sebuah variabel: d u s t a

1715 Words
*** "Anggia Ivy Senandika." Suara berat dari dalam ruangan langsung disambar oleh suara keras yang timbul dari benturan pintu dan dinding. "Saya ... Pak." Aku mendorong pintu dengan keras. Mengabaikan wajah heran di dalam sana, susah payah kuatur napas yang nyaris putus-putus. Kakiku sudah lemas, wajah pun pasti pucat pasi, dan napas ini sudah tidak beraturan sama sekali. Aku berjongkok di ambang pintu. Tidak peduli dengan rasa malu yang mungkin akan menyergap beberapa menit ke depan. "Saudara Ivy? Ya Allah. Lain kali kabari saya saja kalau sekiranya akan telat. Tidak perlu memaksakan diri seperti ini." Bapak dosen yang baru kutemui tidak lebih dari tiga pertemuan ini, berjongkok di depanku. Sembari mencoba untuk berdiri, aku tersenyum canggung. Jantungku masih berdegup tidak keruan, seperti hendak keluar dari tempatnya. "Maaf, Pak." "Tidak apa-apa, Mbak. Sudah, duduk dulu." Aku mengambil tempat di barisan paling depan, karena memang hanya tiga kursi di bagian depan yang masih kosong. Tidak heran. Sudah tradisi wajib bagi mahasiswa Indonesia untuk menempati barisan belakang terlebih dahulu. "Minum dulu, ndak apa-apa. Bawa minum, ndak?" "Eh, iya, Pak. Bawa." Aku menuruti titah bapak dosen. Dari dalam tas, kukeluarkan botol tumbler biru. Tuhan memang Mahabaik. Dalam situasi seperti ini, yang harus kuhadapi adalah Pak Wira—dosen mata kuliah umum yang tidak semematikan dosen program studiku. Namun, aku jadi merasa tidak enak dengan beliau, pun dengan teman-teman yang terpaksa harus menjeda perkuliahan karena kehadiranku yang menginterupsi. Tidak berselang lama, perkuliahan kembali dilanjutkan. Aku segera mengeluarkan s*****a perangku dari ransel hitam beraksen biru muda yang aku bawa. Keribetanku pagi ini bermula sejak aku bangun tidur. Kepalaku pening dan suasana hatiku belum kunjung membaik. Semalam, aku menginap di indekos Rere. Kepada Mama, aku izin hendak mengerjakan tugas. Padahal hanya ingin mengantisipasi kalau-kalau mood-ku mulai berantakan. Biasanya, jika dalam kondisi itu, hal pertama yang aku hindari adalah makanan, yang kedua adalah tidur. Aku tidak mau Mama mencemaskanku. Jadi, memilih menyembunyikan dari Mama adalah satu-satunya pilihan. Aku bangun waktu subuh dan langsung mandi tanpa embel-embel tidur lagi. Meski pusing, aku juga masih menyepatkan lari pagi, walaupun tidak lebih dari lima belas menit. Jika merasa pusing, aku selalu memaksakan diri untuk bergerak. Entah senam, lari-lari kecil, atau sepedaan santai. Karena setelahnya, aku selalu merasa lebih baik. Hingga ketika hendak berangkat ke kampus, satu hal menerobos ke ingatan. Aku mengecek isi tas, membuka tempat pensil untuk mencari flashdisk berisi dua file yang harus disetorkan ke sekretariat UKMP—Unit Kegiatan Mahasiswa bidang Penelitian—dalam bentuk hardfile. Sialnya, flashdisk-ku tertinggal di tempat pensil yang lain. Aku tidak mau merepotkan Mama yang harus mengurus florist atau Papa yang harus pergi ke kantor. Maka, tidak peduli meski sudah pukul setengah delapan, sedang kelas pagiku dimulai jam delapan, aku langsung menancap gas menuju rumah—yang biasanya memakan waktu sekurang-kurangnya dua puluh menit, jika ditempuh dengan menaiki sepeda motor. Toh, dosenku sudah bilang bahwa beliau akan telat sekitar lima belas menit. Jadi, total waktu yang kupunya adalah 45 menit. Cukup untuk pulang-pergi. Hari ini aku hanya punya waktu masing-masing dua puluh menit di sela-sela pergantian jam kuliah. Sudah jelas tidak memungkinkan untuk pulang. Sedang aku harus mengumpulkan file itu pukul empat nanti, tepat lima belas menit seusai jam mata kuliah terakhir. Sebagai calon anggota baru UKMP yang belum pasti nasibnya, aku tidak mau mencoreng nama baik karena kecerobohanku sendiri. Alhasil, beginilah hariku bermula. Tiba-tiba sebuah suara tawa terdengar. Telingaku yang belum sepenuhnya fokus dengan pembicaraan Pak Wira, berdenging seketika. Aku bahkan sedikit terlonjak kaget mendengar tawa yang menyembur tiba-tiba itu. Aku menoleh ke belakang, mendapati mahasiswa yang belum kuketahui namanya sedang membuka mulutnya lebar sekali. Melihat teman-teman yang lain juga tertawa, sepertinya aku memang melewatkan suatu hal yang cukup lucu. Namun, yang lain tertawa dengan wajar dan dalam batas sopan. Sementara lelaki yang tepat di belakangku itu seperti tidak mencoba mengontrol suara tawanya. Aku mencoba memfokuskan diri ke depan, seiring suasana kelas yang beranjak kondusif. Namun, kepalaku yang kembali pusing enggan diajak berkompromi. Aku memijat kepalaku untuk menyamarkan sakit di sana. Tidak berselang lama, aku refleks memegang telinga ketika gelombang suara yang lebih keras menembus pendengaranku. Seperti ada suara ngiiing yang mampir. Aku menghela napas. Suara tawa itu lagi. Kepalaku tambah tidak keruan rasanya. Lalu aku ingat, sepertinya Rere memasukkan roll on aromaterapi ke dalam tasku. Aku mengambilnya kemudian izin meninggalkan ruangan. Tidak sopan kalau aku mengoleskan minyak di depan Pak Wira. Aku menuju kamar mandi, sekaligus untuk mengambil air wudu. Wajahku memang terlihat sedikit pucat. Begitulah pantulan di cermin yang aku lihat. Aku menghela napas, lalu mengulas senyum cukup lama. Oke. Aku tidak boleh memasang wajah yang tidak sedap dipandang, apalagi di depan orang-orang. Setelah menuntaskan urusan, aku kembali ke kelas, sedang Pak Wira tidak lagi berada di dalam sana. Aku melenggang masuk. Belum genap mendudukkan diri di atas kursi, seorang lelaki dari arah belakang menghampiriku dengan tas yang tergantung di bahunya. "Boleh tukeran? Saya duduk di belakang dan kebetulan nggak bawa kacamata," kata lelaki itu yang berhasil mengurungkan niatku untuk duduk. Aku terdiam, lalu menengok ke sisi kanan di mana masih ada dua meja kosong di sana. Bukankah dia bisa duduk di sana? Pria itu masih menunggu jawabanku. Okelah. Hitung-hitung bisa menghindari gelegar tawa di belakangku yang kemungkinan bisa menyembur lagi. Di meja barisan kedua dari belakang, aku membuka buku catatan dan softfile materi di ponsel, setelah mendapat jawaban dari mahasiswi di sebelahku bahwa Pak Wira izin pergi ke ruang dosen. Namun, aku kembali menegakkan badan. Aku memperhatikan punggung mas-mas yang meminta tukar tempat duduk tadi. Rambut di bawah telinganya seolah tidak asing. Aku menyipitkan mata untuk mengingat-ingat. Wajahnya tadi juga tidak begitu asing. Wait. Itu si Mas Bob bukan, sih? Hah? Iya! Mau ditaruh mana mukaku? *** Pertanyaan memalukan yang dilontarkan Rere di resepsi Mas Faris kemarin, tidak diabaikan begitu saja oleh Mas Bob. Kalian tahu? Ternyata si Mas Bob sama kurang warasnya dengan Rere. "Asalkan Mbaknya nggak keberatan aja," kata mas-mas itu santai. Aku sungguhan ingin ikut Neil Amstrong ke bulan saja kemarin, saat kedua orang di depanku tersenyum santai tanpa memedulikan wajah tidak enakku. Aku menarik paksa tangan Rere. Awalnya, aku memutuskan untuk meninggalkan gedung saja. Namun, urung ketika teringat pesan Mama. Aku diminta untuk menyampaikan permintaan maafnya kepada Ibun secara langsung, sebab Mama tidak bisa menghadiri resepsi Mas Faris. Sebelum susah payah mencarinya, Ibun sudah lebih dulu menghampirku. Padahal, pelaminan masih ramai dikerumuni tamu yang hendak bersalaman. "Vy," katanya menyapaku. "Eh, Ibun. Baru mau Ivy cari." Ibun merangkulku untuk beranjak ke ruang transit gedung. Sementara Rere meminta izin untuk menemui teman magang BEM-nya yang ternyata juga mengenal Mas Faris. "Bun, Mama nggak bisa hadir. Maaf, ya. Salam katanya," kataku setelah duduk di sebuah kursi di depan kaca rias, berhadapan dengan Ibun. "Nggak apa-apa, yang penting doanya sampai." Ibun membalas dengan ukiran senyum di wajah, lalu mengulurkan tangan untuk menyentuh sisi wajahku. "Kamu cantik banget, Vy." "Ish, Ibun. Ini aku nggak PD sebenernya. Rere yang maksa, nih." Refleks, aku menutup wajah dengan sebelah tangan, sementara yang sebelah lagi meraih tisu basah di dalam tas. Seperti yang dikatakan Rere, aku memang jarang mengaplikasikan kosmetik di wajahku. Saat berangkat kuliah, aku hanya memakai sunblock dan pelembab, mengingat teriknya kota yang kebangetan. Juga lip balm agar bibirku tidak rusak. Sudah. Hanya itu. Maka, meski kata Rere make up-ku sangat natural, tetap aneh rasanya. "Yo wis yo wis (ya sudah, ya sudah). Nggak usah dihapus juga." Aku tidak mendengarkan perkataan Ibun. Urusan Rere yang pasti akan mengamuk, biar kutangani nanti. "Nanti kalau sudah punya suami, jangan sungkan dandan di depannya, Nak. Dapat pahala, loh, malah." Wajahku kontan memerah. Namun, hatiku terasa ngilu. "Masih jauh, Ibuuun," rengekku manja. Aku memang sering bersikap seperti ini di depan Ibun. Rasanya ... menyenangkan. Ibun terkekeh lalu menatapku lama. Aku jadi salah tingkah sendiri. "Eh, iya. Ivy minta maaf, ya, Bun, udah nolak permintaan Ibun buat jadi bridesmaid. Takutnya Mbak Nindy pengin ajak temen-temennya. Kan Ivy nggak enak." Aku teringat akan hal itu. Egois, memang. Hanya karena takut terluka, aku mengabaikan permintaan Ibun yang satu ini. "Ibun yang minta maaf." Aku mengernyit. Apa yang perlu dimaafkan? "Maaf, Vy." Ibun memelukku. Aku membalasnya meski sedikit bingung, untuk kemudian mendapati wanita paruh baya itu mengucapkan maaf berulang-ulang dengan suara bergetar. Seperti vynil tua yang hampir rusak dan mengeluarkan suara berulang-ulang tanpa mau dihentikan. "Ivy!" Aku tergagap mendengar teriakan tidak berperikemanusiaan itu. Spontan, aku mengalihkan pandangan dari buku kalkulus yang terbuka, yang sejak tadi hanya menjadi pajangan saja. "Ish, Re. Ngagetin," gerutuku. "Lagian ngelamun aja, dah." Aku memang sedang menunggu Rere untuk berangkat bersama ke fakultas kami, Fakultas MIPA. Pagi ini aku ada kelas mata kuliah umum yang memang tidak selalu berlangsung di fakultas asal mahasiswa saja. Seperti tadi, aku harus melancong ke Fakultas Teknik untuk mengikuti perkuliahan. "Kelasmu jam berapa, deh?" Mendengar pertanyaan Rere, aku refleks mengamati jam di pergelangan tangan. "Lima belas menit lagi. Yuk, ah, langsung." Kos Rere sangat dekat dari Fakultas Teknik, tetapi jauh dari fakultasnya sendiri. Sepekan ke belakang dan sepekan ke depan, aku bertugas menjemput atau menunggu Rere di tempat yang dekat dengan kosnya—jika jadwalku memungkinkan, karena bocah ini sedang tidak membawa kendaraan. Mas Risky—kakak Rere—sedang menginvasi motor Rere selama dua pekan dengan alasan kegiatan kantornya cukup hectic, dan membawa mobil akan menghambat kinerjanya. Tidak lebih dari lima menit, kami sudah sampai. Parkiran FMIPA penuh sesak. Kami memarkirkan motor di bawah pohon, dekat dengan parkiran khusus dosen. Ketika aku berbelok ke koridor gedung Matematika, di ujung sana, aku menangkap tubuh tegap Mas Faris tengah berdiri. Tubuh jangkungnya terlihat amat jauh dari jangkauanku, meskipun tidak sampai tiga puluh meter jarak yang memisahkan kami. Ah, ternyata benar. Seseorang terasa amat jauh bukan karena bermil-mil jarak yang terbentang, tetapi karena kita tahu bahwa dunia yang kita pijak tidak bisa bersatu dengan dunianya. Aku refleks menghentikan langkah, untuk kemudian kembali melanjutkannya seolah sama sekali tidak terusik oleh kehadiran pria itu. Padahal, seluruh tubuhku tiba-tiba seperti dikungkung kekuatan tak kasat mata, hingga rasanya tak ada oksigen yang mampu menerobos dinding gaibnya. "Vy," panggil Rere di sebelahku. Aku hanya bergumam sambil menoleh ke arah Rere. "Apa pun yang terjadi, SCTV masih untuk semua, walaupun hatinya Mas Faris hanya untuk Mbak Nindy saja." Rere mengepalkan tangannya hiperbois di sebelahku. Menguap sudah harapanku bahwa Rere akan melontarkan sederet kalimat penenang ataupun saran, tentang bagaimana aku harus bersikap. Salahku karena lagi-lagi melupakan keabsurdan sosok di sampingku ini. "Bodo, dah," jawabku ketus. "Vy!" Rere menahan tanganku ketika aku mengentakkan kaki dengan keras, berniat melanjutkan langkah. Rere menatapku dengan sungguh-sungguh, seperti hendak menyampaikan satu hal yang penting. Aku memusatkan atensi sepenuhnya kepada sahabatku ini. "Tahu nggak?" Aku mengernyit menanggapi pertanyaannya. Campuran bingung dan penasaran dengan kelanjutan kalimat yang akan lolos dari bibirnya. "Tiga loly milkita setara dengan 120 kalori, loh." Rere terbahak mendapati wajah kesal bukan main yang terpoles di wajahku. "Re, nggak lucu, ah." Dengan kesal, aku mengentakkan kaki, berniat meninggalkan Rere. Namun, belum genap langkah pertamaku berpijak, ia kembali menarik lenganku. "Oke. Kali ini aku serius." Aku hendak memutar bola mata tidak peduli. Namun, entakkan tangan Rere mengurungkan niatku. "Dengerin dulu. Beneren ini." Kini, aku sudah menghadap Rere sepenuhnya. Mungkin Rere benar-benar serius kali ini, pikirku. "Kamu boleh, kok. Boleh banget buat jawab omongan Mas Faris sesingkat mungkin kalau dia emang mau ajak ngomong kamu, atau bahkan pura-pura ngak lihat kalau ada dia di sana pun nggak masalah." Aku tahu, Rere sungguh-sungguh ketika mengatakan hal itu. "Nggak enak, ah, Re." "Nggak enak apa, sih, Vy? Kamu sesekali jangan mikirin perasaan orang mulu, dong. Coba bikin hati kamu baik-baik aja, jangan cuma hati orang lain yang kamu gituin." Raut gemas tidak mampu menyamarkan rasa peduli yang tercermin melalui kata-kata Rere. Aku menghela napas. "Nggak apa, Re. Aku baik-baik aja, kok. Lagian aneh juga kalau kemarin-kemarin aku masih bersikap biasa aja, sementara hari ini sikapku langsung berubah ke Mas Faris. Kalau gitu, aku malah secara nggak langsung negasin ke Mas Faris kalau aku nggak baik-baik aja karena pernikahannya. Bukannya itu malah bikin aku semakin miserable di mata dia?" Aku tahu Rere mengkhawatirkanku. Namun, aku juga tidak boleh mengedepankan perasaan yang mungkin akan kusesali di kemudian hari. Aku ingin semuanya tetap baik-baik saja. Termasuk hubunganku dengan Mas Faris. Rere menghela napas. "Tapi janji, ya, nggak bakal bikin mood kamu buruk seharian?" Setelah meyakinkan Rere atas pertanyaannya itu, kami kembali melangkah. Menuju tangga yang berada sekitar lima langkah dari tempat Mas Faris berdiri saat ini. "Hai, Mas," sapaku saat jarak kami tinggal beberapa jengkal. "Hai, Vy, Re." "Ada urusan di MIPA, Mas?" Seharusnya, Mas Faris mendekam di gedung pascasarjana teknik sana. Jadi, keberadaannya di gedung fakultas-maha-kaku seantero kampus ini, pasti karena suatu alasan. "Oh, enggak. Cuma mau mastiin jam kuliah kamu." Aku mengernyit, lalu melirik Rere dan langsung dihadiahi pelototan tajamnya. Mungkin jika diartikan dengan kata-kata, kurang lebih begini maknanya: "Inget, dia suami orang. Nggak usah kege-eran." "Maksudnya?" Aku memilih memperjelas maksud Mas Faris. "Nanti jadwal ngumpulin abstrak UKMP, kan?" Aku mengangguk, sedikit ragu karena belum paham arah pembicaraannya. "Biar aku bawa aja, Vy. Jaga-jaga kalau jam kamu molor kayak waktu itu." Iya. Di pertemuan pertama pekan lalu, aku terlambat hampir tiga puluh menit dan tidak sempat mengabari. Hal itu disebabkan bapak dosen yang murah ilmu di depan kelas masih sibuk berbagi pengetahuan. Bahkan tidak peduli bahwa jatah mengajarnya sudah habis. "Oh. Boleh, deh, Mas. Tapi belum aku print, loh." Mas Faris adalah senior di UKMP. Saat menjadi mahasiswa S1 dulu, dia pernah menjabat sebagai ketua. Kini, meski tidak lagi secara formal menjadi anggota kepengurusan, Mas Faris tetap mendampingi. "Udah clear tapi, kan?" Mendapati anggukanku, Mas Faris melanjutkan, "Biar aku yang print nanti." Aku tahu, Mas Faris tidak bermaksud apa pun. Sudah menjadi kebiasaannya untuk bersikap seperti ini. Namun, bodohnya perasaan senang masih saja mampir tanpa permisi, diikuti kelinci-kelinci di dalam perut yang membuatku mulas. "Oke, deh. Makasih, Mas." Mas Faris mengangguk. "Aku ke kelas, ya. Lima menit lagi harus udah ada di kelas, nih, aku. Kalau nggak mau dapet sindiran sampe azan zuhur nanti," gurauku. "Oke, Vy. Semangat belajarnya," sambutnya dengan senyum yang mengembang. Duh, jantungku. Mas Faris ini tidak sadar pesona sekali. "Oh iya, Vy." Baru beberapa langkah menjauh, aku kembali mendengar suara Mas Faris. Disusul tubuhnya yang mendekat ke arahku dan Rere. "Nanti mampir ke rumah, yuk, habis kumpul. Ibun sama Nindy mau bikin brownies katanya. Souvenir kamu sama Tante juga belum diambil." "Nanti sore Ivy udah ada janji." Rere yang dari tadi diam, kini lebih dulu menyambar tanpa keramahan di suaranya. Aku hanya diam. Kepalang tanggung. Toh, aku memang bingung harus menolak dengan cara bagaimana. "Iya, kan, Vy? Kamu bilang ke aku semalem." Rere melemparkan tatapannya ke arahku. Memaksaku untuk mengiyakannya. "Eh? Iya, Mas. Udah ada janji. Salam aja buat Ibun sama Mbak Nindy." Aku bersyukur saat Mas Faris mengangguk dan tidak menanyakan detail rencanaku seperti biasa. Masalahnya sekarang, bagaimana aku harus menghindari Mas Faris seusai kumpul UKMP nanti. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD