Ep. 3 - Dendam

1120 Words
POV Ferdi “Heh fer... kamu bilang kamu gampang dapetin cewek. Tuh coba dapetin cewek yang itu dengan wajah gantengmu”. Riko menunjuk gadis kucir satu yang baru saja tiba dikantin. “Widih... standarnya ketinggian kalo buat si kunyuk ini. Pasti ditolaklah, secara dia cantik, pinter, gak ada minusnya” Adi sengaja meremehkan. Sebenarnya aku nggak yakin bisa dapetin dia dengan gampang, tapi gengsiku terlalu tinggi untuk menyerah di depan dua kunyuk ini. “hahah.. cewek cupu kaya’ gitu aja gampanglah. Kalian mau ngasi apa kalau aku berhasil?” kataku menantang balik. “Kita traktir makan dimana aja seminggu full, gimana oke nggak Di? “ jawab Riko. “Yup bebas dimana aja, mau tiga kali sehari pokoknya seminggu full kita bayarin” Adi menimpali. “Oke.. deal” tanpa berpikir panjang aku langsung mengiyakan tantangan mereka. Laura memang gadis yang menarik. Sebenarnya aku sudah cukup lama memperhatikannya. Berawal dari masalah kenakalan remaja yang dilakukan Oki dan teman-temannya dulu, nama Laura disebut-sebut sebagai pelapor. Semakin lama namanya semakin sering terdengar di toa sekolah. Bukan karena bermasalah, tapi karena prestasi. Dia selalu ditampilkan dalam ajang uji bakat setiap hari sabtu. Sekolahku ini punya agenda-agenda khusus untuk mencari dan menampilkan bakat-bakat siswanya. Seperti hari kamis, hari berbahasa inggris. Harusnya 3 kelas yang telah ditunjuk menurunkan perwakilannya untuk speech didepan. Durasinya nggak lama, cuma 3-5 menit. Tapi tidak ada yang berani, hanya Laura lah yang berani maju ke podium. Agenda itu tidak berjalan dengan semestinya dan akhirnya dihapus. Digantilah dengan uji bakat dihari sabtu. Agenda ini bisa dibilang terlaksanakan dengan baik. Laura lagi-lagi ditampilkan. Sementara aku hanya menjadi penonton yang budiman. Aku tidak punya keinginan mengambil bagian apapun, tak punya motivasi, dan tidak ada semangat sepertinya. Aku yakin banyak siswa laki-laki mengaguminya atau bahkan lebih dari itu. Tapi bagiku dia hanya cewek cupu dan manja. Kurapikan rambut dan bajuku, dengan pede aku berjalan kearahnya. Tidak lupa membawa bunga yang telah mereka siapkan sebagai pendukung aksiku. Aku berhenti tepat didepannya dan mengeluarkan senyum mautku. Lalu mengambil posisi berlutut seperti di film-film. “Laura...maukah kamu jadi pacarku?” saat menatap mata sendunya tiba-tiba aku merasa gugup. Ternyata dia sangat cantik. Wajahnya mulus, bibir tipis berwarna pink, dan anak rambut ikal disisi kanan dan kiri. Aku terpesona kecantikan gadis culun ini. “Berdiri Fer...” suara halusnya membuyarkan lamunanku. Aku tidak melihat ekspresi gugup di wajahnya. Tapi saat tangannya menyentuh lenganku, sensasi dingin menjalar ke tubuhku. “Gilak ni cewek.. dingin banget tangannya, mana basah dan gemetar lagi. Haha.. pasti dia belum pernah pacaran dan nggak pernah pegangan tangan”. batinku menahan tawa dan entah kenapa aku merasa senang. “Kita masih terlalu kecil untuk cinta-cintaan seperti ini Fer. Uang jajan juga masih minta dari orangtua” seketika aku terdiam. Rasa senangku berubah menjadi sedih. Hatiku sakit sekali mendengar perkataannya. “Maaf fer... aku tidak ada niat pacaran selama bersekolah ini, aku ingin fokus belajar. Maaf ya..” ungkapnya lalu pergi meninggalkanku. Lidahku terasa kelu. Otakku tidak dapat berpikir jernih. Aku sangat malu, aku sakit hati, aku emosi. “Cewek munafik. Fokus belajar? Cuihh.. Sok bijak, sok baik.. najis. Sombong, angkuh, sok cantik. Mentang bapaknya guru, dia fikir bisa seenaknya denganku. Awas aja. Cewek sombong sialan, aku akan membalasmu” batinku menggerutu. Hancur hatiku. Harga diriku sangat rendah dimatanya. Aku nggak pernah ditolak cewek manapun apalagi dengan sangat memalukan seperti ini. “hahahahahahaha... rasain lu...” beginilah yang kudengar saat ini. Semua menertawakanku. Lagi-lagi harga diriku terluka. Aku menyimpan dendam padanya. “ANGGITA LAURA SAKTI.. Keangkuhanmu, kesombonganmu semua akan kuhancurkan!”. Aku tidak tahan berlama-lama lagi disini. Aku berusaha secepat mungkin menghindar dari keramaian. Aku berjalan ke gerbang belakang sekolah meski masih ditutup aku tak peduli, kupanjat pagar dan langsung mengambil motor di parkiran luar. Ku melaju sekencang-kencangnya dan berhenti di depan gedung latihan ku. “Cewek sialan, sok cantik, belagu, munafik...” segala bentuk makian yang terpendam menambah tenagaku untuk menumbuki samsak secara brutal. Kubayangkan wajah polos nan munafik gadis itu, ingin rasanya kutampari mulut lancip yang telah melukai harga diriku. “Kalau bukan perempuan, sudah ku bogem mukanya sampai rata” umpatku lagi. Entah sudah berapa lama aku meluapkan emosi. Aku merasa tenagaku mulai habis, tanganku memar dan sakit karena tidak memakai handwrap. Riko dan Adi pun telah berada dibelakangku, mereka mengikuti ku sampai kesini. “Sudah tenang?” tanya Adi menepuk pundakku. “hmm..” hanya itu yang mampu ku ucapkan karena sejujurnya aku masih mendendam. Kami terdiam. Aku pun nggak mood membahasnya. Akhirnya kami pergi ke warkop pak ujang, makan dan menenangkan pikiran. “Dia terlalu sombong” Adi memulai pembicaraan. “Karena dia cantik, pintar, dia memandang rendah oranglain” sambung Riko. “Dia harus membayar perbuatannya” ucapku tegas. “Iya dia memang harus diberi pelajaran” Riko dan Adi serentak. Selesai makan kami kembali kesekolah, jelas saja kelas kami sudah sepi karena memang sudah pulang sekolah. Saat berjalan di koridor sekolah, dikejauhan aku melihat Laura duduk bersama seorang lelaki berseragam SMA, panas di hatiku kembali membara mengingat perkataannya yang bilang ingin fokus belajar. "Kurangajar nih cewek.. dia nolak aku karena dia sudah punya pacar rupanya. Tapi kenapa bahasanya lain? Munafik banget. Biar kelihatan baik makanya dia menggunakan alasan seperti itu. Lihat aja kamu ya Laura, aku pasti akan balas..!" gerutuku. Aku mengambil gambar mereka menggunakan handphone, aku nggak tau akan gunakan untuk apa yang jelas ku foto saja. Hari berganti, kebencianku pada Laura semakin besar. Peristiwa itu dengan cepat sampai ke telinga para guru, dan itu membuatku semakin terpojok. Disaat satu sekolah menertawakan ku baik secara terang-terangan ataupun tidak, beberapa guru pun tak jarang menyindir saat masuk mengajar dikelasku. Entah apa yang dikatakan Laura pada guru-guru hingga mereka bereaksi seperti itu padaku. Guru dan yang lainnya membanding-bandingkan aku dengan Laura, menjulukiku dengan berbagai macam nama aneh. Meski hanya menyisakan 2 bulan lagi sebelum UN dilaksanakan, waktu yang sebentar itu terasa sangat lama buatku. Aku muak, aku ingin segera angkat kaki dari sekolah ini. Alhasil, aku sering cabut pada mapel tertentu yang dimana guru mapel tersebut selalu mengintimidasiku karena hal itu. Aku sudah tidak peduli apa pendapat para guru tentangku, yang jelas aku ingin keluar dari sekolah ini. Aku tidak punya siapapun yang bisa memberikan semangat untukku. Orangtua yang super sibuk mencari kekayaan sampai melupakan anaknya. Hanya oma yang peduli denganku, namun aku tetap tidak bisa menceritakan semua kesedihanku karena takut oma jatuh sakit karena mengkhawatirkanku. Hingga pada akhirnya aku mencari pelampiasan agar segala bebanku terasa lebih ringan. Aku mulai minum dan urakan, namun hanya diluaran. Kalau didepan oma aku akan tetap menjadi Ferdi yang baik karena aku sangat menyayangi oma dan oma satu-satunya orang yang sangat menyayangiku. Aku menyalahkan Laura atas semua perubahan sikapku dan segala masalah berat yang muncul dikehidupanku. Sampai kapanpun aku akan terus membencinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD