Ep.2 - Ganteng Tapi Aneh

1198 Words
Suatu hari seorang anak laki-laki yang sangat tampan menghampiriku. Namanya Ferdi Abdilla dari kelas IX-7. Secara fisik memang kualitas toplah. Badannya tegap, tinggi, rambut tertata rapi, dan harum parfum yang sangat cocok untuknya. Karena itu dia lumayan dikagumi kaum hawa. Tapi aku nggak tau lebih jauh tentang dia, yang paling sering kudengar hanyalah dia yang selalu bergonta-ganti pacar. Entah angin apa yang meniupnya hingga ia menyatakan cinta padaku, disaksikan banyak siswa dari seluruh angkatan yang berada di kantin. Kami benar-benar jadi pusat perhatian. Anak-anak yang jalan jadi berhenti untuk melihat kami, yang lagi jajan, lagi makan bahkan ibu kantin ikut nontonin juga. Aku malu sekali. Aku heran apa dia nggak tau kalau aku anaknya pak Indra yang galak. Selama ini tak pernah ada orang yang berani menggangguku apalagi sampai menyatakan cinta seperti ini. “Laura... maukah kamu jadi pacarku?” dia berlutut sambil menunjukkan bunga mawar merah untukku. Jantungku berdegup kencang karena aku belum pernah berada dalam situasi seperti ini sebelumnya. Aku sangat.. sangat.. sangat.. gugup. Aku terdiam sejenak. Aku mencoba menguasai diriku agar tetap tenang. “Berdiri Fer...” kupegang tangannya dan memintanya berdiri. Aku tidak berniat menerimanya tapi tidak ingin merendahkannya. “Kita masih terlalu kecil untuk cinta-cintaan seperti ini. Uang jajan juga masih minta dari orangtua. Maaf fer... aku tidak ada niat pacaran selama bersekolah ini, aku ingin fokus belajar. Maaf ya..” aku tau penolakan ini pasti sangat memalukan untuknya, tapi aku juga tidak tau harus bagaimana. Dengan tidak enak hati aku melangkah meninggalkannya di tengah kerumunan orang yang terasa semakin padat. Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar suara riuh. Aku tidak tau ada keributan apa ditempat tadi, tapi terdengar seperti sorakan dan tawa orang ramai. Semakin kupercepat langkah kaki agar segera tiba dikelas. Aku gugup sekali, pikiranku berkecamuk. Membayangkan wajah kecewa Ferdi tadi, aku merasa iba. Memang paling lemah hatiku bila melihat wajah sedih seseorang, apalagi kesedihan itu disebabkan oleh diriku sendiri. Namun seketika rasa takut terlintas dibenakku, bagaimana kalau ayah atau guru lain mengetahui hal ini, apa yang akan kukatakan. “Gilak kamu ra? Bisa-bisanya kamu nolak cowok super keren dan tajir seperti dia? “ Mira mengitariku sambil terus bertingkah norak seolah-olah temannya sangat bodoh karena menolak seorang pangeran. Mira ini sahabatku dari TK. Rumah kami juga tidak jauh, paling cuma 5 menit kerumahnya. “Iya tapi pacarnya banyak kan. Lagian aneh banget, sekelas tidak, kenal juga tidak, tiba-tiba ngajak pacaran. Maksudnya apaan coba?”. “Kamu yang aneh Laura. Santai aja kali, kamu kan belum pernah pacaran. Emang kamu nggak pengen coba?”. “Karena belum pernah itu makanya aku hati-hati Mir. Aku yakin dia hanya ingin mempermainkanku, dan aku nggak mau”. “Ya ampun ra, gak usah kejauhan kali mikirnya. Nih ya, Kalau misalnya dia “nembak” aku, udah pasti aku terima. Secara, dia ganteng banget ra”. "Itu sih kamu Mir, bukan aku. Kalau aku mau pacaran, aku akan pilih orang yang lebih baik dari dia. Yang nggak cuma tau mainin hati cewek doang, lagian nanti-nantilah itu. Ih.. udah ah. Aku malas bahas ini terus" moodku sudah mulai memburuk. (((Bel sekolah berbunyi))) “Dasar bego..” mira mengatai aku seraya mendorong bahuku lalu beranjak meninggalkan kelas. “Lu yang bego..” kulemparkan penghapus kecil yang kupegang hingga mengenai punggungnya. “LAURA BEGOOO...” teriaknya melemparkan balik penghapusku tadi, secara refleks aku menghindar agar tidak terkena lemparan baliknya. Lalu dia berlari menuju kelasnya. "Iiiihh, nyebelin banget sih tuh anak. Bukannya mendukung malah menyudutkan" rutukku sebal. ****** Didalam kelas hampir semua guru-guru yang masuk kekelasku menanyaiku. Memastikan apakah gosip yang tersebar itu benar adanya. Aku hanya tersenyum membenarkan tanpa mengatakan sepatah katapun. Aku takut salah bicara sehingga mengakibatkan Ferdi semakin terlihat menyedihkan. Aku mendengar sebagian orang menyebut Ferdi hanya bermodal tampang. Menurutku sekalipun itu benar, rasanya tidak pantas kita mengatai orang seperti itu karena kita pun bukan makhluk yang sempurna. Namun inilah sifat manusia yang terlalu mudah mengaca oranglain. "Laura... kamu nggak ke kantin..?" tanya Mira yang kembali kekelasku saat bel istirahat kedua. "Enggak Mir.. aku mau disini aja.." balasku. "Kenapa.. takut ketemu Ferdi ya..?" tanyanya lagi. "Udah sih nggak usah bawa-bawa namanya terus.. aku jadi makin nggak enak tau.. mana tadi guru pada nanyain tentang dia terus.." protesku. "Serius Ra, terus kamu jawab apa..?" tanyanya antusias. "Ya aku nggak bilang apa-apa lah Mir.. semua juga udah pada tau. Untuk apa aku jelasin lagi.." jawabku. Kami lalu terdiam dan kalut dalam pikiran masing-masing. Sepulang sekolah aku dan Mira mengikuti kegitan ekstrakurikuler tari. Mira sebenarnya menyukai tari modern, namun karena tidak ada eskul dance di SMP ku ini, maka ia mengikuti eskul tari tradisional bersamaku agar bakatnya tetap terasah. Lagi-lagi teman-teman tari penasaran dengan cerita dikantin tadi dan menanyakannya padaku. "Ra, gimana sih dikantin tadi? Kami penasaran? Ferdi beneran nembak kamu Ra?" tanya mereka tidak sabar. Aku lagi-lagi tersenyum tanpa menjawab. "Kasi tau dong Ra..?" pinta mereka. "Hmm,, yang kalian dengar bagaimana..? kalian aja bisa tau tanpa aku beritahu, berarti kalian sudah mendengar kabar dari yang lain kan?" jawabku ringan. "Iya sih.. tapikan lebih enak dengar dari kamu langsung Ra" meraka tidak menyerah. "Hmm yaudah oke. Kalian mau nanya apa..?" akhirnya aku menyerah. "Kamu beneran nggak suka dia Ra..?"tanya mereka. "Ya nggak lah.. kenal saja tidak. Aku tau dia, tapi ya sekedar tau aja. Aku aja kaget dia seperti itu tadi.." balasku. Setelah mendapat jawaban akhirnya kami mulai latihan hingga lebih kurang satu jam. Setelah itu pulang ke rumah masing-masing. "Haii Lauuraa.. sombong banget sih kamu sama mas Arif..!" ucap mas Arif abangnya Mira yang sedang menjemput Mira disekolah. "Ehh mas Arif.. enggak lah Laura nggak pernah sombong kok sama mas Arif.. Miranya belum keluar mas, mungkin dalam 5-10 menit lagi, soalnya dia piket hari ini.." aku menjelaskan. "Ohh.. nggak apa kok Ra. Laura mau pulang ya..?" tanyanya padaku. "Iya.." balasku singkat sembari mengangguk. "Temani mas bentar ya sampai Mira keluar.. Laura maukan?" pintanya. "Hmm.. yaudah deh mas, Laura temanin sampai Mira keluar ya.." aku mengiyakan, lalu kami duduk dibangku taman sekolah. Kami terdiam karena sama-sama canggung. Akhirnya aku memberanikan diri membuka percakapan untuk mencairkan suasana. "Rencana mas Arif kedepannya gimana?" tanyaku. "Nikah sama kamu.." balasnya menggodaku membuatku sedikit kesal. "Maksud Laura, kuliah dimana dan ambil jurusan apa..?" aku merincikan. "Kamu sendiri ingin kuliah dimana dan ambil jurusan apa..? Mas ikutin kamu deh biar kita bisa dekat.." balasnya dan aku menjadi lebih kesal. "Mas arif jangan gitu dong.. Laura kan ngomongnya serius. Mas Arif jangan godain Laura terus, Laura nggak suka. Laura tau mas Arif sudah punya pacar kan..? Terus kenapa sih mas Arif masih kaya' gitu sama Laura. Perihal Mira nggak usah dianggap serius mas, dia hanya bercanda.. Laura mau mas Arif berhenti godain Laura ya.." tuturku halus agar tidak terlalu menyakiti hatinya. "Laura marah karena mas Arif sudah punya pacar..?" tanyanya. "Mas Arif jangan salah paham. Laura bukan marah karena mas Arif sudah punya pacar. Laura cuma nggak suka mas Arif godain Laura terus seperti itu. Itu saja.. bisa kan?" balasku. "Maafin mas ya Ra.. mas bikin kamu risih. Mas nggak punya niat apa-apa kok Ra.. beneran.. jangan marah sama mas ya Ra..?" pintanya lagi. "Hahaha.. iya mas, Laura nggak marah kok.." aku tertawa melihatnya yang begitu merasa bersalah, lalu Mira datang dan kami mengakhiri percakapan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD