Desita Indira 5

1370 Words
Aku masih merenungi semua sikap Dante ketika tiba-tiba saja dia masuk kembali ke dalam kamar membawa nampan berisi makanan dan ada obat juga di sana. “Makan ini, lalu minum obatnya. Kau demam lagi gadis nakal! Aku akan menghukummu lagi jika sampai sakit parah!” perintahnya tanpa bisa dibantah. Kemudian dia keluar dari kamar tanpa mengatakan apa pun lagi. Dan aku masih terus memandangi punggung tegapnya yang lama-lama menghilang di balik pintu. Sejujurnya kehadiran Dante di hidupku bisa dibilang sedikit aneh. Karena aku bisa dengan mudah menerimanya sebab biasanya aku akan sangat menyebalkan jika diganggu orang lain. Mungkin juga karena laki-laki itu jenis menyeramkan yang aku rasa tidak akan bisa aku hadapi. Atau mungkin juga karena aku merasakan sesuatu yang lain? Sesuatu seperti aku pernah mengenalnya atau hal semacam itu? Tapi sekuat apa pun aku mengingat aku tidak menemukannya. Apa ini halusinasi? Menjadi penulis dan tertutup dari dunia mungkinkah membuatku berhalusinasi? Aku terus berpikir hingga tanpa aku sadari dia masuk lagi ke dalam kamar sambil menatapku kesal. “Itu makanan untuk dimakan Desita, bukan untuk dipandangi sambil pikiran kamu lari ke mana-mana. Selain serakah kau juga menyebalkan rupanya. Orang paling menyebalkan di dunia ini adalah orang yang tidak peduli dengan kesehatannya sehingga akan merepotkan orang lain ketika sakit. Dengar tidak aku bicara?!” Dia marah-marah. Membuatku tidak mengerti sikap apa sebenarnya yang sedang dia tunjukkan. Apakah dia mengkhawatirkan aku? Tapi bukankah itu tidak mungkin? “Sejujurnya kenapa kamu menarikku secara paksa masuk ke dalam kehidupanmu? Kau bisa cari wanita lain untuk mengikuti semua skenariomu tentang pernikahan tapi kenapa harus aku?” Pertanyaan itu akhirnya terucap dari bibirku. Aku harus mendapatkan semua hal yang bisa mengobati rasa penasaranku. Itulah caraku untuk kembali melanjutkan hidup. “Kau bodoh jadi aku bisa menjeratmu dengan mudah, lagi pula pernikahan ini tidak akan lama jadi lebih baik aku menjeratmu yang tidak terlalu beresiko ketika selesai nanti kan?” Jawaban darinya yang benar-benar tidak memberiku kepuasan. Sepertinya memang otak yang biasa aku gunakan untuk membuat kisah rumit ini tidak bisa menerima penjelasan sederhana seperti itu. Aku tetap merasa bahwa Dante memiliki maksud lain yang tidak dia beritahu padaku. “Sudahlah jangan banyak tanya dan banyak bicara, cepat makan lalu minum obat dan tidur! Besok pagi kita harus menghadiri acara penting.” titahnya sebelum keluar dari kamar. Seolah tidak ingin menjawab pertanyaanku yang lain. Benar-benar menyebalkan. Aku memutuskan untuk memakan apa yang laki-laki itu berikan karena aku harus hidup. Setidaknya sampai semua rasa penasaranku terbayarkan dan memastikan si menyebalkan itu menepati janjinya tentang panti asuhan. Kemudian aku meminum obat dan tidur. Pagi harinya aku otomatis terbangun, karena sudah menjadi kebiasan tidur jam berapa pun pasti pukul lima pagi aku bangun. Bangkit dengan sedikit menahan nyeri di perut kemudian menuju kamar mandi. Membuka lemari Dante dan mengambil selembar baju dari sana. Tidak peduli lagi jika dia akan marah, salah sendiri dia tidak mengambilkan bajuku. Tapi tanganku yang hendak menutup lemari pakaiannya terhenti melihat di salah satu sudut lemari itu ada sebuah dress cantik berwarna peach yang tergantung di sana. Tampak kontras dengan deretan baju Dante yang sebagian besar berwarna hitam, putih dan abu-abu. Aku melepaskannya dari gantungan dan kucoba dekatkan ke tubuhku sambil melihat ke arah kaca. Tampak indah. Salah satu mimpiku adalah berjalan dengan percaya diri di antara kerumunan orang menggunakan dress seindah itu. Tapi aku selalu merasa bahwa aku tidaklah cantik, bukan jenis perempuan yang akan cocok memakai pakaian cantik. Aku sedang tersenyum ke arah cermin ketika tiba-tiba saja dress itu ditarik secara paksa oleh seseorang. Dan kulihat raut wajah Dante tampak marah. Ahh … sepertinya aku baru saja melakukan kesalahan. “Siapa bilang kau bisa sembarangan menyentuh barang milikku, gadis murahan?” ucapnya dengan sinis sambil memojokkanku ke arah tembok di samping lemari, kemudian tangannya sedikit mencekikku hingga terasa sesak. “Jangan berpikir bahwa tangan kotormu itu memiliki hak untuk menyentuh gaun indah ini. Tahu dirilah sebagai seorang wanita,” ucapnya lagi dengan menyakitkan. Leherku benar-benar sakit, sepertinya akan lebam dan sedikit membekas nantinya. Air mataku turun tanpa sanggup mengucapkan apa pun. Aku diam saja, mengatupkan bibirku rapat sambil menatapnya memohon ampun. Kemudian dia melepaskanku, dan meninggalkanku tanpa kata. Tubuhku meluruh sambil terbatuk, sesak sekali rasanya. Lebih sesak merasakan perkataannya yang menusuk tepat di hati. Dante yang sulit kumengerti, kadang dia begitu perhatian tapi itu tidak bisa diartikan bahwa dia ramah dan baik. Karena di baliknya dia memiliki sikap menakutkan seperti iblis. Membuat tubuhku gemetar ketakutan. *** Hingga siang hari setelah kejadian itu, Dante tidak datang ke kamarku dan aku pun terlalu takut untuk keluar dari ruangan ini. Duduk di dekat jendela dengan pandangan kosong ke arah luar menjadi pilihanku. Sekalipun perutku rasanya sangat lapar. Aku memilih menahannya. Hingga siang hari, tiba-tiba saja masuk serombongan orang dengan peralatan kecantikan dan beberapa lembar gaun di tangan. Mereka masuk tanpa permisi dan langsung menghampiriku. Menilaiku dari ujung kepala hingga ujung kaki kemudian tersenyum. Tidak lama setelah itu Dante masuk dan tampak sudah rapih dengan setelan jasnya. “Buat dia jadi cantik, waktumu tiga puluh menit dari sekarang, Jenny!” seru Dante pada laki-laki gemulai di hadapanku. Dia tersenyum dengan sombong seolah mengatakan bahwa tidak perlu diragukan untuk mempercantik seseorang yang memang sudah menjadi keahliannya. “Aku akan membuatmu terpana dengan hasilnya nanti. Silahkan nikmati kopimu di luar dan tunggu saja,” ujar Jenny dengan nada genit. Kemudian dia mengintruksiku untuk berdiri setelah Dante keluar. Beberapa wanita asisten Jenny dengan cekatan mengatur tempat untukku duduk dan mereka mulai mendandaniku. Aku diam saja, selagi mereka masih memperlakukanku dengan wajar maka aku tidak akan banyak protes. “Namamu siapa cantik? Jangan diam saja, ayo kita mengobrol. Katakan padaku bagaimana seleramu, atau kau boleh mengeluarkan pendapatmu jika kau punya,” kata Jenny ramah. Aku tersenyum. Rupanya dia tidak semenakutkan yang aku bayangkan. Dan ternyata menyenangkan dipanggil dengan sebutan cantik. “Namaku Desita, dan aku akan mengikuti semua yang kamu siapkan saja. Aku percaya kamu tidak akan membuatku tampak buruk rupa bukan?” jawabku yang dibalas dengan gelak tawanya. “Aku rasa aku menyukaimu, Desita. Mulai sekarang kau bisa memanggilku kapan pun kau butuh untuk menjadi cantik oke!” Jenny mengedipkan sebelah matanya. Aku tersenyum. Kemudian menerima selembar kartu nama darinya dengan senang hati. Bisa dibilang laki-laki gemulai ini adalah teman pertamaku. Aku sedikit berharap padanya, semoga saja dia memang baik dan bisa dipercaya. Tiga puluh menit paling menyenangkan hampir berakhir. Sekarang aku sedang memakai gaun yang Jenny pilihkan. Dan matanya berbinar ketika aku keluar dari kamar mandi untuk berganti. Caranya merias sangat menyenangkan, dia menceritakan banyak hal hebat tentang perjalanan kariernya dan aku mendengarkan dengan tertarik. Bisa dibilang dia orang paling menyenangkan yang pernah aku temui. Asistennya juga tidak kalah menyenangkan. Mereka membuat suasana hatiku yang buruk jadi lebih baik. “Sempurna, kau memang cantik sekali. Kenapa tidak berdandan seperti ini saja setiap hari, huh? Aku yakin para taipan kaya akan terjerat olehmu,” ucap Jenny sambil tertawa bangga. Aku kemudian melangkah menuju kaca besar di ruangan itu dan memandang takjub meliht diriku sendiri. Benar-benar bukan seperti diriku sendiri, ini tampak sangat berbeda. Kemudian aku menoleh ke arah Jenny dan mengacungkan kedua jempolku. Dia menunduk memberi hormat seolah aku adalah seorang putri raja. “Bagaimana kamu bisa merubahku jadi semenakjubkan ini, Jenny? Kamu sungguh luar biasa.” pujiku tulus. Dia tersenyum kemudian menghampiriku. “Ini belum sempurna, tanpa sepatu kaca itu.” Dia menunjuk sepatu yang baru saja dibawakan oleh asistennya. Aku menganga takjub melihat seberapa indahnya benda itu. Benar-benar membuatku merasa seperti Cinderella. Melupakan kemungkinan buruk yang akan terjadi tentang tempat yang akan dikunjungi nanti bersama Dante. “Ini indah sekali,” gumamku. Jenny tersenyum, merasa senang karena aku memujinya terus menerus. Kehebatannya dalam fashion dan kecantikan memang perlu dipuji. Kemudian pintu dibuka dan mataku bertemu dengan manik gelap milik Dante. Laki-laki itu tampak diam sesaat tanpa ekspresi kemudian dia melangkah menuju ke arahku. Memasangkan sepasang anting yang indah ke setiap sisi telingaku tanpa berkata apa pun. “Kerja yang bagus, Jenny, aku harus mengajaknya pergi sekarang.” Dante menarikku pergi. Jenny melambai ke arahku dan kubalas dengan senyuman. “Kita mau ke mana?” tanyaku sebelum menaiki mobil mewahnya. “Kau tidak berhak mempertanyaan perintahku, ikuti saja jangan cerewet!” jawabnya ketus. Aku diam sambil menahan kesal. Laki-laki ini memang seorang iblis, seorang iblis tampan yang menyamar menjadi pangeran.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD