Pemikiran ku dengan mereka semua sangat berbeda jauh sekali saat ini. Aku selalu berpikir sampai jauh ke depan dari orang biasanya. Aku dan gengku memiliki komitmen bahwa kami harus saling berpegangan tangan untuk membantu banyak orang lemah yang tertindas karena kepemimpinan mereka semua. Orang-orang arrogant yang tak punya hati itu selalu melakukan banyak hal sesuka hati mereka.
Banyak sekali manusia yang harus menderita akibat kekejaman mereka semua. Di perlakukan sama seperti binatang peliharaan, di siksa secara berkala, dan di bunuh tanpa jejak oleh majikannya. Itu semua membuatku benci akan semua yang ku punya saat ini.
Aku memang memiliki kekayaan yang melimpah saat ini. Kekayaan yang aku miliki saat ini sampai takkan habis 7 turunan sekaligus, tapi di balik kesuksesanku, di balik mansion, dan mobil mewahku ini terdapat banyak sekali kesedihan di dalamnya.
Aku adalah anak yang tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari orang tuaku. Terakhir kami bertemu di Indonesia, itu hanya sebentar dan tidak sampai 3 jam kami bertegur sapa. Oleh sebab itulah aku kekeh untuk tetap kuliah di Indonesia karena dari situlah aku bisa bertemu dengan mereka meskipun hanya sepersekian detik saja.
Oh ya, aku belum memperkenalkan diriku di awal. Aku adalah Michel Adnan Raihan, aku berumur 20 tahun. Aku merupakan pemilik perkumpulan mafia terbesar di dunia dan perusahaan nomor 1 di dunia. Tapi, di balik itu semua banyak sekali tangisan dan kesedihan yang ada di dalam diriku dan orang-orang di sekililingku.
Aku memiliki dua sahabat dari kecil yaitu Edwin dan Alvaro, kami bertiga memiliki nasib yang sama sehingga membuat kami sadar bagaimana rasanya di tindas oleh orang yang lebih hebat. Aku selama ini hanya tinggal bersama dengan Bi Asih, ia adalah seseorang yang sangat setia kepadaku. Tak hanya itu saja, ia juga selalu menemaniku, mengajarkanku tentang kehidupan, mengajariku menghormati seseorang yang lebih tua, dan masih banyak lagi.
Bi Asih tak hanya seorang pembantu bagiku. Tapi, ia juga sebagai ibu yang sangat baik untukku selama ini. Kalau di bayangkan kasih sayang ibu kandungku selama ini hanya bisa memberikan kasih sayangku hanya sedikit, ia hanya bisa menghabiskan waktu bersamaku selama 1 jam dalam satu bulan, berbeda dengan Bi Asih. Ia selalu menemaniku disaat banyak hal yang terjadi dan menyerang ku. Meskipun begitu aku selalu memberikan pengamanan yang terbaik untuknya dan beberapa orang lainnya.
Jika aku lengah sedikit saja, maka aku akan kehilangan mereka semua dalam hitungan menit. Para musuhku selalu mencari titik-titik kelemahan ku untuk menguasai dunia ini. Raihan akan tetap jadi Raihan, seseorang yang tidak takut di bunuh oleh siapapun kecuali Tuhan yang mencabut nyawanya.
Prinsipku adalah membunuh atau di bunuh untuk membela keadilan manusia di muka bumi ini. Selama aku hidup sampai kapanpun aku akan membela kebenaran dan kebajikan tanpa mengenal kasta, uang, pendidikan, prinsip hidup, agama, jabatan, dan martabat seseorang. Seseorang di dunia ini memiliki hak yang sama untuk hidup di dunia ini, saling berdampingan satu sama lain, saling menggenggam, dan saling menyayangi antar sesama itulah yang ku inginkan.
Melihat sebuah Bangsa yang aman dan damai tanpa adanya kericuhan, kehancuran, dan tangisan itu adalah sebuah impianku. Aku terus memijit pelipisku dengan pelan untuk mengurangi rasa sakit yang menyerang kepalaku dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan ku pergunakan untuk mencari kontak Varo dari handphone ku. Setelah menemukan kontak Varo aku langsung menelponnya.
Tut..... Tut....... Tut........
Lumayan lama aku menunggunya menjawab teleponku. Aku mematikannya dan terus mencoba menghubunginya berulang kali. Hingga sampai telpon yang kelima kali tak ada sautan dari sang empunya.
"Hpnya kebiasaan di silent. Gak guna amat hp lo itu Varo! Buang aja hpnya ke laut kalau di telpon gak di angkat!" seruku dengan kesal. Tak lama kemudian Varo menelponku balik, aku langsung dengan cepat mengangkatnya.
"Hp lo itu sebenernya berguna gak sih! Daritadi kemana aja gue telponin lo gak ngangkat! Kemana aja ha! Mati hpnya? Apa nyemplung sumur? Kalau misalnya hp lo rusak bilang! Gak usah sok ngartis kalau di telponin, karena lo bukan artis!" murkaku kepada Varo yang ada di sebrang sana.
"Buka---"
"Gak usah banyak alesan. Gue gak terima alasan lo sekarang. Sekarang lo selesai masalah yang ada di markas kita, tadi Rendi kirim pesan ke gue kalau disana ada beberapa masalah yang harus di selesaikan. Terutama tentang senjata! Apa aja yang kurang lo data, senjata terbaru dll juga lo data. Jangan sampe ada yang kelewat sekecil apapun. Kalau sampe kelewat sedikit aja nyawa lo jadi taruhannya."
"Ha? Masalah? Oke, gue akan segera kesana. Sebelum kesana gue keruangan lo dulu, gue mau ngasih semua laporan yang lo suruh tadi."
"Gak usah, itu bisa lo kirim lewat e-mail. Gue masih mampu baca lewat e-mail dan hanya sekedar ngeprint dikit gue juga masih bisa. Sekarang lo langsung kesana aja sekarang juga. Gue gak terima bantahan lima menit sampai di tempat."
"Lo gila? Lima menit dari sini kesana aja udah sepuluh menit Raihan!" seru Varo dengan kesal.
"Gue gak mau tau, gimanapun caranya lo harus bisa sampe sana selama lima menit. Gue akan telpon lo setelah lima menit kemudian. Sekarang gue tutup telponnya, selamat bekerja!" ucap gue dengan tegas.
"Tap-----" Belum selesai Varo ngomong, gue langsung mematikan telponnya secara sepihak dan kembali fokus ke depan berkas-berkas yang membosankan ini.
Satu jam pun berlalu, akhir aku telah menyelesaikan semua berkas yang ada di hadapanku saat ini dan memasukkannya ke dalam brankas pribadiku. Tinggal menyuruh Vania untuk mengambilnya besok pagi. Vania merupakan sekertaris pribadiku, kemungkinan aku akan memberikan beberapa tanggung jawab baru padanya selama aku pergi ke Indonesia.
Aku langsung keluar ruangan dan memanggil Mang Udin untuk membersihkan ruanganku. "Mang!" teriakku dari luar ruangan. Dengan tergesa-gesa Mang Udin langsung menghampiriku dan menundukkan kepalanya dihadapanku.
"Iya Den, ada apa?" tanya Mang Udin sambil menundukkan kepalanya.
"Tolong bersihkan ruangan saya ya Mang," ucapku dengan sopan.
"Baik Den," jawab Mang Udin dengan lembut.
"Yasudah saya ke kamar dulu, makanan yang ada di meja juga tolong di bersihkan ya Mang. Saya takut nanti ada semut di ruangan itu," ucapku seraya berlalu meninggalkannya di depan ruangan.
Mang Udin hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan dan masuk ke dalam ruangan kerjaku untuk membersihkannya. Setelah melihatnya masuk ke dalam ruangan, aku langsung bergegas ke dalam kamar untuk prepare apa yang akan ku bawa besok.
Bukan berarti, aku tidak percaya dengan Bi Asih yang sudah mengatur semua bajuku di dalam koper. Tapi, aku hanya ingin memastikan saja apakah sudah cukup atau masih ada yang kurang untuk di bawa besok. Karena Jarak Indonesia dan Francis begitu jauh sekitar 11.720 km, 7.283 mil, dan 6.328 mil laut jauhnya.
Setelah sampai di dalam kamar aku langsung mengambil koperku dan membukanya. Mengecek satu-satu bawaanku mulai dari seperangkat baju, celana, handuk, kemeja, Jas, berkas penting, dan beberapa senjata kesayanganku.
Aku hanya menyuruh Bi Asih untuk memasukkan baju-bajuku saja, sedangkan senjata dan berkas penting hanya aku yang tau letaknya dan menaruhnya dengan benar. Setelah aku merasa cukup dengan bawaanku, aku langsung menaruhnya dengan benar dan mengamankannya agar tidak sampai bocor.
Sudah merasa cukup dengan semuanya aku langsung pergi mengistirahatkan diri. Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan, banyak hal yang harus di kerjakan mulai dari tadi pagi sampai saat ini. Aku langsung memejamkan mataku sejenak dan menikmati beberapa waktu istirahatku.