Episode 4

993 Words
Episode 4 "Paman, paman benar-benar luar biasa. Paman sungguh … saya belum pernah bertemu dengan seorang pria seperti paman," puji Faeyza. "Ha?" Tanvir tercengang melihatnya, dirinyalah yang berusaha merayu gadis itu tapi malah ayahnya yang mendapat pujian, rasanya tidak dapat diterima. "Za, Ayahku sudah memiliki seorang istri, jadi aku rasa kamu tidak bisa sembarangan memujinya. Lagi pula ayahku tidak akan tertarik dengan wanita lain selain dengan ibuku." Maulana manahan diri untuk tidak tertawa melihat sikap polos putranya, terkadang dirinya juga tidak mengerti. Kenapa buah hatinya tersebut justru memiliki sifat seperti ibunya, polos dan sangat menggemaskan. Faeyza mendelik galak menatap Tanvir."Siapa yang berharap menjadi ibuu tirimu?! aku hanya baru sekarang bertemu dengan seorang yang bisa ilmu agama seperti paman ini. Lagi pula kamu itu …" Ia memalingkan wajahnya. "Tidak mirip seperti Zein, dia seorang pria yang baik dan bijak. Hanya saja dia hanya ada dalam mimpiku," lanjutnya sedikit lirih. Deg… Jantung Maulana seakan berhenti berdetak mendengar gadis itu menyebut nama anak pertamanya, Zein Ekky Maulana merupakan saudara kembar Tanvir. Dia lebih mirip dengan dirinya, pria itu sudah hilang tiga tahu yang lalu dalam sebuah kecelakaan. Dirinya telah meminta orang untuk mencarinya, tapi hingga kini hasilnya nihil. Tanvir memandang ayahnya sendu, ia yakin pasti pria itu sekarang sedih karena memikirkan saudara kembarnya."Ah, aku rasa itu karena kamu sebenarnya memimpikanku tapi kamu tidak mau mengakuinya, aku rasa pria yang ada dalam mimpimu itu bukan Zein tapi Syehan. Sudalah, kamu adalah calon istriku." Pria itu berusaha untuk mencairkan suasana. Faezya mengerutkan kening, ia menatap Tanvir tidak yakin karena sesungguhnya dirinya masih sangat yakin kalau pria yang ada dalam mimpinya bernama Zein bukan Syehan, tapi tidak ada gunanya juga harus bedebat dengan pria rupawan menjengkelkan tersebut, apa lagi pria lain terlihat sedih. "Sudalah, lebih baik aku masuk dulu. Lagi pula hari ini waktunya pelajaran filsafat, biasanya dosen akan memberikan tugas membuat makalah dan besoknya presentasi. Aku tidak mau terlambat." "Tanvir, itu benar. Kamu masuklah, jangan bolos kelas." Maulana tersenyum lembut menatap buah hatinya. "Baik, ayah. Ayah juga harus yakin, kalau kak Zein masih hidup, Insya Allah, kakak akan kembali. Karena tidak mungkin seorang anak melupakan kedua orang tuanya," balas Tanvir berusaha menenangkan hati sang ayah. "Kamu benar, apapun yang terjadi di dunia ini semua tidak akan pernah lepas dari ridho dan izin dari Yang Maha Kuasa." Maulana mengangguk, meski begitu dalam hati dia tetap berharap bahwa putra pertamanya itu akan kembali dalam keadaan sehat. ** sebuah hunian dengan karpet merah sebagai alasnya, langkah kaki seorang pria berjubah putih di tangannya terdapat tasbih putih, duduk di ruang kosong. Tatapan matanya menerawang mengingat kedua orang tuanya, dia ingin kembali, tapi hingga sekarang masih belum diizinkan. "Ayah, ibu. Zein akan segera kembali, Zein hanya perlu menyelsaikan tugas Zein sebulan lagi. Bagaimana pun juga, Zein harus berterimakasih pada seseorang yang telah menyelamatkan Zein dari kecelakaan maut tersebut." Zein Ekky Maulana, seorang pria bermata safir dengan surai drag blue, hidung mancung, kulit putih serta rahang tegas. Putra pertama dari Ivan Maulana Rizky dan Firanda Firdaus. Terpisah dari kedua orang tuanya akibat sebuah kecelakaan, seorang wanita yang menolongnya meminta imbalan kepadanya sebagai tanda jasa karena telah menolong. Walau sesungguhnya, wanita tersebut bukan berniat meminta imbalan, melainkan hanya ingin di usia tuanya ada seorang yang bersedia menjaga serta merawatnya. "Maulana." Wanita tua itu selalu memanggilnya dengan nama itu, bahkan ketika diminta untuk memanggilnya dengan panggilan Zein, menolak dengan sangat tegas karena nama Maulana adalah nama dari putra kesayangannya. Zein tidak ingin terlalu banyak bertanya atau banyak menuntut, dia hanya mengangguk dan tersenyum ramah mendapat penolakan tersebut. Wanita itu bahkan membuat surat perjanjian, bahwa dirinya tidak boleh pergi dan meninggalkannya selama 2 tahun dan harus berpura-pura menjadi putranya. "Iya, nek." Zein bangkit dari tempat duduknya lalu melangkahkan kakinya menemui seorang wanita tua yang telah menyelamatkannya. "Nenek, apakah nenek membutuhkan sesuatu?" tanyanya lembut, ia duduk di samping wanita tua tersebut. Mengambilkan memandang sosok wanita yang telah duduk di kursi roda dengan tatapn lembut dan penuh kasih sayang. "Maulana, apakah kamu bisa membantu nenek?" tanya Cetrine penuh harap, pandangannya mendongak menatap cucuk angkatnya tersebut. "Iya, nek. Insya Allah, aku bisa bantu," balas Zein lembut. Cetrine menunjukkan sebuah foto seorang pria 30 tahun dengan iris sama safir mirip dengan Zein, hidungnya mancung, garis rahang tegas dan senyum manis. Sosok dalam foto tersebut mengenakan kemeja navi serta jas hitam. "Dia adalah putraku, dia adalah putra pertamaku. Aku melakukan banyak kesalahan padanya, ketika dia masih muda, aku dibutakan oleh cintaku pada suami keduaku hingga tidak pernah melihat air matanya. Namanya Ivan Maulana Rizky." Zein terkejut ketika Cetrine menyebut sebuah nama yang sangat mirip dengan nama ayahnya, ia pun mengulurkan tangan lalu mengambil foto tersebut. Dipandanganya lekat-lekat sosok yang ada dalam foto tersebut, tidak menyangka takdir begitu indah."Ternyata ketika seusiaku ayah benar-benar sangat tampan, tidak heran kalau ibu sangat cemburu ketika ayah pergi bersama wanita lain, bahkan meski itu adalah sekretarisnya, itu pun terpaksa," batinnya. Tanpa sadar bibirnya tersenyum tipis. "Maulana, kenapa kamu tersenyum? Apakah kamu pernah bertemu dengan pria ini sebelumnya?" tanya Cetrine penuh harap. "Iya, Nek. Dia adalah ayahku, dan nenek adalah Nenek kandungku. Bagaimana kalau sekarang kita pergi ke kota, aku yakin ayah dan ibu juga Tanvir akan merasa senang bertemu dengan nenek," jelas Zein penuh dengan kebahagiaan, ia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan keluarganya. "Benarkah? Nenek sangat senang mendengarnya, kalau begitu nenek akan menyuruh orang untuk menyiapkan segala keperluan." Cetrine begitu sangat bahagia karena akhirnya dia akan bertemu dengan putra kebanggaannya. Zein Ekky Maulana mengangguk, ia pun sangat bahagia ketika mendengarnya. ** Faezya diam-diam memperhatikan Tanvir yang duduk di bangku sampingnya, dia masih ingat apa yang dikatakan oleh pria tersebut bahwa ia adalah seorang pria yang ada dalam mimpinya. Tapi hatinya masih merasa ragu akan hal itu, dirinya sangat ingat dengan jelas tatapn lembut serta penuh kasih sayang ketika pria yang bernama Zein itu mengulurkan tangan terhadapnya, sama sekali tidak sama dengan Tanvir hanya saja wajah mereka memang sangat mirip,"Ya Allah, apakah seorang pria yang ada dalam mimpi hamba itu adalah Zein atau Syhan? Tolong berikan petunjukmu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD