s u a

1613 Words
*** Entah sudah berapa kali aku bergidik geli melihat pantulan di layar gelap handphone. Dengan dalih ingin membuat seseorang yang berdiri di atas pelaminan sana menyesal, Rere menyulap wajahku menjadi wajah lain yang sama sekali tidak aku kenal. Rasanya seperti sedang memakai topeng! Aku menghela napas keras, untuk kesekian kali sejak berada di gedung bernuansa putih ini. "Udah cantik, Neng. Kenapa gugup seolah kamu yang resepsian, sih?" Rere menanggapi helaan napasku tanpa mengalihkan atensinya dari semangkuk es buah di tangan. "Aku nggak PD ah, Re. Kuhapus aja ini make up-nya." "Eitsss ...." Rere menahan tanganku yang hendak meraih tisu basah di dalam sling bag yang menggantung di bahu kanan. Dia cepat-cepat mengeluarkan sendok dari mulutnya, lalu meletakkan mangkuk ke atas meja dengan tidak hati-hati, hingga isinya tumpah ke sana-sini. Ya Tuhan, aku yang lihat saja merasa keribetan! "Jangan, dong, Canciiik." Ia menjeda untuk menelan es buah yang masih tersisa di mulut. "Tengsin, dong, sama Mbak Nindy, kalau kamu kalah cantik dari doi." Aku memutar bola mata dan tidak lebih dari sedetik kemudian, Rere sudah memukulkan sling bag-nya ke kepalaku. "Ish. Dibilangin ngeyel banget." Rere berkata sewot sebelum kembali mengangkat mangkuknya dari atas meja. "Awas kalau berani ngehapus make up," ancamnya. Aku mengembuskan napas. Lagi. Rasanya berat sekali hari ini. Dari pernyataanku dan dialog kami, kalian pasti sudah tahu, kan, aku sedang di mana? Yups. Aku sedang berdiri dengan heels lima senti dan gaun floral berbrokat sebatas mata kaki, serta pasmina yang membalut kepala, di tengah acara resepsi pernikahan seseorang. Tahu siapa dia? Jujur, aku sendiri tidak bisa mendefinisikan dengan pasti. Sahabat, kakak, atau apa pun itu, aku tidak tahu. Satu yang pasti, dia adalah seseorang yang mampu menjungkirbalikkan hidupku. Seseorang yang tidak lelah-lelahnya menarik atensi dan mampu memberi efek sakit yang luar biasa di hari bahagianya ini. Daripada terjebak dengan pikiran itu, aku menarik baju Rere. "Ayo, ah, Re. Belum salaman udah makan mulu." "Nggak sabaran banget mau tebar pesona ke suami orang. Mau jadi yang kedua apa gimana?" Rere bergumam lirih, tetapi masih cukup jelas terdengar di telingaku, juga beberapa orang dalam radius dua sampai tiga meter dari kami. Aku melihat beberapa orang menoleh ke arah kami. "Itu mulut!" Rere hanya menyengir. Lelah rasanya, menghadapi sahabat maha ekstrem satu ini. Karena antrean sudah tidak terlalu panjang, Rere mengiyakan ajakanku. Kami berdiri persis di belakang dua orang yang sepertinya sepasang kekasih. Aku tidak mengenal mereka. Sepertinya teman Mbak Nindy atau Mas Faris, karena usia mereka sepantaran. Akan tetapi, ini hanya dugaanku saja. Mereka saling mengerutkan kening. Ketika aku menajamkan telinga, ternyata mereka sedang membicarakan sesuatu yang cukup serius. "Kayaknya metode kita belum tepat, deh, Yang. Bakal makan waktu lama, kurang efektif," kata si cewek. "Tapi data kita bakal less-error pakai metode ini, Yang," sahut cowoknya. "Waktu kita nggak banyak, loh, ya." "Kalau kita ganti-ganti metode terus gini malah makin lama, Yang." Ya Tuhan, mereka membicarakan penelitian di tengah antrean untuk salaman dengan mempelai. Di tengah pesta pernikahan, Saudara-saudara! Namun, suasana hatiku justru bertambah buruk karena dua orang di depanku ini. Aku jadi ingat Mas Faris. Dia itu tipe speak less yang hanya akan bicara banyak saat membahas soal bisnis dan karya tulis. Biasanya, aku jadi teman diskusinya, walaupun tidak bisa mengimbangi dengan cukup baik. Ah, jadi sedih, kan. "Re, kamu depanku, ah." Rere menurut. Sesuatu yang patut disyukuri, karena aku sedang tidak dalam mood untuk berdebat dengannya. Karena antrean yang masih cukup panjang—walaupun tidak sepanjang tadi, kini hanya tersisa tidak lebih dari tujuh orang di depan kami—aku mengamati suasana pesta untuk mengalihkan perhatian dari obrolan mbak-mas tadi. Konsep pestanya cukup simpel. Bukan standing party seperti pesta yang digelar kebanyakan orang, karena keluarga Mas Faris cukup menjaga adab makan—walaupun masih ada yang menyantap hidangan sambil berdiri, Rere misalnya. Meja-meja persegi ditata dengan empat kursi yang mengelilingi. Mengapit space kecil untuk pengantin dan keluarga menuju panggung. Warna putih mendominasi, dengan aksen baby pink dari bunga mawar dan cahaya redup khas bohlam dari sinar lampu geometri, yang menggantung rendah di beberapa sisi. Sederhana, tapi cukup sukses membuatku menahan napas saat pertama memasuki gedung ini. Bukan karena dekorasinya, tetapi karena aku tidak menyangka bahwa 28 Februari ke delapan belasku harus berlangsung seperti ini. Padahal biasanya hari ini adalah hari bebasku bersama Mas Faris. Aku lahir di tanggal 29 Februari. Namun, Mas Faris mendeklarasikan bahwa aku bisa berulang tahun setiap tahun, dengan menganggap bahwa tanggal 28 Februari merupakan hari kelahiranku yang lain. Dengan begitu, kami selalu menghabiskan tanggal 28 bersama. Melakukan apa pun yang aku mau sampai tiba pukul 23.59. Namun, tidak untuk tahun ini. "Oy, ngelamun mulu." Rere menarikku untuk menebas antrean di depan kami. Saat berada di depan Ibun—ibunya Mas Faris—beliau mendekapku. Tidak mengatakan apa-apa. Hanya memeluk. Saat berada di depan Mas Faris, jantungku mulai tidak mau berkompromi. Ia memompa cepat sekali, hingga membuatku menahan napas karena sesak. Dia tersenyum dan aku harus membalasnya meski pipi ini rasanya kaku sekali. Seperti patung semen yang tidak bisa menggerakkan tulang pipi. Aku tidak melakukan apa pun. Untuk bersuara atau bergerak saja, sangat sulit rasanya. Aku tidak lagi memikirkan riasan yang tadi menjadi kekhawatiran utama. Tidak lagi peduli jika Mas Faris menertawakan wajahku, seperti saat Rere memulasnya di hari wisuda SMA dan aku justru terus menutupinya dengan telapak tangan. Tidak ada yang kupikirkan. Otakku terlalu lelah untuk mencerna, meski sudah sejak seminggu belakangan menyiapkan semuanya. Meski tak ingin, aku tetap memilih datang ke pesta ini. Aku tidak mau menangguhkan ego dan melewatkan hari bahagia Mas Faris. Sebab dia sudah menemani banyak hari bahagiaku dan aku tidak seharusnya bersembunyi di hari paling bersejarahnya. Namun, kini sesal mengiringi, saat mataku mulai memanas. Dadaku sesak. Kaki pun seperti terpaku di tempatnya. Rere dengan sigap menarikku sebelum aku tambah linglung, kemudian menjatuhkan diri di atas panggung dan mempermalukan diri sendiri. Namun, karena inisiatif Rere itu, aku tidak sempat bersalaman dengan Mbak Nindy. Duh, rasanya tidak enak. "Re, aku belum salaman sama Mbak Nindy, nih. Gimana, dong?" "Gimana mbahnya sampean iku!" (Gimana nenekmu itu!) "Ih, Re. Serius! Lagian aku cengeng banget, sih." Kini kami sudah berada di dekat meja es buah. Entah Rere sengaja atau tidak ketika menarikku ke sisi ini. Sepertinya, sih, sengaja, agar dia bisa kembali mencomot es buah di sana. "Hai, Anak Muda! Itu hati lebih butuh perhatian dibanding tangan alusnya Mbak Nindy." "Aku nggak lagi bercanda, Re. Kalau Mbak Nindy mikir yang enggak-enggak gimana?" Aku masih mengkhawatirkan respons Mbak Nindy atas ketidaksopanan sikapku tadi. "Emang mikir enggak-enggak tuh gimana, Vy?" Aku tidak bisa