Chapter 8

1213 Words
Esok paginya, aku pergi ke sekolah seperti biasa. Ketika sekolah sudah bubar, Firda, Nania dan Alvin sudah menungguku di warung depan sekolah. “Pras, sore ini lu ada acara gak?” Alvin bertanya sambil menepuk pundakku. “Ada apa, Vin?” tanyaku seraya mengernyitkan dahi. “Kok ada apa? Kan tiga hari lagi ulangan semester, emang sekolah lu gak ada ulangan? Kita belajar bareng lah, gimana sih?” Alvin balik bertanya. “Kok tumben?” balasku seraya menyeringai. “Tau nih, anak ini tiba-tiba sok rajin gitu. Paling-paling dia gak punya catetan dan males baca buku,” sergah Nania. “Ayolah, si Galang udah setuju, dia nyediain tempat dan konsumsi gratis. Oke kan?” ucap Alvin. Aku dan Nania mengangguk setelah mendengar kata konsumsi gratis. “Lu gimana Fir, bisa?” tanya Nania. Firda agak terkejut dan menoleh dengan tiba-tiba, “Oh bisa, bisa, bisa kok, gak masalah.” Jawabnya gelagapan. “Ya udah sekarang aja kita berangkat, si Galang dah nunggu, gua pengen berenang dulu, hehehe.” Alvin bersemangat. “Alah paling kalau udah renang, lu juga molor!” timpal Firda. Kami pun bersiap-siap berangkat ke rumah Galang yang memang tidak terlalu jauh dari sekolahku. Kami jalan santai berempat.  Berada dalam jarak yang sangat dekat dengan Firda membuatku sangat canggung, apalagi kalau mengingat kejadian kemarin. Mungkin karena merasa tidak enak, Firda akhirnya membuka pembicaraan. “Eh gimana bokap lu udah pulan belum?” tanya Firda dan enah mengapa tumben-tumbenan dia menanyakan ayahku. “Belum, kan dia emang gak jelak kapan pulangnya,” jawabku dengan sedikit menyernyitkan dahi. Tak sampai dua puluh menit,  kami pun tiba di rumah Galang. Rumahnya besar dan mewah, di garasi berderet mobil milik orang tuanya. Saat kami masuk ke ruang tamu, Ghita adiknya Galang sedang duduk di sofa sambil membaca majalah. Ghita masih duduk di kelas 1 SMA, rambutnya bergelombang, dan wajahnya imut nan cantik. Dia duduk menyamping dan memperlihatkan pahanya yang putih mulus karena memakai hotpants. “Baca majalah jangan di ruang tamu,” ucap Galang ketus. “Emang napa? Suka-suka gue dong!” balas Ghita tak kalah ketusnya. “Nanti gak ada orang yang mau bertamu ke rumah kita!” Plak! Majalah itu melayang dan menghantam wajah Galang. Kakak adik ini memang senang bertengkar sejak dulu, tapi kami tahu mereka sebenarnya akur. Tanpa memperpanjang pertengkaran itu, kami beranjak ke kamar Galang. Kamar yang nyaman, sejuk dan untuk ukuran kamar cowok lumayan rapi. Kami pun memulai acara belajar kelompok. Ketika kami sedang membolak-balik buku pelajaran tiba-tiba Alvin berteriak. “Apaan tuh!” teriak Alvin sambil menunjuk-nunjuk. “Kenapa sih lu, kaya Jaja Miharja aja,” umpat Nania. Alvin segera merangkak ke kolong tempat tidur Galang dan mengambil sesuatu dari dalam sana. “Bokep coy!” ucap Alvin sambil memperlihatkan sebuah kotak DVD bergambar perempuan Jepang tanpa busana. Kami semua tertawa terbahak-bahak. “Kaya anak SMP aja lu, masih ngumpetin yang gituan,” Firda tertawa. “Masih jaman ya, nonton bokep pake DVD?” Aku ikut menimpali. “Itu DVD original import dari Jepang langsung. Ngiri ya lu semua? Bisanya cuma download bajakan kan?” ucap Galang sambil berusaha merebut DVD itu. “Ah bokep ya bokep, apa bedanya bajakan atau original? Coba nyalain,” balas Alvin. Alvin segera memasukkan DVD itu ke dalam laptop Galang yang kebetulan sudah dinyalakan. Hanya dalam beberapa detik, terpampanglah adegan wanita Jepang yang cantik sedang berciuman dengan seorang lelaki. Kami semua fokus menonton adegan itu. “Buset, gede amat!” ucap Alvin agak berbisik. “Iya, gak kaya cewek-cewek di kelompok kita, rata semua kaya triplek!” balas Galang sambil melirik pada Firda dan Nania. “Sialan lu!” ucap Firda sambil memukul pundak Galang menggunakan kertas. “Tapi punya gue masih lebih gede daripada punya Firda, tahu…,” sangkal Nania pelan. Galang dan Alvin tertawa terbahak-bahak, sementara Firda melotot dan mulai mencubiti Nania. Dan aku refleks bergumam, “Hehehe, tapi