bc

Hidden Love

book_age18+
3.3K
FOLLOW
23.5K
READ
revenge
dark
love-triangle
HE
second chance
stepfather
mystery
friends with benefits
like
intro-logo
Blurb

Ajeng pada akhirnya menyadari bahwa berpikir realistis tentang cinta adalah hal yang terbaik. Meskipun pada mulanya dia menyukai Lintang, tapi ternyata cintanya bertepuk sebelah tangan. Lagi pula cinta Ajeng terhadap Lintang hanya sebatas dendam dan dia yakin akan cepat hilang dan lukanya segera pulih. Akan tetapi, sepertinya hidupnya tidak bisa jauh-jauh dari Lintang, Anung, kakak Lintang justru menyukai Ajeng dan berminat meminangnya. Bagaimana kisah cinta Ajeng selanjutnya? Apa dia menerima pinangan Anung? Bagaimana pula dengan Lintang? Apa dia rela kakaknya meminang Ajeng, mengingat dia pernah memiliki skandal dengan Ajeng.

chap-preview
Free preview
PROLOG
Kotak plastik warna-warni sudah berisi lengkap dengan kue-kue yang sudah siap dijual di pagi hari. Seperti biasa di akhir pekan, Ajeng selalu membantu menjualkan dagangan kue ibunya ke warung-warung yang dekat dari rumah kontrakannya. Di hari-hari biasa dia juga menjual kue-kue di warung sekolah di sekolahnya, tapi tidak sebanyak pada akhir pekan. Jika di akhir pekan dia bisa membawa lima kotak, dan hanya dua kotak saat pergi ke sekolah. Ibunya, Arni, bekerja sebagai pembantu rumah tangga musiman, juga nyambi menjajakan kue-kue di warung-warung dekat rumah majikan tetapnya, yang juga dekat dari rumah. Di rumah pun Arni tidak menganggur, terkadang menerima jasa menyetrika, juga dibantu Ajeng. Hanya mereka berdua tinggal di rumah kontrakan itu. Ayah Ajeng, Janu, sudah berpulang sejak Ajeng berusia enam tahun, kini Ajeng baru saja masuk SMA favorit di Jakarta Selatan. Kehidupan Arni dan anak semata wayangnya tidak pernah kekurangan meski sederhana, gaji pensiun mendiang suaminya tetap dia dapatkan setiap bulan, dan lumayan untuk dia tabung, sementara gaji dan penghasilan hasil kerjanya Arni atur untuk kebutuhan sehari-hari. Arni berniat ingin menyekolahkan Ajeng hingga setinggi-tingginya. “Tante Widya pesan lemper seratus buat acara arisan di rumahnya besok, Bu.” Ajeng baru saja tiba di rumah dari menjajakan kue-kue. “Mampir ke sana?” “Iya. Tadi Gita liat aku jalan pulang, trus dia manggil aku ke rumahnya … eh aku malah dipanggil mamanya, mamanya bilang minta dibuatin lemper. Seratus.” Arni tersenyum lebar. Widya adalah tetangga mereka sekaligus pemilik kontrakan, termasuk rumah yang mereka kontrak, yang lokasinya tepat di samping rumah mewah Widya. Widya adalah wanita yang sangat ramah dan baik, jarang mempermasalahkan penghuni kontrakan yang telat bayar. Usaha propertinya sudah banyak, terutama di kota Batam, asal kampungnya. “Alhamdulillah. Banyaknya,” ucap Arni penuh rasa syukur. Padahal biasanya Widya memesan lebih dari seratus. “Aku juga disuruh bantu-bantu besok, Bu. Mbak Uni sedang pulang kampung.” “Oh. Kamu sendiri kerja nanti di sana?” “Nggak, masih ada Mbak Fia. Gita juga nanti ikut bantu.” Arni tertawa kecil. Widya memang sering meminta bantuan Ajeng di rumahnya, bekerja apa saja, dari membersihkan kamar dan rumah, merawat taman, hingga menjaga Gita yang kerap sendirian di rumah. Dua atau tiga dua lembar uang merah pun Ajeng dapatkan dengan hati senang sebagai upah. Widya juga menyayangi Ajeng. Apalagi sejak Ajeng diterima di sekolah yang sama dengan anaknya sekarang, dia bertambah sering menyuruh gadis manis itu menginap di rumahnya. Wajar, Gita adalah sahabat Ajeng sejak SD. *** Widya langsung beralih ke Ajeng yang baru saja tiba di rumahnya, membawa pesanannya. “Cuma seratus Tante pesan. Karena teman Tante nggak banyak yang datang.” Widya meletakkan kotak berisi susunan lemper di atas meja. Sudah ada beragam makanan dan minuman yang tertata rapi di atas meja makanan. Dia terlihat sibuk sekali, sampai-sampai dering ponsel tidak dia hiraukan. “Gitaaa.” Widya memanggil keras anaknya yang kamarnya berada di lantai atas. Bukan Gita yang turun, tapi Lintang, anak keduanya. Laki-laki muda tampan itu menuruni tangga dengan cepat dan menghampiri meja makan. Dengan santai dia buka kotak makanan yang berisi lemper buatan Mama Ajeng, dan mengambil tiga lemper. “Lintang, eh eh … mau ke mana kamu?” tanya Widya cepat karena Lintang tampak rapi dengan pakaian yang melekat di tubuhnya. “Ngeceng, Ma.” “Di mana?” “Deket. Citos.” Lintang bergegas pergi tanpa menoleh ke Ajeng yang diam-diam memperhatikannya. “Duh, Lintang.” Widya bergumam cemas. “Masih main aja kerjaannya, padahal tahun ini mau lulus SMA,” gerutnya kesal. Tak lama kemudian, barulah Gita yang turun. Gadis itu langsung menuju Ajeng dan merangkulnya. Matanya langsung tertuju ke kotak makanan Ajeng, dan tangannya tidak tahan mengambil lemper yang dibawa Ajeng. Widya hela napas panjang. Lemper buatan Arni memang dikenal sangat lezat, tidak bisa hanya satu atau dua lemper, tapi lebih dari itu baru puas menikmatinya. Dua anaknya, Gita dan Lintang sangat menyukai lemper buatan Mama Ajeng. “Udah keras Mama panggil tadi, apa kamu nggak dengar?” “Mas Anung nelfon. Dia bilang tahun ini nggak bisa liburan di Jakarta. Di kantor semakin sibuk katanya. Rugi kalo ambil liburan, bosnya lagi baik kasih bonus overtime.” Widya menggeleng. Anung adalah putra sulungnya yang bekerja di sebuah perusahaan tekstil di kota Melbourne, Australia. Sejak lulus S1 di sana, Anung sudah berniat bekerja dan tinggal di sana. Kini dia baru lulus menjadi permanent residence di sana, dan sesekali pulang liburan ke Jakarta. Ajeng yang tidak mau tinggal diam, langsung bergerak menuju sink dapur dan mencuci alat-alat makan yang kotor. Widya meliriknya sebentar, wajahnya riang melihat gadis itu yang selalu cekatan ‘bekerja’ di rumahnya. “Jeng, mulai besok kamu berangkat sekolah bareng Gita dan Mas Lintang lagi, ya?” Widya berujar dengan nada membujuk. Sebelumnya Ajeng sudah pernah pergi ke sekolah bersama Gita dan Lintang dengan mobil yang dikendarai Lintang, tapi entah kenapa sudah dua minggu dia tidak mau diajak pergi ke sekolah bareng, dan dia tidak menjelaskan alasannya. Gita dan Ajeng duduk di bangku kelas sepuluh, sedangkan Lintang duduk di kelas dua belas, mereka bersekolah di sekolah yang sama. “Aku pergi sendiri aja, Tante,” tolak Ajeng pelan sambil terus menata alat-alat makan yang basah di atas sebuah rak besi putih. “Kenapa sih sekarang nggak mau pergi bareng?” tanya Widya lembut sambil melirik ke Gita yang hanya mengangkat bahu tidak tahu alasan penolakan Ajeng. “Tau nih anak. Pulang juga sembunyi-sembunyi nggak mau lagi nungguin aku dan Mas Lintang, Ma.” Gita sudah menyantap dua lemper, dia sekarang meneguk minuman soda merah. “Nggak papa, Tante. Hm … ada warung langganan baru,” jawab Ajeng. “Warung dekat sekolah kan? Kamu juga biasanya bawa dagangan ke sana tiap pagi diantar Mas Lintang,” Gita terus menekan Ajeng. “Harus lebih pagi, Gita. Soalnya di sana cepat habis dan laris kalo lebih pagi,” balas Ajeng, sedikit ada nada kilah di ucapannya. “Ya, kita bisa lebih pagi berangkat kalo gitu. Ayo, alasan apalagi?” cecar Gita yang tidak percaya dengan alasan Ajeng yang dengan sengaja dibuat-buat. Dia heran dengan sikap Ajeng yang seperti menghindar, tapi juga tidak bisa menebak. “Ok. Besok aku pergi bareng kamu.” “Nah, gitu dong.” Widya ikut senang. Sore itu acara arisan di rumah Widya berjalan lancar. Ajeng bersama Mbak Fia dan Gita dengan cekatan membereskan rumah setelah para tamu pergi. Widya sangat puas dengan keadaan rumahnya yang kembali rapi dan bersih seperti biasa. Ajeng sangat membantu, tanpa gadis itu, Gita pasti tidak mau membantu dan hanya bermalas-malasan. Bersambung

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

CINTA ARJUNA

read
18.4K
bc

Terjebak Pemuas Hasrat Om Maven

read
4.2K
bc

Dokter Jiwaku Membuatku Menggila

read
15.6K
bc

Petaka Semalam di Kamar Adik Ipar

read
4.2K
bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
7.0K
bc

Rayuan Sang Casanova

read
2.6K
bc

Tergoda Rayuan Mantan

read
26.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook