Adrian menjalani harinya tanpa semangat dan juga rasa bersalah. Sebulan, ya hampir sebulan, Adrian bahkan ingat jelas berapa lama dia tidak pernah bertemu dengan Sheila lagi.
Sheila sepertinya sebisa mungkin menghindari Adrian. Dia tidak pernah lagi menemui Selma, hanya berbincang di telepon dan menanyakan kabarnya itu saja. Mengetahui hal itu, Adrian semakin menyesali dirinya telah menuduh Sheila dengan sangat kejam dan tanpa alasan.
Setelah mendapat saran dari Gea-sekretarisnya bahwa seorang pria sejati harus berani mengakui kesalahannya dan meminta maaf, membuat keyakinan Adrian semakin besar untuk menemui Sheila. Gea mengatakan kepadanya bahwa pria yang tulus meminta maaf akan membuat hati wanita luluh, hanya itu yang perlu dilakukan Adrian.
Saat itu Adrian baru saja akan menghampiri apartemen Sheila tetapi mobil Adrian berhenti karena melihat mobil Sheila baru saja meninggalkan apartemen dengan kecepatan tinggi.
Adrian kemudian mengikuti mobil Sheila, agak sulit dan sesekali tertinggal karena terjebak kemacetan.
"Dia mau ke mana ini?" gumam Adrian yang agak jarang melewati rute yang dilalui Sheila.
Mobil Sheila sempat berbelok dan Adrian tidak melihatnya, dia kehilangan jejak. Lama berkeliling dan berputar-putar arah, mobil Adrian mencoba memasuki kawasan pelabuhan. Adrian semakin tidak tenang, apakah mungkin Sheila akan berangkat ke suatu tempat dengan sebuah kapal.
Adrian menurunkan kecepatan mobilnya, mencari di mana mobil Sheila terparkir. Hingga akhirnya dia menemukan mobil Sheila terparkir dan segera turun dari mobilnya mencari Sheila.
Dari kejauhan Adrian melihat Sheila tengah memegang senjata bersama pria asing di dekatnya. Adrian menatap heran. Sekarang apa pekerjaan Sheila, mungkinkah wanita itu turut serta dalam pembuatan film dan sekarang sedang syuting.
Adrian berusaha mencerna situasi tetapi dia masih belum menemukan jawaban. Dia benar-benar tidak mengerti pekerjaan Sheila yang sebenarnya.
Situasi semakin genting saat seorang pria dari atas peti kemas menodongkan senjata ke arah Sheila. Adrian segera berlari dan menggunakan badannya sebagai tameng untuk melindungi Sheila dari tembakan.
Sebuah timah panas terasa menembus punggung Adrian, membuatnya kehilangan kesadaran. Di satu sisi dia bahagia bisa menolong Sheila, mungkin saja sebagai salah satu cara untuk menebus kesalahannya.
***
Adrian menjalani operasi untuk mengangkat peluru yang tertinggal di punggungnya. Sheila terlihat resah menunggu di luar sana. Berdoa agar operasi Adrian berjalan lancar. Sedangkan rekan-rekannya kembali lokasi membersihkan area sebisa mungkin sebelum tercium media.
Atasannya sudah tahu mengenai kabar operasi penangkapan mereka yang gagal dan melibatkan pihak sipil yang ikut tertembak. Oleh karena itu Sheila dan rekan-rekannya diminta kembali ke Inggris secepat mungkin untuk menjelaskan duduk perkara sebenarnya kepada atasannya.
Sheila juga sudah mengabari Selma dan Abimanyu mengenai kejadian yang menimpa Adrian. Abimanyu bahkan terkena serangan jantung mendengar putranya tertembak. Sheila semakin frustasi dibuatnya.
"Ma, bagaimana kabar Om Abimanyu?" tanya Sheila saat Selma baru saja tiba.
"Dia lagi istirahat. Kata dokter bukan serangan jantung hanya terkejut aja. Sekarang udah mendingan. Gimana Adrian?"
"Dia masih di dalam. Padahal ini sudah dua jam, Sheila jadi takut."
"Iya kita berdoa saja ya nak. Mama yakin Adrian akan selamat," yakinkan Selma dan memeluk Sheila.
Pintu ruangan operasi akhirnya dibuka. Seorang pria berjubah putih keluar dari dalam sana.
"Dokter bagaimana operasinya? Apakah Adrian baik-baik saja?" cecar Sheila tidak sabar.
"Operasinya berjalan lancar. Dia masih dalam pengaruh anestesi. Setelah sadar kami akan memindahkannya ke kamar perawatan," jawab Dokter.
"Oh syukurlah. Terima kasih dokter," ucao Sheila dengan mata berkaca-kaca.
"Iya sama-sama. Saya permisi."
Setelah menunggu setengah jam, Adrian akhirnya dipindahkan ke kamar perawatan, Sheila segera mengikuti Adrian dan melihat langsung kondisinya.
"Hai!" Adrian perlahan-lahan membuka matanya saat melihat Sheila sudah duduk di tepi ranjang menatapnya khawatir. Jika tidak ingat bahwa Adrian tertembak, Sheila mungkin akan meninju wajah Adrian yang bisa-bisanya tersenyum di situasi seperti ini.
"Bagaimana keadaan kamu? Sakit sekali?" cecar Sheila dan mengecek tubuh Adrian.
"Kamu nangis?" tanya balik Adrian.
"Gak!" jawab Sheila dan menghapus air mata yang mungkin mengalir di pipinya. Dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Adrian.
"Oh kirain," ucap Adrian berpura-pura. Padahal tanpa dia bertanya ataupun Sheila membantahnya, Adrian tahu mata Sheila terlihat memerah dan sembap.
"Jangan pernah lakukan hal bodoh itu lagi," Sheila menatap tajam Adrian.
"Pekerjaan kamu sebenarnya apa sih? Kamu mata-mata?" lagi-lagi Adrian bertanya dan mengabaikan ucapan Sheila.
Sheila melihat sekeliling kamar dan memastikan tidak ada orang yang mendengarnya, padahal jelas-jelas mereka hanya berdua di kamar.
"Kamu tolong rahasiakan ini. Iya aku mata-mata dan Agen interpol Inggris. Aku datang ke sini untuk menangkap gembong narkoba," bisik Sheila. Dia sepertinya sudah tidak menyembunyikan pekerjaannya yang sebenarnya kepada Adrian.
Adrian terlihat menghela napas panjang mendengar penuturan Sheila. Ada rasa lega dan juga senang bahwa Sheila tidak seburuk apa yang dipikirkannya.
"Keren!" puji Adrian. Sheila menggeleng tak percaya mendengar ucapan Adrian. Pekerjaannya ini menuntut integritas juga mempertaruhkan hidup dan mati, bisa-bisanya dia beranggapan bahwa hal itu keren.
"Cepatlah sembuh setelah itu aku akan kembali ke Inggris," ucap Sheila lagi.
"Aduh!" ringis Adrian.
"Apanya yang sakit?" tanya Sheila dengan tatapan panik dan langsung menghampiri Adrian.
"Iya aku lupa lukaku di punggung, tadi aku mencoba baring. Lenganku sakit harus miring seperti ini," keluh Adrian.
"Kamu sebaiknya tidur miring atau tidur telungkup," saran Sheila.
"Iya ya. Kalau gitu bantuin aku berbaring telungkup," pinta Adrian.
Sheila segera membantu Adrian. Adrian bersusah payah menahan senyumnya. Dia sangat suka melihat perhatian dan kelembutan yang Sheila berikan.
"Pijitin lenganku ya," pinta manja Adrian. Sheila dengan berat hati mengikuti permintaan Adrian.
"Aku bahagia bisa menyelamatkan kamu. Anggap saja itu sebagai permintaan maafku menuduh kamu yang tidak-tidak," ungkap Adrian.
"Terima kasih atas pengorbanan kamu padahal itu tidak perlu, aku memakai rompi anti peluru. Soal ucapanmu dulu, aku sudah lama memaafkan kamu," balas Sheila tersenyum.
"Aku mencintaimu Sheila Gillardia," ucap tulus Adrian. Mata Sheila sontak membelalak, wajahnya memerah tampak menggemaskan di mata Adrian.
"Adrian!" untung saja ada Selma dan Abimanyu yang menyelamatkan situasi canggung antara Adrian dan Sheila.
"Ma, Pa," ucap Adrian.
Sheila sedikit menyingkir dan memberikan ruang untuk keduanya.
"Saya permisi keluar sebentar Om, Ma. Saya ingin menghubungi teman saya," ijin Sheila. Dia sejenak berbalik ke arah Adrian dan pria itu seolah memberikan reaksi tidak rela.
Sheila akhirnya duduk di kursi dan kini memegang jantungnya yang berdegup kencang. Pernyataan cinta Adrian kali ini membuatnya tak berkutik.
"Kok segampang itu dia ngomong cinta," gumam Sheila.
"Dasar Playboy!" cibir Sheila.
"Tapi apakah benar aku juga menyukai dia? Gimana nanti reaksi Mama dan Om Abimanyu. Astaga aku gak berani ngebayanginnya," ucap Sheila yang berbicara sendiri.
Saat melihat Adrian bersimbah darah dan tak sadarkan diri, Sheila sangat ketakutan dan juga tidak rela kehilangan Adrian. Bukankah itu salah satu tanda bahwa Sheila mempunyai perasaan lebih ke Adrian. Selain itu, Sheila selalu nyaman saat di dekat Adrian, menikmati setiap candaan dan juga cerita aneh pria itu.