Tak percaya mungkin itu kalimat yang masih pas untuk menggambarkan apa yang sedang aku rasakan saat ini.
Ini benar-benar gila. Sudah lebih dari tiga tahun aku bersahabat dekat dengan Firda, bahkan sering sekali kami tiduran rame-rame di berbagai tempat, bahkan kita pernah kemping berlima dan tidur dalam satu tenda. Tetapi tak pernah terpikirkan untuk melakukan perbuatan segila ini.
Bibir Firda terasa begitu manis dan lembut di biriku, mengirimkan berjuta sensasi dan rasa yang luar biasa di sekujur tubuhku. Ini adalah ciuman pertamaku dengan wanita dan ternyata rasanya sangat aneh. Sulit untuk digambarkan dengan kata-kata.
Tak lama berselang, Firda melepaskan ciumannya. "Ogeb dasar! Gue gak minta dicium, tapi gue minta lu mainin ini gue doang! Kan waktu di bioskop lu gak yium gua, bego ah dasar! Hahahaha," ucap Firda sambil tertawa dan menunjuk bagian depan tubuhnya.
Lalu kami berdua tertawa terbahak-bahak. Terdengan seperti lelucon yang sangat konyol. Namun entah mengapa kami memang sama-sama menikmati moment konyol ini. Lalu aku meninggalkan Firda yang masih berdiri, dan kembali duduk di pinggir ranjangnya.
"Fir, mending lu duduk di sini. Gue pangku aja deh!" ucapku sambil menepuk kedua pahaku.
“Hah, emang kuat lu mangku gue? badan lu kecil juga!” ucap Firda sambil mendatangiku.
“Yeee, kaya tubuhku segede kebo aja, sama kurusnya kali, malah lebih atletis gua, hehehe!”
“Ya, ealah secara lu kan cewok, Oon!” ucap Firda sambil melangkah mendekatiku. Bibirnya tersenyum malu-malu.
Setelah itu dia benar-benar duduk di atas pangkuanku dengan posisi membelakang. Aku dapat merasakan pinggul dan pahanya yang hanya dibalut legging tipis menyentuh bagian depan tubuhku. Aku juga menduga, pasti Firda bisa merasakan ada sesuatu dari tubuhku yang mengeras. Tapi sepertinya dia tidak merasakan apa-apa, karena tidak protes atau bicara apapun. Seharusnya dia protes atau minimal mengejekku habis-habisan.
Antara aku dan Firda sering terjadi kejutan-kejutan atau hal-hal yang tidak disengaja. Bahkan di saat kami berkumpul bersama teman-teman, terkadang ada beberapa kejadian unik yang tidak disadari oleh yang lain, namun aku dan Firda menyadarainya. Tak jarang aku dan dia saling bertatapan, namun tak berani bertanya karena takut yang lain menyadarinya. Mungkin itu yang disebut kemistri atau bahasa kalbu. Entahlah.
"Oh iya, Pras, lu jangan macem-macem ya. Kita masih tetep temenan, jadi lu jangan ngelakuin hal yang lebih dari ini. Pokoknya gue gak mau, ini lu manfaatkan buat hal yang tidak-tidak. Gue masih segel tau!" ucap Firda tegas.
"Iya, gua ngerti kok. Gue gak akan ngelakuin yang gak lu minta," balasku dengan sungguh-sungguh walau sejujurnya, aku sendiri masih sangat bingung, apa yang dia maksud dengan lebih dari ini. Setahuku ini pun sudah sangat lebih.
Aku melingkarkan tanganku di pinggang Firda, lalu mulai meraba perutnya yang rata itu dari luar kaos. "Gila perut lu sixpack juga ya, Fir, hahahaha." ucapku bercanda yang dibarengi.
“Gila lu, masa ada cewek sixpack, gue kan bukan atlet, hahahah,” balas Firda sambil tertawa juga dan tak lupa dia pun menyikut perutku.
Kami tertawa-tawa, entah apa yang kami tertawakan, namun yang pasti rabaan kedua tanganku makin nakal dan naik ke arah dua bukit kembarnya. Namun sebelum menyentuh bagian itu, segera aku belokkan ke arah lain. Masih takut kena damprat lagi.
"Duuh Pras, please dong. Lu kok malah megangin ketek gue sih. Geli tau!" Firda meledekku. Tampaknya dia memang tidak menghendaki tanganku ada di sana. Padahal aku sendiri bingung meski gimana. Untuk saat ini, itulah posisi yang paling nyaman dan aman, jadi kaya sedang memangku anak kecil memegangi kedua ketiaknya.
"Heheheh iya, iya," balasku pura-pura lugu, sambil terus menahan tawa. Entah mengapa saraf tawaku jadi mudah tergelitik, padahal saat malam di bioskop itu tegangnya minta ampun. Jangankan untuk ketawa untuk bicara aja tak berani.
Sungguh ini hal tergila yang pernah aku dan Firda lakukan. Jika kami saling berpacaran, mungkin sudah jadi keributan. Bagaimana tidak? masa bermesraan tapi malah tertawa-tawa tidak serius sama sekali.
Firda lalu membalikan badan menghadapku namun masih tetap duduk di pangkuanku. Kini kami saling berhadap-hadapan dan saling bertatapan saling berbicara dengan hati masing-masing, tapi tidak nyambung karena sambil tertawa-tawa kecil malu-malu tak jelas.