yang kecil-kecil itu bikin gemes, tau!” Firda melirik ke arahku dan menjulurkan lidahnya, sementara anak-anak yang lain sepertinya tidak mendengar gumamanku. Acara ‘belajar kelompok’ masih terus dilanjutkan. Adegan-adegan di monitor semakin hot. Firda kebetulan duduk di sebelahku, dia merapatkan posisi duduknya agar bisa melihat laptop dengan jelas. Saat dia merapat, daadanya berada di belakang siku tanganku, dan entah disengaja atau tidak, dia mulai menggesek-gesekkannya kembali hingga si jagurku semakin berontak. Pelan-pelan aku ikut menggerakkan siku tanganku dengan pura-pura menggaruk leher. Kenyalnya bukit kembar Firda bisa aku rasakan samar-samar, sementara itu hembusan napasnya menjalar di leherku. Untung anak-anak yang lain tidak ada yang sadar. Saat suasana semakin hot, tiba-tiba pintu kamar diketuk, Alvin yang kaget segera menutup laptopnya. Ternyata pembantu Galang membawakan minuman. Aku menghela napas, Firda juga menggeser duduknya lebih menjauh. Aku dapat melihat wajahnya yang merona merah. Setelah itu, acara belajar kelompok dilanjutkan secara normal. Kira-kira satu jam kemudian, kami pun memutuskan untuk pulang. “Kenapa Pras, diem aja?” tanya Firda saat aku dan dia jalan kaki berdua karena Alvin dan Nania mengambil arah yang berbeda. Rumahku dengan rumah Firda lumayan berjauhan namun masih dalam satu kawasan. “Ngga kok, ngerasa aneh aja, hehehe” jawabku sambil nyengir kuda. “Aneh kenapa? biasa aja lagi.” Firda sepertinya mengerti arah omonganku. Selama beberapa menit, kami terdiam. Mungkin Firda juga merasa tidak enak karena aku tidak menimpali obrolannya. Tapi jantungku berdebar kencang ketika membayangkan kejadian yang terjadi kemarin. Rasanya ada yang masih mengganjal. Pelan-pelan aku menggerakkan tanganku ke pundak Firda, aku ingin merangkulnya sambil beejalan. Bahkan jika perlu memeluknya untuk merasakan kembali kehangatan tubuhnya. Firda hanya diam, dia menundukkan wajahnya sambil berjalan. Kebetulan memang tidak terlalu ramai. Jantungku berdetak semakin kencang. Entah karena gugup atau merasa tertantang karena kami hanya berdua melewati sebuah kebun penduduk, perlahan-lahan tanganku turun ke pinggangnya. Aku dapat merasakan pinggangnya yang ramping di balik balutan seragam sekolahnya yang sempit. Setelah memastikan tak ada orang yang melihat, aku dekatkan wajahku ke pipinya. Plak! Dia menamparku. Keras sekali, bahkan bunyinya terdengar jelas. Aku kaget bukan main, segera aku tarik tanganku menjauh darinya. Firda menatapku dengan kesal. “Pras, kan gue udah bilang kemarin, cuma sekali itu aja! Kalau kita ketemu lagi, gue minta lu anggap yang kemarin itu gak pernah terjadi, ngerti kan lu?” bisik Firda dengan nada geram. Nyaliku langsut ciut diomeli seperti itu. Perasaan kecewa dan malu bercampur aduk di dalam kepala, betapa bodohnya aku. Kalau memang aku mencintainya, seharusnya aku bisa memahami perasaannya. Aku kecewa pada diriku sendiri, jangan-jangan perasaan ini sudah berubah menjadi nafsu mesyum semata. Sepanjang perjalanan hingga Firda masuk ke rumahnya, aku hanya menundukkan kepala. Kami tidak berbicara sepatah kata pun setelah insiden itu. Aku tiba di rumah dengan perasaan sedih, lalu tidur-tiduran di atas kasur sambil memikirkan apa yang harus aku lakukan sekarang. Apakah persahabatanku dengan Firda akan berakhir karena masalah ini? Tidak mungkin. Aku mengambil handhpone dan mengirim WA. [Fir, maaf ya, tadi gua khilaf] Aku diam menunggu balasannya, tapi tak ada yang masuk. Selama beberapa menit perasaanku terus gelisah hingga tiba-tiba saja handphoneku berbunyi, aku melonjak kaget karena Firda menelpon. “Pras, lu lagi di rumah?” tanya Firda. “Iya,” jawabku. “Gue ke sana ya, sekarang!” “Eh, tapi, tapi….” Firda menutup teleponnya. Sebenarnya aku ingin bilang kalau aku ingin meminta maaf doang soal kejadian tadi, tapi dia tampak terburu-buru. Untuk apa dia datang ke sini? Aku menunggu dengan jantung berdebar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD