh dia ke studio. Dia yang tampil, bukan kita,” putus Alvin. “Kalau gini gimana, Kak?” Mika berdeham, bersiap mengemukakan ide yang menurutnya adil dan bijaksana. “Gimana kita dan dia sama-sama tampil, jadi saling nilai cocok apa enggak.” “Enggak.” “Kak…,” rengek Mika, merayu. “Kita udah nggak punya waktu kalau mau bikin audisi, Marco ini beneran bagus. Masa Kak Alvin nggak percaya sama taste aku, sih?” Alvin menghela napas, egonya sebagai laki-laki da senior memang sedikit terluka, tapi ucapan Mika juga ada benarnya. Di tengah waktu yang mepet, lebih baik waktu mereka digunakan untuk fokus pada persiapan festival daripada membuat audisi. “Oke ya udah, kita nanti kumpul di studio. Sama nanti ada satu orang lagi yang tertarik gabung sama kita. Jadi bilang sama Marco, dia bukan kandidat satu-satunya jadi jangan belagu.” “Ada yang mau audisi juga? Siapa, Kak?” “Nggak tahu, lupa namanya. Jodi yang ngajak.” Mika hanya manggut-manggut mengerti, meski begitu ia tetap percaya diri Marco lah yang akan terpilih. Ya, memang harus Marco yang bergabung di Naranada, sebab bisa jadi alasan Marco kembali sekolah memang karena ucapan Mika terakhir kali di halte meski itu mungkin ada alasan mendasar lain yang tidak Mika tahu, tapi sungguh Mika ingin melihat Marco berdiri di atas panggung. Tempat pertama kalinya Mika melihat Marco terlihat keren dengan cara keren. Dari kelas Alvin, Mika berlarian menuju kelasnya sendiri. Ia harus menyampaikan pesan Alvin, mereka nanti mungkin aka sedikit berdebat karena berbeda dengan kesepakatan awal. Di mana Naranada lah yang tampil. “Marco!” Mika spontan menyerukan nama Marco saat melihat cowok itu hendak masuk ke kelas mengingat jam istirahat akan segera berakhir. Marco memberi isyarat Vino dan Ryan untuk masuk lebih ulu, sementara Marco menunggu Mika yang berlarian ke arahnya. “Nanti jangan langsung pulang dulu, Kak Alvin nyuruh ke studio nanti sepulang sekolah.” “Hm, oke.” “Tapi—“ “Mika, kamu di sini ternyata.” Ucapan Mika belum tuntas, ketika Icha tahu-tahu muncul bersama Frisca dan Lidya. Suasana hati Mika yang beberapa detik lalu masih penuh warna dan wangi seperti permen karet, seketika langsung buruk. Ketiga orang itu berdiri di depan Mika dan Marco dengan cup minuman bola sagu caramel di tangan masing-masing. Pandangan Icha pada Mika teralih cowok di sebelah Mika. “Ah, jadi kamu yang namanya Jovan?” Mika melirik Marco, karena Icha seperti mengenalnya padahal ini pertama kali mereka bertemu dan tadi di kelas pun tidak terjadi apa-apa. Ditambah lagi, selain beberapa guru, tidak ada yang memanggil Marco menggunakan nama depannya “Siapa, ya? Gue belum pernah lihat lo di sekolah ini.” Agaknya Marco pun merasa sama. Tidak pernah kenalan tapi Icha memanggilnya dengan nama berbeda dari kebanyakan orang memanggilnya. Seperti baru teringat sesuatu, Marco menarik sebelah sudut bibirnya sambil melirik Mika. “Aku memang baru pindah, tapi aku dengar banyak tentang kamu.” Mika mendengkus lumayan keras, sengaja agar orang di sekitar menyadarinya dan syukur-syukur Icha sadar kalau tingkah sok akrabnya itu sangat memuakkan. Dengkusan itu juga mengembalikan perhatian Icha kembali pada Mika. “Aku dari tadi cari kamu ke mana-mana, habisnya kamu langsung keluar pas istirahat.” “Ada apa?” tanya Mika malas, hanya agar mereka