Akhirnya dua lembar uang merah pun didapat Ajeng dari Widya dengan hati gembira sore itu. Widya memang tidak tanggung-tanggung memberi upah ke Ajeng dengan jumlah yang cukup besar. Hatinya selalu senang saat Ajeng berada di rumahnya, saking sayangnya dia kerap menyuruh Ajeng menginap di rumahnya, tapi tentu Ajeng menolak dengan halus, karena ibunya akan sendirian di rumahnya.
Baru tahun ini Gita dan Ajeng bersekolah di sekolah yang sama, sebelumnya SMP mereka berbeda, Gita sekolah di SMP swasta, dan Ajeng di SMP negeri terdekat. Namun, mereka bersahabat karena bertetangga. Kini mereka bertambah dekat karena SMA mereka yang sama, satu kelas pula. Karenanya, Widya menyarankan Ajeng untuk pergi bareng ke sekolah, dengan mobil yang dikendarai Lintang. Sudah lebih dari satu tahun Lintang mendapatkan SIM mobil, dan dia sudah mengendarai mobil sejak kelas sebelas.
Sudah satu minggu ini Ajeng tidak pergi bareng Gita dan Lintang ke sekolah. Dia tidak mengatakan alasannya. Baik Gita maupun Lintang tidak bisa menduga, Widya juga turut bingung. Dia merasa iba membayangkan Ajeng yang pergi ke sekolah dengan ojek online langganan sambil membawa dagangan, dan terus membujuk tanpa memaksa Ajeng menjelaskan alasannya.
Ajeng memiliki alasan yang tidak bisa dia ceritakan. Minggu lalu, seorang gadis yang mendatanginya dan terang-terangan melarangnya untuk pergi ke sekolah dengan menumpang mobil yang dikendarai Lintang. Dia Leslie, teman satu kelas Lintang sekaligus kekasihnya. Tidak tahu kenapa Leslie mencemburu Ajeng, padahal Ajeng jelas-jelas gadis biasa hanya beruntung bisa bersekolah di sekolah negeri favorit. Leslie jauh lebih cantik dan dikelilingi gadis-gadis cantik yang berasal dari keluarga kaya.
“Mobil Lintang terlalu bagus buat kamu, mana bawa-bawa kotak isi kue murahan lagi. Aku nggak habis pikir … tau diri sedikit napa sih? Keberatan?”
Tidak pernah Ajeng merasa terhina mendengar ucapan tajam Leslie. Tidak ingin bermasalah lebih lanjut, dia langsung memutuskan untuk tidak lagi ‘menumpang’ mobil Lintang. Tapi dia tetap bermain di rumah Gita, belajar bersama dan membicarakan banyak hal dengan Gita.
***
Pagi ini Ajeng berangkat menuju sekolah bersama Gita dan Lintang dengan mobil yang dikendarai Lintang. Gita duduk di depan bersama Lintang, sementara Ajeng duduk di kursi belakang dengan kotak-kotak yang berisi kue-kue dagangannya yang dia letakkan di sisi kirinya. Jika tidak membawa dagangan Gita pasti duduk di belakang bersama Ajeng. Ajeng sebenarnya tidak masalah jika Gita duduk di sampingnya dan dia bisa memangku kotak-kotak dagangannya, tapi Gita dan Lintang adalah remaja yang memiliki tenggang rasa yang baik, mereka tetap memberikan kenyamanan untuk Ajeng walaupun Ajeng menumpang mobil mereka.
“Berhenti sebelum gerbang aja, Mas Lintang.”
Sedang asyik ngobrol tentang anjing peliharaan tetangga mereka yang baru dan galak, tiba-tiba Ajeng menyuruh Lintang menurunkannya di depan lorong sebelum memasuki gerbang sekolah.
“Masih jauh, Jeng. Yakin?” Lintang melirik sekilas Ajeng melalui kaca spion depannya.
“Iya, Mas.” Ajeng tampak melihat ke sekeliling dengan wajah cemas. Gita memutar tubuhnya ke belakang memandang Ajeng.
“Kenapa sih?”
Lintang menghentikan mobilnya di tempat yang dimaksud Ajeng.
“Nggak usah, Gita. Kamu nggak perlu ke luar mobil. Aku bisa sendiri. Sudah, duduk saja … aku nanti nyusul. Nggak jauh kok.”
Gita dan Lintang saling pandang.
“Serius, Jeng?” Gita tak yakin Ajeng bisa membawa kotak-kotak kuenya sekaligus, ada lima tumpukan kotak dan pasti Ajeng kesusahan membawanya. Apalagi ini toko yang pertama tempat Ajeng menitipkan kue-kuenya, belum lagi dia juga harus membawa beberapa kotak lainnya ke kantin sekolah.
Lintang langsung turun dari mobil, dan berputar menuju Ajeng yang sudah siap-siap berjalan membawa kotaka dagangannya.
“Sudah, Mas. Please, nggak usah.” Ajeng benar-benar memohon agar Lintang tidak membantunya. Tapi Lintang bersikeras, dengan cara paksa dia menarik tangan Ajeng dari kotak-kotak kuenya, dan membawakannya untuk Ajeng.
Tangan Lintang cukup kuat menarik, membuat Ajeng pasrah dan membiarkannya membantu membawakannya. Lalu keduanya berjalan menuju toko yang dituju, meninggalkan Gita sendiri di mobil yang mesinnya masih menyala.
“Makasih, Mas Lintang.” Dengan enggan Ajeng mengucapkan terima kasih, tapi matanya berkeliaran mengawasi sekitarnya. Jantungnya berdegup sangat kencang saat mobil putih melintas di depannya dan kaca penumpang belakangnya turun memperlihatkan wajah cantik Leslie, kekasih Lintang.
Saat Lintang membalas ucapan terima kasih, dia tidak menyadari mobil kekasihnya telah melewatinya, dan Ajeng benar-benar lemas sekarang. Kemudian mereka berdua kembali menuju mobil dan lagi-lagi Lintang membawakan sisa kotak yang harus di bawa Ajeng untuk dititipkan di kantin sekolah.
Sepanjang jalan menuju gerbang sekolah, tangan Ajeng yang bertumpu di atas pangkuannya terlihat gemetar, dan wajahnya menunjukkan kecemasan.
“Kenapa, Jeng?” Gita bertanya saat mereka berdua berjalan di dalam pekarangan sekolah. Dia merasa aneh dengan sikap Ajeng yang gugup dan wajah pucat pasi.
“Nggak papa. Hm … aku duluan ya.”
“Oh. Ok, aku tunggu kamu di kelas.”
Gita membiarkan Ajeng berjalan cepat menuju kantin sekolah. Sementara Lintang tampak sudah berjalan bersama teman-teman cowoknya, menuju kelas.
Baru saja Ajeng memasuki kantin, Leslie dan dua teman cantiknya berjalan mendekatinya. Wajah ketiganya menunjukkan ketidaksenangan, terutama Leslie. Dia berjalan menantang dengan dua tangan terlipat di d**a.
“Kamu nekat juga ya orangnya, jalan berdua dengan pacar orang. Punya kuping nggak, Anjing?!” hardik Leslie dengan mata melotot. Dia bisa marah di pagi itu, karena sekitar kantin masih sangat sepi, bahkan pedagang kantin baru saja bersiap-siap.
“Hah, nggak pantes nama Ajeng, Anjing aja sekalian!” sela teman Leslie ikut memanasi suasana hati Lesile. Teman yang satunya tertawa keras mengejek Ajeng, menyebabkan Leslie benar-benar panas, dia tarik kotak-kotak yang dibawa Ajeng dan menghempaskannya di atas lantai.
Wajah Ajeng memanas melihat kue-kuenya berserakan di atas lantai.
“Nangis lo! Nangi aja lo! Meweeeek. Hahahaha.”
Ajeng masih berusaha mengambil kue-kue yang berbungkus daun pisang, hatinya teriris saat melihat sepatu-sepatu mewah menginjak-injak kue-kue yang belum sempat dia selamatkan. Ajeng berusaha keras untuk tidak menangis, dan dia berhasil menenangkan diri setelah ketiga gadis itu pergi meninggalkannya sendiri.
Ajeng cepat membersihkan kue-kue yang lengket di atas lantai, dia masih memikirkan orang-orang yang lewat dan pasti tidak nyaman melihat sisa-sisa bekas kue yang lengket.
“Lo, kenapa, Jeng?” penjaga kantin menegur Ajeng yang sudah selesai membereskan kue-kue yang berserakan di atas lantai.
“Jatuh, Bu.” Ajeng menjawab sambil masuk ke dalam kantin, mengambil kain lap hitam lusuh yang berada di belakang meja penjaga, lalu ke luar dan membersihkan bekas kue yang lengket di atas lantai. Ajeng juga tidak lupa menyiram dengan air, dan lantai bersih seketika.
“Aku titip kotaknya saja ya, Bu. Kue-kue ini nggak usah dijual. Nanti aku ambil lagi pas pulang sekolah.”
Bersambung