Sara terbangun pagi itu dengan tubuh yang terasa hancur dan lelah. Robin melampiaskan nafsunya bagaikan iblis dan tak memberikan ruang untuk Sara beristirahat.
Sara merasa lega, saat ia terbangun tak menemukan Robin disekitarnya. Pria itu sudah berangkat bekerja sehingga Sara bisa beristirahat lebih lama untuk mengumpulkan tenaganya.
Tubuhnya terasa sakit dan pegal, sampai sampai ia merasa sedikit demam. Fisik dan mentalnya cukup syok menahan beban pernikahan ini dan menghadapi Robin.
Setelah merasa ada sedikit tenaga, Sara mencoba bangun perlahan dan mulai meregangkan tubuhnya. Lagi-lagi kamar tidur itu dikunci dari luar tapi kali ini satu set meja penuh makanan sudah tersaji di sudut ruangan.
Sara segera merendam tubuhnya di air hangat lalu segera sarapan. Ia harus tetap kuat untuk menghadapi masa depannya yang tak menentu.
Tiba tiba terdengar dering telepon dari dalam tasnya. Sara segera menggeledah tasnya dan menemukan sebuah handphone baru yang berdering nyaring.
"Lama sekali diangkatnya,sedang apa kamu?" tanya suara yang begitu familiar, suara Robin.
"Aku baru selesai sarapan," jawab Sara perlahan.
"Ini handphone baru kamu, api jangan harap ada nomor lain di dalamnya, karena saat ini hanya ada namaku. Ohya, jam 11 nanti Zen akan menjemputmu. Pakai pakaian yang rapi, karena kita akan datang kerumah orang tuaku ,berdandan lah, aku ingin kamu terlihat cantik," perintah Robin lalu mematikan sambungan telepon.
Sara menatap handphone barunya.Tentu saja bentuknya lebih bagus dan canggih dari pada yang sebelumnya tapi Sara kecewa karena Robin tak menyisakan nomor kontak teman teman lamanya.
Sara merindukan teman teman dan kehidupannya yang sederhana dan damai. Walau ia memiliki Ayah yang kaya tapi Sang Ayah tak pernah mengurusnya. Kini malah ia yang harus menebus kesalahan sang Ayah.
Sara benar-benar tak berminat untuk pergi kerumah orangtua Robin. Ia benar-benar sedang lelah dipandang lelah oleh semua orang.
Perlahan ia kembali mencoba membuka pintu kamarnya. Lagi-lagi terkunci, tapi ia pun tak berusaha untuk berteriak minta tolong, karena Sara yakin tak ada yang bisa menolongnya. Semua orang dirumah itu takut pada Robin.
Tepat pukul 11 siang Zen membuka kunci kamar Sara dari luar. Sara sudah siap,ia tampak cantik dan bersahaja. Bahkan Zen pun sempat terpana sesaat. Ada rasa kasihan dimata Zen saat melihat Sara. Wajah cantik itu bermata sangat sedih, seolah tak ada lagi semangat hidup.Ia tahu semua rencana Robin pada Sara ,walau tak ingin terlibat, tapi ia merasa kasihan pada Sara yang menjadi korban keadaan.
"Mari kita pergi nyonya, tapi sebelum sampai ke rumah Tuan besar, kita harus menjemput Pak Robin di kantornya," ucap Zen saat memasang safety belt.
"Hmmm," jawab Sara tak bersemangat.
Sara mengalihkan pandangannya pada langit biru yang hari ini bersinar amat cerah.
Ia begitu merindukan kebebasan seperti awan yang begitu putih dan bergerak lambat bermain dilangit.
Zen yang merasa kasihan hanya bisa mencuri pandangan dari kaca spion melihat Sara yang tampak ketakutan dan tak bahagia.
Sesampainya di basement kantor Robin, mereka langsung masuk menggunakan lift khusus tersendiri. Lift itu langsung berhenti di dalam ruangan Robin, sehingga karyawan Robin seringkali tak tahu kapan bos nya itu datang atau pergi.
Robin tengah duduk di meja kerjanya saat Lift terbuka, Sara dan Zen pun segera memasuki ruangan dan berjalan mendekati meja kerja Robin. .
"Tinggalkan kami," suruh Robin pada Zen tanpa menoleh ke arah keduanya. .
Zen kembali bergerak mundur dan masuk ke dalam lift, sedangkan Sara berdiri mematung dengan canggung.
"Kamu sedang apa? Latihan jadi patung?" tanya Robin sambil tetap asik memeriksa pekerjaannya.
Ditegur begitu Sara bergerak maju lalu duduk di sofa kulit dengan ragu. Robin melemparkan pulpen yang dipegangnya ke atas meja lalu melihat Sara dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Ia berdiri dan berjalan mendekati Sara sambil memasukan tangannya kedalam saku.
"Okay, aku suka pilihan pakaianmu, kamu tampak cantik hari ini tapi lipstik ini tampak terlalu merah dan tebal." Robin mengamati penampilan Sara sambil menarik nafas panjang.
Tiba-tiba ia berjongkok di depan Sara dan segera melumat bibir perempuan itu tanpa ampun. Tangan Sara sesekali memukul d**a Robin agar ia memberinya nafas dan berhenti Robin mencium Sara semakin kasar dan sesekali menggigit bibir istrinya karena gemas. Erangan kesakitan dari mulut Sara semakin meningkatkan libidonya.
Akhirnya mereka berhenti, Robin menarik mulutnya. Bibir mereka berdua belepotan dengan lipstik yang berpindah tempat. Bibir Sara terlihat bengkak dan merah dan rasanya Sara ingin menangis karena bibirnya terasa sakit sekali.
Entah mengapa Robin suka sekali ciuman kasar seperti itu yang membuat Sara seringkali takut jika dicium Robin. Wajah Robin terlihat sangat puas, ia menghapus sisa lipstik di wajahnya dengan tissue sambil menatap Sara yang menahan tangis karena sakit.
"Kenapa merengut? Ciumanku kurang enak atau kamu ingin lebih lama?" goda Robin
"Tidak! Bibirku benar benar sakit!" tolak Sara sambil memalingkan muka dan melindungi bibirnya dengan tangan.
Robin tertawa, lalu menarik Sara masuk kedalam ruangan lain diruang kerjanya. Ruangan itu lebih cocok dengan sebutan kamar karena terdapat ranjang besar di dalamnya. Robin menghempaskan tubuh Sara keatas ranjang .
"Jangan! Apa kamu lupa kita harus datang kerumah orang tuamu?!" tolak Sara cepat dan menahan tubuh Robin yang tampak tak sabar untuk berada diatas tubuhnya.
Mendengar ucapan Sara, Robin menghempaskan dirinya sendiri kesamping Sara lalu tiba tiba membalikan tubuhnya dan menaiki tubuh Sara dan menciumi wajahnya lembut.
"Bersikaplah baik hari ini. Orang Tuaku tak menyukaimu, terutama Mama. Tentu saja, ia tak suka padamu, karena sebenarnya ia berharap untuk bisa menjadi ibu tirimu bukan menjadi ibu mertua. Aku juga awalnya tak menyukai dirimu karena kamu anak dari seseorang yang merusak keluargaku dan mencuri uang perusahaan. Tapi setelah kita bercinta, tubuhmu ini membuatku kecanduan, ingin rasanya setiap hari aku menidurimu sampai puas. Jika kamu tetap menurut padaku, aku akan berbaik hati untuk membiarkan kamu bekerja. Selama kamu tak macam macam dan melayani s*x ku dengan baik, aku akan selalu bermurah hati. Tapi ingat, aku tak suka jika suatu hari nanti aku tahu kamu berselingkuh atau lari dariku. Jika itu terjadi aku akan hancurkan kamu sampai kamu tak akan pernah berdiri atau berani bertemu orang lain," ucap Robin sambil menikmati wajah, ,leher Sara dengan menciumnya lembut.
Sara hanya diam dan memalingkan wajahnya. Robin pun berpindah dari atas tubuh Sara.
"Rapikan riasan dan rambutmu … walau aku suka melihat tampilan yang berantakan seperti ini, begitu sexy, " ucap Robin sambil merapikan pakaiannya sendiri.
Sara perlahan duduk dan mulai merapikan riasan wajahnya di depan kaca. Ia kembali menggunakan lipstik warna merah walau bibirnya sudah kebas tak bisa merasakan apa-apa.
Selesai berdandan, Sara keluar dari ruangan dan melihat Robin tengah menyelesaikan sesuatu sambil menelpon. Saat melihat Sara sudah kembali rapi, Robin segera menghentikan komunikasi teleponnya .
"Sara, kamu adalah rahasia untukku. Jika suatu hari nanti kamu bekerja diperusahaan ini, lebih baik kamu merahasiakan pernikahan kita. Karena urusan kita lebih serius dari apapun yang kamu pikirkan." Robin terlihat serius sambil berdiri dan menekan tombol lift.
Sara mengangguk lalu ia mengikuti Robin memasuki lift khusus dan kembali bertemu Zen ditempat parkir.
Robin menyuruh Sara untuk menutupi wajahnya saat melihat beberapa orang karyawan menyapa Robin di basement. Sara segera masuk mobil dan segera menghalangi wajahnya dengan topi agar tak ada mengenalinya.Mungkin Robin terlalu malu untuk memiliki istri seperti dirinya pikir Sara. Entah mengapa membayangkan hal itu membuat hati Sara terasa sedih.