segera menyingkir dari hadapan Mika. Melalui ekor matanya, Mika bisa melihat Marco menatap dirinya dan Icha bergantian, barangkali heran juga kenapa sikap Mika tiba-tiba berubah. Tak ramah dan ceria seperti sebelum Icha datang. “Aku masih nggak enak sama yang kemarin, gara-gara aku, orang-orang jadi ngomongin kamu.” “Terus?” “Kamu belum maafin aku.” “Iya, Mika butthurt banget. Icha kan nggak sengaja dan udah tulus minta maaf,” timpal Frisca yang sepertinya sangat bangga bisa dengan cepat akrab dengan Icha padahal biasanya dirinya dan Mika sering berbagi contekan karena tempat duduknya tepat berada di depan Mika. Mika memutar bola mata malas. Orang-orang ini sepertinya tidak tahu apa arti ‘tidak sengaja’. Tidak sengaja itu kalau tidak sadar melakukan atau mengatakan hal tidak seharusnya lalu berhenti, jelas-jelas kemarin Mika melihat dan mendengar dengan mata dan telinganya sendiri Icha begitu menikmati bergosip tentang Mika. “Dengar ya, Fris, dengan apa lo ngukur Icha tulus dan gue butthurt? Oh iya, lupa, kemarin lo cuma dengar pas Icha teriak maaf tapi nggak dengar dia bilang kalau dia minta maaf karena disuruh cowoknya.” “Leo cuma ngingetin, kamu kayaknya salah paham,” sambar Icha menyelamatkan diri yang sekaligus membuat Mika terlihat makin buruk. “Gini aja, deh, Cha. Kalau lo beneran merasa bersalah, cukup stop, nggak usah dibahas-bahas lagi. Nggak usah sok ngemis maaf kalau tujuan lo cuma ingin terlihat baik dan gue jahat. Bukannya dari dulu kita udah saling nggak suka? Lalu kenapa sekarang lo tiba-tiba peduli peduli gue marah atau enggak sama lo?” “Aku nggak pernah mikir begitu. Karena sekarang kita sekelas, jadi aku ingin memperbaiki pertemanan sama kamu.” Mika geleng-geleng tak habis pikir, ingin tertawa tapi saking lucunya ia tidak bisa terbahak-bahak. “Kata memperbaiki itu cuma cocok dipakai kalau kita pernah berteman. Apa gue lagi yang salah paham? Karena seingat gue, lo nggak pernah mau jadi berteman sama gue,” desis Mika tajam. “Ya, udah, Cha. Yang penting kamu udah berbesar hati mau minta maaf, kalau Mika tetap nggak mau maafin, kita cukup tahu oh ternyata dia orangnya kayak gitu,” sela Frisca, menghibur Icha yang dari ekspresinya seolah-olah terluka atas ucapan Mika. “Iya, nggak usah pedulikan dia, Cha,” timpal Lidya, lalu menggandeng Icha memasuki kelas. “Jadi lo benci sama cewek itu karena dia ceweknya Leo?” Mika sontak menatap Marco kaget. “Kok lo tahu?“ “Waktu lo jatuh dari pohon, Leo ninggalin lo dan pergi sama cewek itu, kan? Lupa?” Mika mendecakkan lidah, kesal sekali tiap diingatkan tentang kejadian bodoh dan memalukan itu. Sementara Marco makin puas mengejeknya. “Hm, lumayan juga sih, pantesan Leo milih masuk mobil dia, daripada nolongin lo.” Mika mencebikkan bibir mencibir. “Buat apa cantik kalau manipulatif. Gue juga cantik, tahu!” Mika membesarkan hati sendiri dengan memuji diri sendiri. “Tapi kok dia bisa panggil lo Jovan?” Marco menghendikkan bahu tak tahu, bersamaan dengan bel berakhirnya jam istirahat berbunyi. “Co, jangan lupa. Nanti langsung ke studio Naranada, ya.” Mika mengingatkan saat Marco mulai bergeming dari hadapannya. “Iya, kalau nggak lupa.” “Gue tungguin, nanti gue ingetin lagi.” *** Mika benar-benar menunggu Marco. Begitu guru mata pelajaran terakhir meninggalkan kelas, Mika langsung bergegas menunggu di depan kelas. Ia tidak mungkin langsung mengajak Marco saat masih di dalam kelas, ia pasti akan mati malu lantaran digoda oleh teman-teman Marco seperti saat di lapangan basket tadi, usai Marco mengorbankan punggungnya terhantam bola demi melindungi Mika. Mereka berjalan bersama-sama menuju studio yang terletak di gedung berbeda. Sambil jalan, Mika juga mengatakan agar Marco memikirkan nanti akan nyanyi lagu apa karena nanti yang tampil bukan hanya Naranada. Dan, persis seperti dugaan Mika. Marco akan terlihat kesa. Sebelum Marco menyuarakan kekesalan itu, Mika buru-buru menjelaskan. “Kan yang tahu kemampuan lo cuma baru gue.” “Jadi yang ingin gue gabung itu Naranada atau cuma lo?” “Ehm, gue, sih,” cicit Mika malu. “Lebih tepatnya, gue merekomendasikan nama lo. Sama kayak lo yang ingin lihat musik Naranada buat tahu kira-kira cocok apa enggak, Kak Alvin juga ingin lihat kemampuan lo.” Marco mendecakkan lidah malas. “Nggak usah aja lah, gue males ribet.” “Eh eh, Co, tunggu dulu.” Mika refleks menarik tas Marco, saat lelaki itu hendak berbalik arah. “Nggak ribet, kan cuma nyanyi satu lagu aja. Gue yakin mereka akan suka. Ayolah,” bujuk Mika, mengedip-ngedip sok imut, jika ia melakukan ini di depan Aninda, dia pasti akan mencolok matanya. Marco membuang muka, mungkin mual juga melihat ekspresi Mika. “Gue tuh males dinilai-nilai terus ditolak, kayak gue yang ngarep banget. Padahal gue mau karena lo yang minta.” Sesaat Mika terpaku. Ada satu kalimat Marco yang sulit dicerna olehnya dan mendadak membuatnya salah salah tingkah. “Lo mau gabung karena gue?” Ulang Mika, kesulitan menahan senyumnya. “Ya iya lah, kan cuma lo yang minta.” “Ngapain masih di sini, Mik?” Mika belum sempat merespon Marco, ketika terdengar suara Jodi yang pastinya juga sedang menuju studio. Mika menoleh dan alisnya langsung bertaut saat melihat ada Leo berjalan di sebelah Jodi. Tunggu jangan bilang kalau kandidat lain yang dimaksud Alvin tadi adalah Leo. “Oh, kenapa?…” Mika menunjuk Leo tapi menatap Jodi, menuntut penjelasan mengapa Jodi bisa berjalan bersama Leo. “Dia yang lo bilang mau gabung?” Jodi berbalik tanya, melempar pandangan pada Marco. “Alvin udah bilang, kan? Gue juga ngajakin orang.” “Maksud Kak Jodi, dia?” “Iya, Leo. Kalian sekelas, kan? Tapi lo pasti nggak tahu kalau dia jago main gitar,” jawab Jodi. “Yuk, Alvin katanya sudah di studio,” tambah Jodi sambil lalu, tentu saja dengan diikuti Leo di belakangnya. Tatapan Mika dan Leo bertemu saat Leo berjalan melewatinya. Mika sungguh tak percaya, sekalipun Leo jago memainkan alat musik, biasanya juara kelas seperti dirinya tidak akan mau gabung di ekskul yang tidak ada hubungannya denga bidang akademik. Entah apa motivasi Leo tiba-tiba ingin jadi anak band. Dengan takut-takut, Mika melirik Marco yang juga ternyata tengah menatapnya tajam. Kedua ujung alis Marco bahkan tampak menyatu, mirip singa sedang menginai mangsa. “Jadi, selain akan dinilai, gue juga harus bersaing? Sama dia?” Mika meringis aneh. “Hehe kayaknya begitu.” Di titik ini Mika sudah pasrah jika Marco benar-benar putar arah, tapi yang tak disangka-sangka, kedua kaki Marco bergerak melangkah ke arah yang sama dengan Jodi dan Leo tadi pergi. Ke studio band Naranada.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD