Chapter 10

1342 Words
Esoknya, aku kembali mencoba mengirim WA pada Firda. Bukan untuk minta servis sih, cuma ingin tahu kabarnya saja, karena sudah beberapa hari dia tidak kumpul. Tapi ternyata dia tidak membalas. Kekhawatiranku semakin memuncak sehingga akhirnya aku putuskan untuk menelponnya. “Halo, Fir,” ucapku. “Halo, Pras. Sorry… tadi gue gak liat ada WA,” jawabnya. Ada setetes kesejukan di dalam daadaku ketika mendengar suara Firda. Seperti oase yang membasuh kerinduan. “Kemana aja? Anak-anak pada nyariin tuh. Si Nania juga,” ucapku. “Iya, aduh sori. Gue lagi ada proyekan yang mesti gue kerjain sekarang-sekarang ini. Tapi nanti kalau udah selesai, gue pasti——” Ucapannya terputus. Ada sebuah suara yang menyelanya. Suara laki-laki. Aku tidak terlalu jelas mendengarnya, tapi aku yakin ada suara lelaki yang sedang berusaha menggoda Firda. Lalu mereka tertawa, sementara aku masih mendengarkan telepon. “Pras, nanti gue telepon balik, ya!” Tut… tut…. telepon diputus. Perasaanku sesak. Setetes kesegaran yang kurasakan tadi, kini kembali gersang, lebih gersang dari biasanya. Tapi untungnya tak lama kemudian Alvin dan Galang meneleponku. Mereka mengajakku untuk datang ke festival sekolahnya yang siang ini mengadakan bazaar dan penampilan band-band indie. Aku menerima tawaran mereka. Mungkin saja bisa sedikit mengobati perasaan kecewa ini. Kami pergi menggunakan mobilnya Galang seperti biasa. Tapi selain aku dan Alvin ada seorang penumpang lagi. Dia adalah Sarah, cewek yang sedang didekati Galang. Orangnya ramah dan kulitnya hitam manis. Aku ada kecurigaan jangan-jangan Galang sengaja mengajak kami hanya ingin memamerkan gebetan barunya. Dasar anak orang kaya, sepertinya mudah sekali mendekati perempuan. Tiba di sekolah, suasana sudah sangat ramai. Banyak stand makanan dan aksesoris yang dipadati pengunjung. Sekolah mereka memang sangat elite. Di tengah lapangan, sebuah panggung lumayan besar sedang menampilkan acara band. “Gue sama Sarah ke sana dulu ya!” ucap Galang sambil menunjuk sebuah stand ramalan kartu tarot. Aku hanya mengangguk. Sudah jelas tujuan mereka ke sini karena ingin pacaran. Sementara aku? Kalau seandainya ada Firda, mungkin aku bisa mengajaknya ke stand ramalan garis tangan, atau makan es krim. Rasanya belum pernah aku melakukan hal itu dengannya, Ah. Aku berusaha menghilangkan pikiran tentang Firda saat perasaan sesak mulai kembali muncul di d**a. Kenyataannya, yang ada di sampingku sekarang adalah Alvin. “Lu ngerasa jadi maho gak jalan berdua sama gua?” tanya Alvin sambil terkekeh-kekeh. “Sialan lu. Ah, liat band aja yu,” ucapku. Kami berdua maju ke depan panggung agar dapat lebih jelas melihat penampilan band. Band yang saat itu sedang tampil tidak begitu menarik perhatianku, sebab suara vokalisnya terlalu cempreng. Namun ketika band selanjutnya naik panggung, aku mengerutkan kening. Ada tiga orang yang naik ke panggung. Dua orang pria berambut gondrong, dan satu orang perempuan cantik. Aku tidak kenal kedua pria itu, tapi aku kenal si perempuan. Perempuan berkaca mata, mengenakan kemeja dan kaos hitam agak ketat, dan celana jeans sobek-sobek. Aku kenal dia, dia adalah Ghea adik kelasku yang sering berpapasan denganku di sekolah. Kaca mata berbingkai merah selalu menjadi ciri khasnya. Selain itu wajahnya sangat cantik, kulitnya putih mulus, postur tubuhnya bisa dibilang mungil. Namun tubuh bagian depannya lebih besar dari Firda. Band itu membawakan lagu indie dengan percaya diri. Suara Ghea yang agak serak terasa pas dan nyaring, bahkan memberikan nuansa tersendiri pada lagu itu. Entah kenapa aku selalu tertarik pada perempuan tomboy dan agresif. Tapi Ghea mungkin di atas levelku, dia adalah tipe cewek cerdas pemberontak yang jadi incaran banyak cowok. Ketika sedang bernyanyi, sesekali dia melirik ke arahku lalu tersenyum. Aku tidak berani membalas. Soalnya tidak yakin, benarkah dia tersenyum padaku? Berkali-kali aku menoleh ke belakang, tak ada orang yang tampak membalas senyumnya. Sepertinya benar. Di sekolah kami jarang mengobrol, tapi aku memang selalu merasakan tatapan berbeda dari dirinya setiap kali kami berpapasan. Tapi pikiranku kembali kacau teringat peristiwa kemarin malam yang membuat pikiranku kembali pada Firda.  Awalnya aku tak sengaja bertemu dengan Nania yang akan ke warung. Wajah Nania terlihat murung, kusut, tidak seperti Nania yang selama ini aku kenal. “Kenapa Nan?” tanyaku. “Huhh.. gak papa.” jawabnya ketus. “Masalah Firda?” Nania mengangguk. Sejak Firda menghilang dari geng, Nania jadi terlihat suram. Mungkin dia merasa dikhianati, sebab Firda adalah sahabat terdekatnya selama ini. “Bete gue. Itu anak kenapa sih? Pacaran sampe segitunya, sampe lupa temen!” ucap Nania. Aku mengangguk setuju. Tapi di dalam hatiku, aku merasakan hal yang lebih dari sekedar kehilangan teman. Aku sedang patah hati. “Kapan terakhir ketemu dia?” tanyaku. “Tiga hari yang lalu, gue dateng ke rumahnya. Itu pun cuma sebentar, karena dia mau pergi. Bilangnya sih ada kerja sambilan, ah paling juga pacaran sama cowok barunya itu!” Aku menghela napas. Segala macam bayangan muncul lagi di benakku. “Gue juga bingung harus gimana. Lu kan yang paling deket sama dia, Nan.” “Iya gue tau. Urusan pribadi dia, gue gak berhak ikut campur, tapi sebagai sahabat gue juga gak bisa cuek. Lu tahu gak, apa yang gue temuin di kamar Firda?” Nania cemberut masam. “Apa?” aku teringat dengan kamar itu. Kamar pertama kalinya aku menjadi intim dengan Firda. “Tapi lu jangan bilang siapa-siapa ya!” Nania mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Sebuah benda kecil dibungkus plastik, pada bungkusnya tertulis sebuah merek alat kontrasepsi terkenal. “Itu kon..?” tanyaku dengan tenggorokan yang mendadak terasa kering. “Sssst!” Nania memasukkan lagi benda itu dalam kanting celananya. Segalanya tentang Firda menjadi semakin buruk saja. Kekhawatiranku ternyata benar. Kalau Firda sampai menyimpan kontrasepsi di kamarnya, berarti dia sudah sering berhubungan intim dengan pacarnya. Aku berusaha menyembunyikan wajah suramku dari Nania. Dengan berat hati, aku meninggalkan Nania yang masih termenung di depan rumhanya. Sedih dan kesal rasanya sama Firda. Dia tidak hanya meninggalkan aku, tapi juga teman-temannya yang lain. Lelaki spesial seperti apa sih yang sudah merebut hatinya? Aku tidak bisa memaksa, sebab semua ini memang dia yang memulai. Tapi aku tidak terlalu kecewa, setidaknya aku sempat mengalami sesuatu yang indah dengannya. Setelah selesai mengikuti acara degan Galang dan Alvin yang sama sekali tidak bisa kunikmati, aku langsung pulang dan masuk ke kamar. Lalu telentang menatap langit-langit. Aku benar-benar sedikit bersyukur ketika Firda akan pergi dari kelompok kami, setidaknya aku telah berhasil menikmati Firda walau tidak sampai melakukan hubungan badan. Tapi jika Firda mengajak pun sepertinya aku belum benar-benar berani. Takut terjadi sesuatu. Aku tak bisa bayangkan kalau mesti nikah muda. Ketika aku sedang asik membayangkan Firda, telingaku kembali mendengar suara Bu Anhar sedang berada di tempat mencuci pakaian. Entah mengapa pikiran kotorku kembali membuncah dan nekad untuk melakukan sesuatu yang lebih ekstrim dari biasanya.  Aku segera bangkit dari tiduran dan langsung menyalakan lampu kamar serta membuka gorden dan kaca nako. Setelah itu aku pun melucuti seluruh pakaian, lalu memulai kegiatan gila itu sambil berdiri menghadap sumur. Aku yakin Bu Anhar melihat dengan jelas apa yang sedang aku lakukan. Aku sengaja maju mendekati diri ke jendela. Saat aku berkeyakinan Bu Anhar melihat dengan jelas aktifitasku, seketika itu pula sensasi liar menyergapku dan melambungkan anganku benar-benar menembus khayal tertinggi. Gairhku meletup-letup menyaksikan Bu Anhar yang tampak begitu gelisah dan berkali-kali melihat ke arah kamarku dengan pandangan tajam, kemudian menunduk malu dan tak berapa lama kemudian aku mencapai puncak. Setelah itu aku benar-benar lemas dan terhempas. Lalu terlentang di atas tempat tidur. Aku yakin seyakin-yakinnya Bu Anhar bisa mengintipku lewat jendela nako yang sengaja masih aku buka. Semua berakhir dan aku bisa tidur dengan pulas karena sudah berhasil melampiaskan obsesi gilaku yang sulit untuk aku kendalikan. Pada hari berikutnya saat pulang sekolah, aku berpapasan dengan Bu Anhar di depan rumahnya. Aku menunduk malu tidak berani beradu pandang dan segera bergegas menuju rumahku yang berjarak beberapa meter lagi. "Pras!" Tiba-tiba Bu Anhar memanggil saat aku sedang memasukan anak kunci pada pintu rumah. Deg! Jantungku berdegup kencang dan benar benar gemetar karena Bu Anhar mendatangiku dengan langkah yang sedikit terburu-buru walau raut wajah cantiknya tetap kalem. "Ya, Bu," jawabku saat Bu Anhar sudah benar-benar berdiri di dekatku. "Pras, kemarin sore waktu ibu lagi nyuci, kamu ngapain di kamar?" tanya Bu Anhar dengan lembut namun tubuhku tambah gemetaran. Salah tingkah tak karuan mendengar pertanyaannya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD