Gita akhirnya tidak lagi mempertanyakan alasan Ajeng yang tidak mau pulang pergi ke sekolah bersamanya. Melihat sikap biasa Ajeng, dia mengira tidak ada yang perlu dipertanyakan. Sahabatnya itu tetap bersikap biasa, masih bisa diajak bercanda dan bernyanyi riang, atau main tik tok bareng.
Akan tetapi, ada keanehan hari ini di sekolah. Saat istirahat makan siang, Ajeng tiba-tiba pamit pergi darinya ketika Leslie mendekatinya dan mengajaknya berbicara. Gita sempat mengira apa karena Leslie, tapi tidak mungkin. Leslie dan Ajeng tidak saling mengenal, tapi Ajeng tahu bahwa Leslie adalah pacar Lintang.
Leslie memberikan Gita sebuah gantungan ponsel yang dia dapatkan dari London. Ayahnya baru saja pulang dinas dari London dan membawa banyak oleh-oleh.
“Wah, makasih, Kak Leslie. Baguuus.” Gita langsung memasangkannya ke ponsel mahalnya. Tiba-tiba wajahnya berubah saat melihat ada inisial L dan G di gantungan imut itu. “LG artinya apa?” tanyanya.
“Leslie dan Gita,” Leslie menjawab sambil merangkul Gita dengan sikap hangatnya. Leslie adalah calon ipar yang sangat baik dan manis. Sejak resmi berpacaran dengan Lintang, dia menunjukkan sikap terbaiknya ke calon adik iparnya, begitu teman-temannya memberi gelar kepada Gita. Apalagi Gita dikenal dengan sosok murid yang manja, menjadi sangat mudah bagi Leslie mndekatinya.
“Waaaa.” Gita berseorak, diikuti dua teman Leslie yang berada di dekat mereka berdua.
“Atau bisa Lintang dan Gita,” sela Alea, sahabat Leslie yang cantik, penampakannya mirip Leslie.
“Mas Lintang apa oleh-olehnya?” tanya Gita ingin tahu.
“Hm … dompet kulit. Masmu itu dompetnya sudah nggak zaman.”
Gita senang bukan main, Leslie sangat memperhatikan dirinya dan kakaknya.
“Eh, teman kamu mana?” tanya Noni, juga teman Leslie. Matanya melirik ke Leslie yang sedikit cemberut.
“Ajeng? Tauk. Dia bilang pergi dulu ke mana aku nggak tau.” Gita memegang-megang gantungan ponsel dengan perasaan senangnya.
“Kasih oleh-oleh juga dong, Leslie. Itu Ajeng kan sahabatnya Gita.” Tidak tahu alasan Noni memberi ide kepada Leslie untuk juga memberi oleh-oleh kepada Ajeng, yang memang dikenal sebagai sahabat dekat Gita.
Dengan malas, Leslie merogoh sakunya dan memberi Gita mainan kunci bermotif bus London berwarna merah.
“Ih. Ini juga baguuuuus,” Mata Gita berbinar cerah seakan menunjukkan bahwa dia juga menginginkannya.
“Buat kamu aja,” ujar Leslie kembali dengan sikap manisnya.
Gita berpikir sejenak.
“Hm. Nggak ah, kan emang untuk Ajeng. Nanti aku kasih tau ke dia ini oleh-oleh dari Kak Leslie yang cantik.”
Leslie tampak resah karena dia melihat Ajeng muncul dari toilet dan sengaja melangkah pelan menuju Gita. Begitu juga dengan Ajeng yang tampaknya juga tidak ingin Gita mencurigainya dan memilih kembali ke Gita yang sedang asyik bercanda dengan Leslie dan teman-temannya.
Leslie memang pandai bersikap manis, dia langsung tersenyum ke arah Ajeng yang duduk di samping Gita, memberikan oleh-oleh berupa gantungan kunci kepadanya. Ajeng mengucapkan terima kasih dengan sikap sopan. Dia memaklumi sikap manis Leslie sekarang, Leslie harus sempurna di mata Gita.
Leslie lalu pergi meninggalkan Gita dan Ajeng setelah pamit dengan kata-kata manisnya. Dia dan kedua temannya duduk-duduk di depan pekarangan sekolah. Sesekali melirik ke arah Gita dan Ajeng yang tampak asyik memainkan dua benda lucu pemberiannya.
“Nggak papa korban sedikit, Leslie. Berapaan sih harga gantungan kunci, yang penting kan Gita pasti senang sama kamu. Bagaimanapun Ajeng itu sahabat Gita sejak kecil, dan kamu nggak bisa lari dari fakta itu. Untung Ajeng nggak ember, kayaknya dia ngerti kamu nggak suka dia, dan dia kayaknya juga nggak cerita soal kejadian di kantin itu kan?” Noni berusaha mendinginkan suasana hati Leslie yang masih panas setiap kali melihat Ajeng. “Kebayang kalo dia cerita, aku yakin Lintang pasti mempermasalahkannya.”
“Aku ingin sekali menyingkirkan dia, nggak tau kenapa kayaknya Lintang sayang sama dia.”
“Ah. Mana mungkinlah, Leslie,” sela Alea. “Jauh cantikan dan kaya kamu dari dia. Dia itu kan cuma ngontrak rumah mamanya Lintang. Lintang pasti liat-liat juga. Dia dekat Ajeng juga karena Ajeng deket sama Gita,” sela Alea ikut menyemangati.
Leslie menghempaskan napas jengahnya.
“Kamu tuh beruntung, Gita dan Tante Wid suka sama kamu—”
“Aku nggak merasa Tante Widya suka aku. Setiap kali aku ke sana, dan ada Ajeng, Ajeng yang dia perhatikan dan mengabaikan aku, Al.”
“Perasaanmu saja. Tetap kamu di hati Lintang. Kamu fokus Lintang dan nggak usah mikirkan yang lain. Aku udah berkali-kali bilang. Lihat aku, aku fokus Alaric dan nggak peduli keluarganya yang sama sekali nggak menyukaiku, tapi aku bisa terus bertahan.”
Leslie mengamati wajah Alea yang tampak menahan kesal setiap kali membicarakan keluarga kekasihnya yang bernama Alaric, yang juga merupakan sahabat Lintang.
Dagangan kue Ajeng yang tidak laku tidak lepas dari peran Leslie. Dia tidak lagi bisa menitipkan dagangannya di sekolah, karena Leslie berhasil menghasud pemilik warung, yang kebetulan anaknya bekerja di kantor perusahaan papanya. Meski tidak mengancam, tapi pemilik warung sudah menunjukkan bahwa dia tidak mau Ajeng menitipkan kue-kuenya lagi dan lebih baik menitipkannya di tempat lain. Ajeng tidak bisa berbuat apa-apa selain menarik dagangannya dan kini dia titipkan di dekat rumahnya.
Ajeng adalah tipikal gadis yang menyembunyikan masalahnya sendiri dan tidak mau mengungkapkannya selama dia masih bisa menyelesaikannya sendiri. Dia juga tidak pendendam atau membalas perbuatan orang lain yang tidak menyukainya, dan memilih menghindar. Tapi menurutnya Leslie sudah keterlaluan, warung baru tempat dia menitipkan kue mendadak menolak dagangannya. Ajeng memutar otak, dengan menjualnya di tempat lain, yang benar-benar di luar jangkauan Leslie. Sekarang sudah berjalan dua hari dan dagangannya cukup laris. Jika mamanya bertanya kenapa dia mengubah tempat menitip kue dagangan, Ajeng menjawab dengan santai bahwa dia sedang mencari tempat yang tepat dan tidak mau merasa bosan. Arni yang sudah terbiasa dengan lincah Ajeng dan mengerti anaknya yang juga mudah bosan, menerima alasan Ajeng.
“Kalo kamu nggak mau jualan lagi ya nggak papa. Ibu masih punya tempat lain, lagi pula Ibu juga nggak sanggup buat kue-kue banyak setiap pagi. Orderan cucian dan setrika semakin banyak, orang-orang mulai males cuci-cuci. Jadi kamu fokus belajar saja.” Arni tidak keberatan jika Ajeng tidak mau menjualkan kue-kuenya.
“Iya, Bu. PR juga banyak, SMA beda dari SMP, pelajaran lebih tinggi dan kita dituntut belajar dan memahami sendiri. Sudah kayak kuliah aja.”
Arni menggeleng tertawa mendengar gerutu Ajeng.
Bersambung