Pulang ke rumah, Ajeng bergegas membersihkan diri dan menunggu waktu menggantikan tugas ibunya menjaga Lintang. Saat sedang bersantai dia mendapat sebuah pesan dari Gita yang mengatakan bahwa dia dan mamanya akan pulang lusa. Gita menyatakan rasa senangnya karena Lintang memberitahunya bahwa dia sudah pulih dan sedikit bertenaga sekarang, dan melaporkan bahwa Ajeng dan ibunya telah menjaganya dengan sangat baik.
Resah memikirkan kejadian sebelumnya di sekolah langsung hilang saat mendengar suara renyah Gita yang dengan riang bercampur sedih menyatakan kerinduannya terhadap Ajeng. Asyik ngobrol, hingga tak terasa sudah waktunya dia menggantikan tugas ibunya, Ajeng menghentikan pembicaraannya.
“Eh, aku jagain Mas Lintang dulu ya, Gita. Ini ibuku udah nelfon.”
“Iya, Ajeeeeeeng.”
Ajeng, seperti malam sebelumnya, membawa peralatan menginapnya ke rumah Gita.
Saat berpas-pasan dengan ibunya di depan pintu rumahnya, Ajeng mengulum senyumnya saat ibunya agak memarahinya karena terlambat menggantikannya. Ajeng lalu menceritakan bahwa dia keasyikan ngobrol dengan Gita yang menghubunginya dari Batam. Arni langsung merasa lega saat Ajeng memberitahu kabar kepadanya bahwa Gita dan mamanya akan pulang lusa.
“Gimana Mas Lintang, Bu?”
“Udah bisa turun dari atas ke dapur.”
“Haha.” Ajeng tertawa melihat gaya ibunya saat menjawab pertanyaannya sambil mencibirkan bibirnya, membayangkan Lintang baru turun dari lantai atas menuju dapur di bawah membuatnya geli sendiri.
“Udah, sana. Dia tadi nanyain kamu.”
Ajeng dengan cepat pergi melangkah menuju rumah Gita. Dia tidak tahu Lintang yang berada di balkon luar kamarnya di lantai atas, tampak sedang memperhatikannya dengan wajah misteriusnya, lalu masuk kembali ke kamarnya bersamaan dengan Ajeng yang juga masuk ke rumahnya.
Ajeng memasuki dapur sebelum pergi ke lantai atas. Dia masukkan minuman kesukaannya ke dalam kulkas besar di dapur, berupa teh s**u kemasan yang dia beli di warung dekat sekolah.
Sambil mendekap tas, dia menaiki tangga menuju lantai atas, dia hendak menghampiri kamar Lintang saat sudah berada di lantai dua, tapi pintu kamarnya tertutup rapat. Ajeng memutuskan langsung masuk kamar Gita.
“HAH!”
“Aaaaakh!”
Gita terkejut bukan main, Lintang mengejutkannya dari belakang.
“Mas. Ih, ngagetin!!”
Ajeng menatap sinis ke arah Lintang yang malah senyum-senyum melihatnya.
“Ke kamarku aja. Ngapain di kamar Gita. Sepi kan? Sendirian.”
Ajeng mengamati wajah Lintang sejenak, yang sudah lebih cerah dari sebelumnya. Dia dengan refleks menyentuh dahi Lintang sambil berjinjit, karena tubuh Lintang yang sangat tinggi dibandingkan tubuhnya yang kecil mungil.
“Ah, sudah sembuh Mas Lintang.” Ajeng menunjukkan perasaan lega dan bahagia.
Lintang mengangguk. “Tapi nanti sakit lagi kalo kamu di kamar Gita.”
Lintang memang jago merayu, dan Ajeng mengikuti langkahnya menuju kamarnya dengan membawa peralatan menginapnya. Ajeng dengan tenang menurut, berpikir bahwa sebelumnya dia dan Lintang hanya berpelukan, dan tidak akan berbuat jauh.
Entah kenapa Ajeng enggan menceritakan apapun tentang Leslie kepada Lintang, meskipun sebenarnya dia ingin sekali mengatakannya. Setiap kali berdekatan dengan Lintang, nama Leslie hanya mengganggu pikirannya dan dia enggan menyebut-nyebutnya, memilih untuk diam saja. Baginya lebih baik melihat Lintang tersenyum dan bercakap-cakap seperlunya tanpa harus berpikir berat tentang Leslie, atau menyinggungnya. Dan sekarang Ajeng merasa sangat tenang di dekat Lintang.
Siang ini Lintang tidak seagresif sebelumnya, dia membiarkan Ajeng menggunakan meja belajarnya untuk belajar, sementara dirinya asyik main game lewat ponselnya sambil rebahan di atas tempat tidur. Ajeng beberapa kali mendengar Lintang berdecak kesal karena ponsel keduanya terus berbunyi dan dia sibuk mematikannya, hingga pada akhirnya dia benar-benar mematikannya.
“Gita nelfon kamu, Jeng?” basa basi dimulai Lintang.
“Ya. Lusa balik ke sini.”
“Ya. Dan aku akan sakit lagi.”
“Lho kok?”
“Berisik dia soalnya.”
Ajeng tertawa kecil, dia mengingat masa-masa dulu saat Lintang yang kerap ditegur mamanya karena tidak mau menemani Gita bermain, dan lebih mementingkan teman-temannya. Hingga sampai sekarang, sesekali Lintang juga tetap ditegur mamanya jika Gita mengadu tentang sesuatu yang berkaitan dengan dirinya.
“Tapi aku udah kangen banget ma dia, Mas.”
“Ya, kamu.”
“Eh, Mas Anung bulan depan pulang?”
“Ya. Kamu kangen dia?”
“Ih. Cuma nanya doang kok bilang kangen.”
Lintang melirik Ajeng sebentar, lalu matanya kembali ke layar ponselnya.
Bisa dihitung dengan jari Ajeng melihat Anung, dan dia tidak akrab. Anung sejak SMP sudah merantau di Yogyakarta, menamatkan SMA di sana, lalu lanjut kuliah di Melbourne. Dibanding Lintang, Anung lebih tertutup dan tidak banyak bicara. Tapi dari sorot matanya dia adalah pria penyayang dan romantis. Sudah tamat kuliah, lalu mendapat pekerjaan yang sangat bagus dan Permanent Residence di Australia, bagi semua orang yang mengerti perjuangan mendapat keduanya, itu sangat luar biasa. Apalagi gaji di sana sangat besar, dan mendengar cerita dari Widya, Anung sangat pandai mengatur gajinya, yang dia investasikan di tanah air, sehingga sudah beberapa property yang dia miliki di usianya yang sangat muda.
“Ya siapa tau.”
Ajeng menggeleng tertawa merasa konyol dengan Lintang.
“Kamu sudah mandi, Jeng?” tiba-tiba Lintang bertanya soal lain.
“Iya, sudah.” Ajeng tetap dengan buku bacaannya.
“Aku mau mandi.”
“Oh.”
Ajeng berdiri dari duduknya, dia pikir apa yang diucapkan Lintang berarti Lintang menghendakinya ke luar dari kamar.
“Eh, ke mana?”
“Kan Mas mau mandi.”
“Ya, tapi nggak sekarang, trus kamu nggak perlu ke luar.”
Ajeng mengernyitkan dahinya, merasa aneh dari ekspresi wajah Lintang. Dia kembali duduk dan belajar.
“Jeng,” Lintang memanggilnya di saat Ajeng baru saja hendak mengerjakan soal latihan.
“Sini.”
Ajeng menghela napas pendek, lalu kemudian melangkah mendekati Lintang yang tiba-tiba berubah manja. Dia duduk di tepi tempat tidur Lintang dengan wajah seolah bertanya ada apa.
“Ih, bau, Mas. Jangan deket-deket.”
Lintang mendekatkan d**a dan wajahnya ke tubuh Ajeng, menimbulkan bau kurang sedap.
“Ya, baulah, dua harian nggak mandi.”
“Ih.” Ajeng yang jengah berdecak kesal.
“Tapi kok kamu mau meluk aku semalaman.”
“Ya, semalam Mas nggak sebau ini.”
Ajeng menatap Lintang dengan malas, membuat Lintang terkekeh dan gemas.
“Bukain, Jeng.” Lintang merentangkan dua tangannya, meminta Ajeng membuka piyamanya yang belum dia ganti dari semalam.
Ajeng terperangah mendengar permintaan Lintang.
“Mas?” decaknya tak percaya.
“Ayo, bukain.” Lintang sentuh dagu Ajeng dengan telunjuk tangan kanannya, lalu kembali merentangkan dua tangannya dengan wajah memaksa.
Ajeng menatap wajah manja Lintang dengan seksama, cukup lama, entah bagaimana kejadian di sekolah saat jam pulang sekolah menerpa benaknya, bersamaan dengan bayangan bengis wajah Leslie saat menariknya, hingga dia hampir jatuh, serta mengingat cipratan lumpur yang disebabkan dari ban mobil Leslie yang mengenai seragam sekolah dan wajahnya.
Ajeng tanpa banyak bicara, langsung memenuhi keinginan Lintang. Melepas seluruh kancing piyamanya dengan tatapan tertunduk. Sementara Lintang yang wajahnya berubah sayu, menatap kepala Ajeng di bawahnya dengan tatapan tajam.
Lintang sudah bertelanjang d**a sekarang. Dadanya cukup bidang di banding laki-laki muda seusianya, dengan ada sedikit otot di perut dan juga pada lengannya. Ajeng menelan ludahnya melihat tubuh sempurna Lintang sekaligus wajah tampannya. Wajahnya juga berubah, pasrah mengikuti naluri perempuannya.
Bersambung