Desita Indira 6

1482 Words
Mobil mewah itu membawaku dan Dante menuju sebuah hotel mewah. Suasana di sana tampak ramai dengan orang-orang yang terlihat seperti tamu undangan sebuah pesta. Saat turun aku sedikit kesulitan dengan sepatu berhak tinggi yang aku pakai. Sejujurnya memang aku tidak terbiasa menggunakan sepatu jenis ini. “Ayo masuk dan jangan membuatku malu,” ujar Dante dengan tatapan tajam. “Tapi Dante, aku sepertinya tidak terbiasa dengan sepatu terlalu tinggi seperti ini.” ucapku jujur. Dante mendengkus sambil menatapku tajam. “Yang benar saja Desita, semua tokoh ceritamu hampir semuanya wanita kaya dengan fashion yang kamu jelaskan terperinci. Kamu bahkan tahu kan merek-merek sepatu mahal? Jangan membohongiku dengan berpura-pura polos seperti itu! Kau pikir aku akan percaya? Berhenti menyusahkanku!” bisiknya marah. Aku mendesah lelah dan tidak membantahnya. Lagi-lagi dia membandingkan diriku dengan ceritaku. Apa dia pikir novelku adalah buku diary atau bagaimana? Aku menulis cerita fiksi yang tentu saja harus hebat untuk menarik pembaca bukan menulis kisah nyata. Kenapa dia menganggap bahwa novelku adalah tolak ukur kehidupanku? Benar-benar menyebalkan! “Jangan salahkan aku kalau nanti aku jatuh di dalam dan membuatmu malu,” cicitku pelan. Dante langsung menoleh ke arahku dengan ekspresi yang menyeramkan. “Jangan coba-coba melakukan itu atau kamu akan terima hukumannya ketika kita sampai di rumah.” Geramnya kesal. Aku langsung menunduk takut. Iblis ini benar-benar menyeramkan. Dengan hati-hati aku mengikuti langkahnya. Berusaha semampuku untuk tidak membuatnya malu karena jika hukumannya adalah seperti malam kemarin maka membayangkannya saja sudah membuatku merinding. “Dante, akhirnya lo datang bawa wanita juga. Ini bukan karena taruhan yang dibicarakan kemarin kan?” tanya seorang laki-laki yang menatapku dengan tertarik. Aku tidak berekspresi terhadapnya tentu saja. Untuk apa? Tidak penting juga. Berurusan dengan Dante saja sudah membuatku kesusahan, aku tidak mau menambah kesulitanku lagi. Tapi ngomong-ngomong masalah taruhan, b******k juga Dante kalau memang dia menjeratku dengan menyeramkan seperti ini hanya demi menang taruhan. Ingin rasanya aku mencekik lehernya yang entah kenapa hari ini tetap saja terlihat indah. “Untuk apa gue menanggapi taruhan bodoh lo itu, kenalkan namanya Desita,” ucap Dante pada laki-laki yang langsung mengulurkan tangannya padaku. “Arion.” ucapnya yang kubalas anggukan tanpa senyum sambil menjabat tangannya. Cepat-cepat aku menarik tanganku walaupun baru beberapa detik menempel membuat laki-laki itu mengernyit. Aku tidak peduli tentang penilaiannya terhadapku. “Gadis yang berbeda, sepertinya ada perubahan pada selera lo.” kata Arion sambil tertawa yang dibalas Dante dengan senyum saja. “Yang lain mana?” tanya Dante sambil melihat sekitar. Aku menebak bahwa akan ada laki-laki lain yang membuatku sungguh ingin cepat kabur dari tempat ini. “Masih ketemu pengantin kayaknya, lo gak mungkin datang ke sini tanpa nyapa Dio dan Renata kan Dan? Ayolah cepat move on, sudah bawa gandengan masa masih takut ketemu mantan.” Arion kemudian tergelak setelah mengucapkan itu, terlebih mendengar dengkusan tidak suka dari Dante. Aku sedikit paham, rupanya ini adalah acara pernikahan mantan Dante, karena itulah dia menyulapku menjadi putri cantik jelita dan memaksaku memakai