menjawab. Ya, memangnya Mbak Nindy mau berpikir seperti apa? Dia kan sudah tahu bagaimana aku dan Mas Faris. Tidak mungkin dia berpikir bahwa kami ada apa-apa. Hal yang paling mungkin terlintas adalah aku yang menyimpan rasa sendirian. "Ya, nggak sopan aja, sih, kayaknya." "Udah nggak usah dipikirin. Nanti kan kamu bisa ngomong sama Mbak Nindy-nya." Rere lalu mengambil mangkuk bersih dan megisinya dengan es buah. Benar dugaanku. Dia menarikku bukan semata ingin menyelamatkanku dari hal memalukan lainnya. Namun, dia memang sudah tidak sabar menelan segarnya es buah. Dasar si pamrih satu ini. Mengabaikan kelakuan Rere dan perasaan tak keruan, aku merogoh sling bag ketika merasakan getar dari dalam sana. Klotak. Belum sempat mengecek sebab datangnya getar tadi, ponsel yang baru kukeluarkan dari dalam sling bag terlempar beberapa jengkal ke depan kakiku. "Eh, maaf, maaf, saya nggak sengaja." Aku hendak memungut handphone, tetapi didahului oleh gerakan seseorang yang sepertinya sudah menabrak punggungku tadi. "Maaf, ya." Ia berucap sekali lagi, sambil menyerahkan handphone-ku. "Iya nggak apa." Aku mengulas senyum ke arah pria yang rasanya tidak asing. Rambut bob di bawah telingga yang bervolume itu seperti pernah kulihat. Pria itu lalu memutus kontak mata kami. Ia beralih mengambil mangkuk dan mengisinya dengan es buah. Aku bergeser sedikit, karena es buahnya berada tepat di belakangku. Rere menatapku, kemudian berbisik. "Siapa, Vy?" "Mana aku tahu?" "Tadi kan ngobrol?" "Ngobrol apaan? Dia nabrak aku, terus minta maaf. Udah." "Ganteng tuh, Vy." Firasatku mulai tidak enak ketika Rere mengucapkan kalimat itu. Aduh, sepertinya aku harus pergi dari sini sebelum mukaku tercoreng oleh ulah kejinya. "Maaf, Mas. Sendirian aja?" Si Mas yang dipanggil Rere menoleh. Aku memundurkan badan dan menutup mata pasrah. Rere melongokkan kepalanya ke depanku, sebab aku menjadi pembatas antara dia dan Mas Bob. Aku melirik sedikit. Mas Bob menunjuk dirinya bingung. Lalu, Rere menganggukkan kepala dengan wajah sok manis tidak tahu malunya. "Wah, kok tahu? Di kening saya ada tulisan 'available'-nya, ya?" Ah, si Mas ini malah menanggapi Rere. Mau teleportasi ke segitiga bermuda saja rasanya. "Pas banget!" Rere berseru sambil tertawa kecil. "Wah, look when God guides your destiny, Vy." lanjutnya semringah. Apa coba maksudnya? "Re, nggak usah aneh-aneh, deh." Aku memperingatkannya. "Mas, mungkin sebagian orang mengira bahwa FTV hanyalah FTV. Tapi, FTV sejatinya diadaptasi dari kehidupan sehari-hari." "Ih, sejak kapan kamu riset soal ini, Re? Ngaco banget, deh." Aku memotong kalimatnya. "Masnya boleh banget nggak dengerin omongan dia, kok, Mas. Nggak apa, nikmati pestanya aja. Atau mau salaman sama Mbak Nindy sama Mas Faris. Nggak apa, kok, Mas. Nggak usah merasa nggak enak." Aku berkata kepada Mas Bob dengan ekspresi yang kuyakin sudah sepucat kertas, tidak sanggup menahan malu akibat perbuatan Rere. Cukup sudah bebanku hari ini. "Apaan, sih, Vy?" ucap Rere kesal. Padahal harusnya aku yang kesal di sini. Mengingat sudah pasti akulah yang akan dipermalukan olehnya. "Nggak apa. Saya juga nggak ada teman di sini." Mas Bob terkekeh ringan. "Noh, dengerin, noh." Ya Tuhan, selamatkan hamba dari kenistaan ini. "Lanjut, ya, Mas. Bisa jadi, loh, cinta pada pandangan pertama itu hadir. Kalau pun belum, bisa diatur sambil jalanlah, ya." Sialnya, si Mas ini justru terkekeh menanggapi perkataan Rere dan malah antusias menunggu kelanjutannya. "Jadi, mau coba dulu sama temen saya, nggak?" Ya Tuhan, Rere! Mau kukemanakan wajahku ini? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD