Ting! Ting! Ting!
“Dasar pengganggu!” umpatku kepada seorang penelpon yang ada di sebrang sana. Aku langsung melihat kearah ponselku dengan datar dan mengangkatnya.
"Halo?"
"Apa-apaan kau ini Raihan! Bisa-bisanya kau mendaftarkanku ke Universitas juga. Kau taukan aku sudah malas berpikir tentang mata kuliah, mengejar dosen, mengerjakan tugas yang menumpuk itu. Pekerjaanku saja sudah banyak mau kau tambah lagi dengan kerjaan kuliah yang segunung itu, huh!" umpat Varo dari sebrang sana.
"Sudah ku bilang tidak ada penolakan. Apakah kau mau kehilangan semua pekerjaanmu itu, Varo?" tanyaku dengan nada dingin.
"Apa kau tidak mengerti aku sudah malas dengan semuanya. Kau malah membuat masalah baru saja," ucapnya dengan kesal.
"Hahahaha bermain-mainlah kau di Indonesia, Varo. Lagi pula kau bisa membayar orang untuk mengerjakan semua tugas kuliahmu itu. Semua ini bisa di kendalikan jika kita memiliki uang yang banyak."
"Tidak semudah itu, Han. Semua orang wajib bertanggung jawab. Aku tau kau sangat jengah dengan kehidupan di dunia ini. Tapi, ini adalah takdirmu. Kau terlahir sebagai seorang mafia yang memiliki banyak musuh. Jika kau kekeh ingin melakukan itu semua, orang-orang di sekelilingmu nanti akan menjadi sasaran empuk para musuhmu."
"Aku sudah memikirkan itu baik-baik. Jadi, kau jangan banyak membantah. Lagi pula aku sudah menyiapkan semuanya dengan baik."
"Alasan!"
"Cepat lakukan pekerjaanmu! Jam 7 malam kau harus sudah membawa laporanmu ke ruanganku. Dan ingat besok kau tidak boleh datang terlambat, jika kamu masih membantah siap-siap saja kau akan kehilangan semua yang kau punya dalam sekejap mata."
"Huh! Baiklah aku akan mengikuti kemauanmu kali ini. Tapi, satu hal yang harus kamu ingat. Hanya kali ini saja aku mau membantumu. Sisanya kau akan mengerjakannya sendiri."
"Aku tidak bisa berjanji untuk hal itu. Bukannya kau dan Edwin sudah berjanji akan selalu membantuku dalam keadaan apapun?" tanyaku sambil terkekeh pelan.
"Tidak, kami tidak akan membantumu jika harus mengorbankan nyawa orang lain. Ingat misi kita di awal Raihan, kau tidak boleh melanggar sumpahmu sendiri."
"Yayaya, baiklah aku selalu ingat dengan sumpahku sendiri. Kau jangan khawatir tentang itu. Lakukan saja apa yang ku suruh. Ingat aku adalah bosmu sekarang."
"Dasar pemaksa! Bagaimana cewe ingin dekat denganmu jika kau terus bersikap seperti ini terhadap semua orang?" tanyanya kepadaku.
"Selagi aku memiliki uang, semua orang akan dekat denganku. Semua bisa ku dapatkan dengan uang Varo."
"Ada hal yang tidak bisa kau dapatkan dengan uang, Han. Mungkin kau berpikir bahwa uang bisa membawa segalanya. Namun, kau tidak bisa membeli cinta dan kasih sayang. Sampai kapanpun kamu tidak akan mendapatkan itu semua dengan uangmu. Suatu saat uangmu bisa habis, ketika uangmu habis semua orang akan menjauhimu dan membencimu. Berbeda dengan orang yang tulus menyayangimu, ia akan tetap di sampingmu pada saat apapun itu." Mendengar ucapan dari Varo aku pun terdiam dan mencernanya dengan pelan.
"Sudah akan ku tutup telpon ini. Kau lanjutkan pekerjaanmu dengan baik. Jangan lupakan makan siangmu, jika kau sakit tidak ada yang mau mengurusmu nanti. Sudah ya ku tutup."
Tut! Tut! Tut!
"Cinta dan kasih sayang?" desisku.
"Ternyata masih ada yang percaya tentang hal itu? Hal yang tidak pernah ku dapatkan selama ini, ternyata ada yang mempercayainya. Hahahaha bisa jadi itu hanya sebuah angan-angan saja yang bisa ku miliki. Karena di dunia ini semuanya fake tidak ada yang real. Hanya Varo dan Edwin saja yang real bagiku selama ini."
Aku kembali fokus membaca laporan-laporan yang ada di atas meja kerjaku dengan teliti dan mendatangani beberapa dokumen yang sangat penting.
Tok! Tok! Tok!
Aku langsung menoleh kearah sumber suara dan menghela nafasku dengan panjang. "Huh selalu mengganggu pekerjaanku mereka ini," umpatku dengan kesal.
"Masuk!" teriakku dari dalam ruangan. Tak lama kemudian, terlihat Bi Asih yang membawa nampan makan siangku dan menaruhnya di atas meja kerja.
"Silakan dimakan Den makanannya. Bibi balik ke dapur lagi ya mau beresin cucian," ucapnya dengan sangat lembut.
"Tunggu Bi, bolehkah aku minta tolong padamu?" tanyaku dengan pelan.
"Boleh Den, mau minta tolong apa?" tanya dengan lembut.
"Boleh kau siapkan baju-bajuku yang santai dan beberapa pakaian kerjaku lalu kau masukkan ke dalam koper yang ada di pinggir lemariku?" tanyaku pelan.
"Boleh Den, nanti Bibi siapin. Kalau boleh tau Den Raihan ingin pergi kemana?" tanya Bi Asih dengan pelan.
"Aku ingin pergi ke Indonesia Bi. Aku ingin melanjutkan studyku disana," jawabku dengan sopan.
"Alhamdulillah kalau seperti itu, Bibi teh ikut seneng dengernya. Den Raihan harus rajin belajar ya disana, banggain Mama sama Papa Aden. Bibi tau Aden anak yang pintar," ucap Bi Asih dengan lembut.
"Tak ada yang peduli denganku Bi, hanya Bibi saja yang peduli terhadapku. Buat apa aku membanggakan mereka di luaran sana? Sedangkan mereka saja seperti itu kepadaku?" tanyaku sambil tersenyum miris.
"Tidak ada orang tua yang tidak sayang anaknya. Semua orang tua selalu sayang sama anaknya. Mungkin mereka lagi sibuk, jadinya waktu kumpul sama Aden berkurang. Adenkan punya Bibi, Bibi bisa bantuin Aden buat apapun itu. Kecuali masalah kantor sama kuliah ya, Bibi teh cuma lulusan SMA doang. Jadinya gak ngerti sama begituan," ucap Bi Asih sambil memberikan pengertian kepadaku.
"Makasih ya Bi, udah mau nemenin aku selama ini. Bibi harus tetep jaga kesehatan disini, nanti aku selalu transfer uang buat Bibi."
"Eh, gak usah atuh Den. Uang yang waktu itu aja belum abis," tolak Bi Asih dengan lembut.
"Gak papa Bi, simpen aja sisanya untuk Bibi. Udah sekarang Bibi lanjut lagi kerjaannya ya, jangan lupa baju aku."
"Yaudah kalau gitu Bibi lanjut kerja lagi ya. Jangan lupa di makan makanannya." Setelah meletakkan makanannya Bi Asih langsung keluar dari ruanganku dan menutup pintunya dengan pelan. Aku langsung duduk di sofa panjang dan memakan makanan yang di berikan oleh Bi Asih.
Tring!
Satu notifikasi muncul di layar handphoneku, aku langsung melirik sekilas dan membiarkannya saja. Setelah selesai makan, aku langsung kembali bekerja dan membuka dokumen-dokumen yang membosankan itu.
Tring! Tring!
Banyak sekali notifikasi handphone yang masuk, membuatku tidak fokus ketika melihat semua berkas yang ada di hadapanku saat ini. Aku langsung membukanya dan menatap layar ponselku dengan datar.
"Tidak bisakah mereka semua sehari saja tidak menggangu ketenanganku? Aku sudah jengah dengan semua ini. Aku juga ingin hidup seperti orang biasa yang tidak arrogant seperti ini. Tapi, mereka semua terus memaksaku untuk tetap seperti ini." Aku langsung membuka pesan dari orang itu dengan tatapan datar.
Pesan dari Rendi :
Tuan maaf mengganggu waktumu, saya ingin mengabari bahwa The King sudah mendapatkan senjata baru untuk menghabisi kita. Saya tidak tau mereka akan menyerang kita kapan? Tapi, yang jelas mereka akan menyerang kita dalam waktu dekat.
Me :
Siapkan pasukan dan suruh mereka terus berlatih, nanti saya akan mengirim Varo untuk mengawasi kalian semua latihan. Kalian semua akan pindah ke Indonesia untuk sementara waktu, karena saya memiliki tugas penting disana.
Rendi :
Baik Tuan.
Aku langsung melempar ponselku ke atas berkas-berkas itu dan memijat keningku dengan pelan. Rasa pening melandaku saat ini, tidak tau apa yang ku rasakan sebenarnya semua masih abu-abu. Antara bertahan di dalam dunia ini dan berjuang untuk beberapa waktu, atau melepaskan dunia ini begitu saja dan mati tanpa berjuang.
Semua orang terasa begitu fake di hadapanku. Mereka semua haus akan darah, kekuasaan, kekayaan, tangisan, dan kehancuran. Mereka lebih senang melihat orang lain menderita daripada membantu orang-orang yang membutuhkan.