sepatu indah yang membuat kakiku sedikit sakit ini. “Sialan lo, ngapain gue masih pusingin Renata. Udah lama juga gue sahabatan sama dia sekalipun kita pernah pacaran. Gak usah ngada-ngada gak enak sama Dio kalau dia denger.” sanggah Dante yang ditanggapi Arion dengan kekehan geli. “Iya, iya gue percaya. Terlebih karena cewek yang lo gandeng secantik Desita ini.” Kali ini Arion mengedipkan matanya padaku dan membuat Dante mendorong laki-laki itu pergi diiringi gelak tawa darinya. Dia senang sekali sepertinya karena berhasil menggoda Dante. “Ayo kita temui pengantinnya, jangan coba-coba membuatku malu Desita!” bisik Dante dengan nada tidak ingin dibantah. Aku mengangguk patuh dan mengikuti langkahnya dengan hati-hati. Setelah sampai di tengah ruangan megah itu, aku sedikit takjub dengan sang pengantin. Wanita itu cantik dan anggun sekali dengan gaun pengantin berwarna putih gading yang menjuntai dengan indah. Pengantin pria juga terlihat sangat tampan dan gagah. Benar-benar pasangan yang serasi. Dan ketika mata sang pengantin wanita bertemu dengan mata Dante, dia langsung tersenyum semringah sambil bergegas menghampiri iblis menyebalkan itu. “Kak Dante, aku pikir nggak dateng.” ujarnya manja. Kemudian langsung memeluk Dante dengan gembira seolah tidak ada orang lain yang melihat. Dan herannya sang pengantin laki-laki juga tampak tidak keberatan. Benar-benar membuatku heran. “Ini siapa?” tanya sang pengantin perempuan sambil menunjukku. Dari tatapannya sepertinya dia tidak suka padaku entah apa kesalahanku. “Kenalkan ini Desita teman wanitaku malam ini.” jawab Dante membuat hatiku rasanya tercubit dengan menyakitkan. Teman wanitaku malam ini? Yang benar saja? Seolah aku wanita bayaran? Mataku memanas menyadari hal itu tapi aku tetap tersenyum ke arah sang pengantin wanita sambil mengulurkan tanganku. Dia hanya tersenyum malas sambil menyebut namanya “Renata” tanpa membalas uluran tanganku. Kemudian dia bergelayut manja pada Dante sambil berbincang riang. Pantas saja dia akrab dengan Dante, rupanya mereka memang sejenis. Iblis yang bersembunyi di dalam tubuh dengan paras sempurna. Apa gunanya punya paras cantik atau ganteng jika tidak memiliki hati. “Siapa ini?” Sang pengantin pria akhirnya ikut menghampiri Dante setelah dia selesai berbincang dengan temannya. Dan Dante membalasnya dengan kalimat yang sama. Lagi-lagi mengirimkan transferan rasa sakit tepat di jantung. “Selamat menikmati pestanya, Desita.” ujar Dio ramah. Tidak seperti Renata. Aku tersenyum dan Renata tampak memandangku dengan sinis. Setelah cukup lama berbasa-basi dengan beberapa teman Dante yang sebagian besar tidak menyukaiku entah kesalahanku apa, akhirnya Dante mengajakku pulang. Kembali masuk ke dalam mobil mewah miliknya dan aku mendesah lega karena aku tidak membuat masalah. Sekalipun aku harus menahan sakitnya dicueki dan dipandang penuh penghinaan. Sepanjang perjalanan aku memilih diam. Sambil menikmati pemandangan di luar mobil, berusaha keras agar air mataku tidak jatuh. Rasanya menyakitkan sekali diperlakukan seperti tadi. Dan Dante bahkan tidak membelaku sedikit pun ketika teman-temannya sedikit mengatakan hal yang kurang ajar terhadapku. Aku tidak yakin bisa bertahan hingga enam bulan lamanya menjadi istri si iblis ini jika baru beberapa hari di dekatnya saja sudah sesakit ini. “Besok kita fitting baju, jadi bangun sedikit pagi. Jadwalku padat besok.” ucap laki-laki itu dengan datar. Aku memilih diam tidak menjawab. Membuatnya sedikit kesal. “Jawab aku Desita!” “Iya.” ucapku singkat. Dia tampak mendesah kesal. Aku tidak peduli dan tidak menolehnya sedikit pun. “Kau benar-benar wanita menyebalkan.” gumamnya. Dan aku tidak peduli. *** Sesampainya di apartemen, Dante langsung masuk tanpa berkata apa pun. Sepertinya moodnya masih terlihat buruk, karena masalah dress di lemarinya yang aku pegang tadi. Aku memilih tidak mengganggunya. Aku masuk ke kamar dan membereskan semua riasanku. Memakai kembali bajuku yang tersisa dan menghampiri ruangan di mana Dante berada. “Aku harus mengambil bajuku di apartemen agar aku tidak lagi menyentuh berangmu.” ucapku di balik pintu. Tidak ada balasan. Akhrinya aku memgetuk pintunya. “Dante, aku harus pulang mengambil bajuku.” ucapku sekali lagi, masih tidak ada jawaban. Aku hendak membuka pintunya tapi tidak berani sehingga aku memutuskan untuk menunggunya saja di salah satu sofa yang terletak di depan ruangan itu. Menunggu dalam diam, otakku terus berkelana memikirkan banyak hal yang tidak terlihat jelas ujungnya. Yang justru membuatku semakin pusing. Aku memijit keningku menggunakan jari ketika kudengar pintunya terbuka dan laki-laki itu keluar dari sana. “Ayo aku antar!” ajaknya datar. “Aku bisa pergi sendiri. Tenang saja aku tidak akan kabur.”  Perkataanku membuatnya tampak tidak suka. Aku hanya ingin menangis sendirian di apartemenku sampai puas. Jika Dante ikut maka aku tidak bisa melakukannya. “Siapa bilang kau bisa membantahku Desita!” ucapnya kesal. Aku mengalah saja, hatiku sudah terlalu lelah menghadapi laki-laki itu. Perjalanan menuju apartemenku terasa mencekam. Karena kami sama-sama diam. Ketika sampi di lobby, Ana tampak tersenyum ke arahku dan menyapa. Aku membalas senyumnya, setidaknya biarpun Ana mengganggu dia jauh lebih baik dibandingkan Dante. Kemudian dia menghampiriku dan memelukku erat. Sambil menyelipkan sesuatu di saku celanaku tanpa sepengetahuan Dante. “Desita aku kangen, kapan-kapan kamu kunjungi aku yah jangan putus persahabatan kita.” ucapnya sok akrab yang aku balas dengan senyuman lebar seolah kami memang dekat.  “Tolong jaga Desita dengan baik Tuan Alexander.” ucap Ana menatap sinis ke arah Dante. Sepertinya si perempuan kepo itu memang tahu lebih banyak dari yang aku bayangkan. Membuatku sedikit merasa lega karena mungkin dia ada di pihakku. Dante tidak menjawab dan menarikku untuk melanjutkan langkah menuju unitku. Dante duduk di sofa milikku ketika aku masuk ke kamar dan mulai membereskan hal-hal yang perlu aku bawa. Kudengar suara TV menyala sepertinya laki-laki itu tampak bosan. Aku berjalan melewatinya menuju pintu untuk memeriksa kotak surat, dan menemukan beberapa di sana. Kemudian masuk kembali, Dante tampak terus memperhatikan gerak-geriku tapi aku tidak mempedulikannya. Kemudian dia berdiri dan memandangi deretan foto masa kecilku bersama anak-anak panti asuhan. “Kau tampak hidup dengan baik sementara ada seseorang yang menderita di luar sana.” ucapnya yang tidak aku mengerti. Aku mengabaikannya dan memilih men-dial nomor panti asuhan untuk membicarakan mengenai beberapa hal. Dante benar-benar membuatku lelah jiwa dan raga. Terkadang mengabaikannya memang sedikit membantu hatiku untuk beristirahat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD