Hari-hari Adrian kembali berjalan normal, kecuali mengingat sosok wanita misterius yang 'sedikit' menarik perhatiannya. Dia tidak menampik hal itu. Di dalam lubuk hatinya bahkan terjadi perang batin. Bahwa dia tidak tertarik tetapi di sisi lain dia ingin menghapus jejak wanita itu dari hidupnya. Sungguh dilema, apakah ini rasa suka atau sekadar rasa penasaran, entahlah.
Dia bahkan tersenyum sendiri saat mengingat bagaimana wanita itu memelintir tangannya dan membuatnya meringis kesakitan. Dia benar-benar tidak waras sekarang.
"Pak!"
"Astaga!" Adrian terlonjak kaget dari tempat duduknya saat Gea-sekretarisnya sudah ada di sampingnya. Mungkin karena keasyikan melamun sehingga dia tidak menyadari keberadaan Gea.
"Gea, sejak kapan kamu berdiri di sini?"
"Ehm mungkin sejak 5 menit yang lalu pak," jawab Gea tidak yakin.
"Kamu gak ngetuk pintu pasti?"
"Diketuk pak. Tapi saya khawatir lihat bapak cengengesan sendirian, saya harus memastikan apakah bapak perlu dibawa ke psikiater atau enggak," jelaskan Gea.
"Saya gak gila ya. Kamu jadi sekretaris lama-lama keterlaluan deh. Terus mau apa kamu ke sini?" tanya Adrian. Gea hanya melirik ke arah meja. Sejak tadi berkas yang harus ditandatangani Adrian memang dia letakkan lebih dulu.
Adrian segera membuka berkas yang diletakkan Gea. Membuka tiap lembarannya dan segera membubuhkan tanda tangan.
"Sudah!"
"Makasih Pak."
"Hmm," gumam Adrian.
"Pak, kali ini siapa lagi yang buat bapak seperti ini. Cepet banget move on-nya," sindir Gea.
"Maksud kamu?" tanya Adrian tidak mengerti.
"Pasti perempuan kan yang buat bapak cengengesan. Akhirnya ada juga ya pengganti Mba Angel. Aku ikut bersyukur loh pak," seloroh Gea. Bagaimana dia tidak khawatir, semenjak sang atasan ditinggal menikah oleh tunangannya. Adrian terlihat 'alergi' kepada wanita-wanita yang mencoba mendekatinya. Adrian seolah mati rasa. Tetapi seminggu ini Gea merasa Adrian kembali menemukan cintanya kembali. Lebih ceria dan juga rajin tersenyum.
"Sok tahu kamu."
"Oh kalau gitu pria ya pak," tebak Gea lagi.
"Eh aku normal ya," tampik Adrian.
"Soalnya perempuan gak. Jadi pasti laki. Walaupun itu tabu tapi kalau itu yang buat bapak bahagia. Saya mau gak mau harus terima orientasi bapak yang seperti itu."
Adrian ingin sekali marah tetapi dia hanya menghembuskan napasnya berkali-kali karena tuduhan tak berdasar sekretarisnya itu.
"Gea, kamu gak capek ngomong ya. Berisik banget. Sekali lagi saya ngomong saya normal dan ini bukan masalah perempuan. Kamu lagi lowong ya?"
"Gak pak. Pekerjaan saya banyak banget. Numpuk tuh di meja saya."
"Ya kalo gitu lanjut kerja sana. Ngapain ngerecokin atasan. Telinga saya sampai sakit denger kamu ngomong gak berhenti-henti," Adrian mengorek-ngorek telinganya yang tidak gatal.
"Iya pak."
"Iya keluar sana. Saya juga banyak pekerjaan ini," usir Adrian.
Gea akhirnya keluar dari ruangan membuat Adrian menghela napas panjang. Untung saja kinerja Gea sebanding dengan rasa keponya. Jika tidak mungkin Adrian sejak dulu memecat sekertarisnya itu.
Tidak lama ponsel Adrian berdering, ada nama Selma tertera di layar.
"Ya, halo Ma."
"Adrian, kamu inget kan buat makan malam di rumah."
"Iya Ma."
Padahal Adrian melupakan acara itu karena fokus mencari si wanita berambut pirang.
"Oke. Mama tunggu ya."
"Iya Ma."
Panggilan ditutup.
Adrian kini memilih untuk tinggal terpisah dari orang tuanya dan menempati apartemen. Awalnya mereka menolak dan beralasan akan kesepian tanpa kehadirannya. Tetapi karena tahu Adrian tengah patah hati, mereka akhirnya luluh dan menuruti keinginan Adrian. Sepertinya Adrian butuh ruang sementara waktu.
***
Pukul 7 malam, Adrian melajukan mobilnya menuju kediaman Abraham Tanuwijaya. Suatu kewajiban dari orang tuanya bahwa mereka setidaknya harus makan malam bersama sedikitnya sekali sebulan.
Adrian akhirnya tiba. Sebuah rumah yang mempunyai banyak kenangan masa kecil, remaja hingga dirinya dewasa.
"Mama!" teriak Adrian mencari keberadaan Selma.
"Eh kamu udah dateng sayang," sambut Selma. Keduanya berpelukan sejenak kemudian melabuhkan kecupan ringan di pipi kiri dan kanan.
"Papa mana?"
"Masih di ruang kerjanya. Dia sekarang punya kegiatan, main catur online. Mama sampai diabaikan karena game itu," keluh Selma membuat Adrian terkekeh.
"Dasar Papa."
Keduanya kemudian berjalan menuju meja makan.
"Kamu udah dateng," bertepatan Abraham yang juga berjalan menuju meja makan.
"Iya Pa. Papa sehat?"
"Iya."
"Wah ini kok menunya istimewa ya Ma. Ada perayaan apa?" ucap Adrian melihat berbagai sajian di meja makan.
"Mama punya tamu spesial. Tapi kita makan aja dulu. Siapa tahu dia telat."
"Oh gitu."
Ketiganya kemudian mengambil beberapa hidangan diletakkan di piring masing-masing. Bersenda gurau dan membahas apapun di keseharian mereka.
"Nyonya, ada tamu," ucap pelayan kepada Selma.
"Oh dia udah dateng," ucap Selma dan bangkit dari duduknya.
"Tunggu ya Ad. Kamu lanjutin aja makannya."
"Siapa Pa?" tanya Adrian penasaran. Sedangkan Abraham hanya mengendikkan bahunya.
"Papa, Adrian," Selma datang bersama seorang wanita muda. Wanita itu tampak feminin dengan gaun mini selutut, rambutnya panjang berwarna hitam berkilau. Riasannya juga sederhana.
"Uhuk!" Adrian yang sedang mengunyah makanannya terkejut bukan main melihat wanita yang tengah berdiri di samping mamanya.
"Adrian, perkenalkan ini Sheila. Anak kandung Mama. Kamu gak pernah ketemu dia kan," ucap Selma.
Seketika Adrian saling menatap dengan wanita muda yang bernama Sheila itu. Wanita yang sama dengan wanita berambut pirang yang selama ini dicarinya. Kenapa takdir mempermainkannya seperti ini. Wanita yang pernah menciumnya tidak lain adalah saudara sambungnya.
"Sheila," ucap wanita itu seolah ini pertama kalinya dia bertemu dengan Adrian. Adrian tersenyum sinis akan sikap naif dan polos wanita itu. Dia sangat pandai bersandiwara.
"Adrian. Adrian Tanuwijaya," Adrian membalas uluran tangan Sheila. Bahkan dia sengaja meremas tangannya tetapi wanita itu lagi-lagi bersikap biasa. Adrian benar-benar dibuat kesal.
"Ya udah. Kamu duduk sayang. Cobain masakan Mama."
Mungkin ada yang bertanya-tanya bagaimana bisa Adrian dan Sheila tidak pernah bertemu padahal mereka adalah saudara sambung. Jawabannya adalah momentum.
Saat Angel dan Matthew-abang Sheila menikah, Adrian meninggalkan negara ini sementara waktu dan sengaja tidak menghadiri pernikahan mereka. Sedangkan saat itu Sheila datang. Tetapi saat Adrian kembali, Sheila yang harus kembali ke Inggris. Jadi sejak saat itu mereka tidak pernah tahu wajah mereka satu sama lain, hanya nama saja.
"Kamu kerja apa?" tanya Adrian sengaja ingin mengungkit kerjaan Sheila. Dia yakin mamanya tidak tahu pekerjaan Sheila yang sesungguhnya. Tetapi dia juga tidak tega untuk memberitahukan kerjaan Sheila yang sebenarnya. Selma pasti syok.
"Kantoran," jawab Sheila singkat.
"Oh."
"Sheila lebih banyak di Inggris sayang. Kebetulan dia ditugaskan dari kantornya untuk bekerja di sini sementara waktu," jelaskan Selma.
Adrian lagi-lagi tertawa sinis. Kerjaan Sheila terdengar kerjaan yang baik tetapi nyatanya wanita itu tidak lebih dari wanita panggilan. Kasihan sekali Selma dibodohi seperti itu oleh putrinya yang pintar sekali bersikap polos.
"Gitu ya?" Adrian berpura-pura mengangguk mengerti.
Sheila menatap sinis Adrian. Dia memang sudah mempunyai firasat buruk akan hal ini. Tetapi sampai kapan dia menolak undangan Selma.
Setelah makan malam, mereka berpindah ke ruang keluarga untuk menikmati sajian kue dan juga secangkir teh hangat.
"Ma, Sheila ijin ke kamar mandi ya."
"Iya sayang."
Adrian hanya mengamati kepergian Sheila.
Tidak lama Adrian bangkit dari duduknya, "Ma, Adrian juga ijin ke kamar kecil."
Adrian menyusul Sheila ke kamar mandi. Dia menunggu dengan sabar wanita itu keluar dari kamar mandi.
"Pinter sekali kamu berakting polos ya," cibir Adrian sembari melipat tangannya di d**a. Bersandar pada tembok.
"Maksud kamu apa?"
"Apa jadinya jika Mama tahu kamu adalah wanita panggilan. Astaga aku gak bisa membayangkan itu," ucap Adrian.
"Kamu!" tatap marah Sheila.
"Oh-oh aku takut banget," Adrian berpura-pura ketakutan.
"Mulai saat ini kita lupain kejadian yang lalu KAKAK. Mari kita menjalin hubungan kekerabatan ini dengan semestinya," Sheila sengaja menekankan kata 'kakak" untuk menegaskan hubungan diantara mereka.
"Kamu!" tunjuk Adrian. Sheila tak peduli dan meninggalkan Adrian. Terhitung ketiga kalinya Sheila melakukan ini kepada Adrian.