Tawa kami lama-lama reda dan kini jantungku kembali seperti semula, dag-dig-dug tak karuan. Tanganku kembali beralih seperti yang Firda inginkan, dia juga sepertinya mulai serius dan menikmati kembali apa yang sedang sama-sama kami lakukan, rasakan dan alami saat ini. Napas dia mulai sedikit tidak normal.
"Mmmh...," Firda mulia melenguh pelan, seperti ditahan.
Aku terus memandangi benda indah dari luar kaosnya dan sesekali tanganku bermain di sana walau masih ragu. Ternyata ukurannya tidak sekecil yang terlihat dari luar kaos. Semakin lama pijatanku semakin kuat.
"Aaaah Praas, pelan-pelan dong," lenguh Firda dengan napas yang penuh desahan. Dan mendengar suara itu mendadak bersemangat. Ternyata ghairah dan sensasinya jauh lebih hebat dibanding kegiatan yang pernah aku lakukan di depan Bu Anhar.
"Gue gak ngerti nih, rasanya gue udah gila deh. Bisa-bisanya sekarang minta diginiin sama sahabat gue sendiri, hahaha.” Tiba-tiba Firda tertawa-tawa kembali.
“Sama!” balasku dengan suara yang sedikit bergetar. Entah mengapa aku mulai tak konsentrasi dan pikiranku kacau terbawa suasana dan ghairah entah apa namanya.
“Dan sekarang, tongkat sahabat gue itu berdiri maksimal di bawah gua, hmmmm," ucap Firda kini dia pun kembali mendesah sambil berusaha menahan tawa.
“Praaas, menurut lu gimana ini, aaah pelaaan-pelaaan Praas!” Firda bertanya seraya menggelinjang.
"Sama Fir, gua ngerasa semua ini bener-bener aneh," jawabku sambil mempercepat aktifitas tanganku di bagian depat tubuhnya, lebih tepat pada gunung kembarnya.
"Iya, aneh, ta…tapi enak Praaas, aah iiih lebih ee…enak dari yang malam.. sumpaaah." Firda menggeliat dan mendesah panjang ketika tanganku semakin nakal, bahkan berani menuju puncaknya.
"Uhhh... gila, enak bangeeet, Fir," balasku.
"Mau gua kasih lebih gak?" tanyaku.
Seketika alim, polos pemalu dan rasa canggungku hilang entah kemana. Dan sejujurnya aku masih belum percaya dengan semua yang aku lakukan dan aku ucapkan. Memang aku bisa ngasih lebih apa? Mungkin itu hanya ucapan yang terbawa sensasi yang sudah membakar birahiku.
"Mmmmh... Iya mau banget," jawab Firda.
"Kaosnya buka dulu dong," pintaku sambil menunjuk kaos putihnya yang sudah lecek di bagian depannya.
"Gak ah...! Gak mau!" tolaknya sigap.
"Lah, katanya mau lebih?" tanyaku sedikit memaksa.
"Ya lu mainin dari luar kaos aja, gimana sih?" bentaknya.
"Susah dong, Fir!" sangkalku.
"Pokoknya gue gak mau buka baju, gue takut kebablasan entar bahaya, Pras! Kita kan cuma temenan. Lagian gue masih perawan tingting gitu lho. Emang elu udah sisa nenek-nenek, ya kan?" Firda mengejekku.
“Sembarang aja, lu! Gua masih bujang tongtong, tau!” sergahku tak terima dituduh sudah tidak perjaka lagi.
“Mau dkasih lebih gak?” Aku kembali menawarinya.
“Mau, tapi gak mau buka kaos, enak di elu, gue yang rugi!”
‘Dasar aneh!’ gumamku dalam hati. Namun aku tetap menghargainya, bisa begini saja sudah merupakan mukjizat bagiku.
“Ayo dong Pras!” pinta Firda tak sabar.
“Iya, gak sabaran lu!” balasku sambil langsung mendekatkan wajah ke arah tubuhnya lalu menciumi kaosnya. Aku mencoba untuk menghisapnya namun hanya terasa pahit, kaos memang sangat tak enak rasanya untuk diisap.
“Fuih, kaosnya pahit, Fir, ntar gua mabok lo!” sergahku seraya meludah ke samping.
"Ya udah, gue kasih bonus," ucap Firda sambil menggoyangkan pinggulnya menekan adik kecilku dan saat itu juga aku merasa seperti melayang.
“Fir…. Iiiih..” Aku mulai belingsatan.
"Mmmmhh... Praas this is our dirty little secret," ucap Firda dengan napas terengah.
“Iya, tapi adik gua kesakitan, coba….” Tiba-tiba ponsel Firda berdering.
Merasa terganggu, aku menghentikan aktivitasku. Firda menoleh ke arah ponselnya, lalu segera meraihnya namun tetap tidak turun dari pangkuanku.
“Apaan?” tanyaku kepo.
"Cuma WA," jawab Firda.
"Siapa?" tanyaku makin kepo.
"Nania, dia lagi di jalan mau ke sini, lima belas menit lagi sampe, katanya" jawab Firda sambil mengerutkan dahinya.
"Wah gawat, berarti kita harus udahan nih," ucapku panik. Ini akan jadi bencana kalau sampai salah satu dari geng kami, mengetahui perbuatan kami.
"Sebentar Pras, jangan dulu, masih di jalan ini," cegah Firda.
"Tapi sebentar lagi Nania mau ke sini kan? Lu gak mau kan kalau Nania sampe tahu atau curiga sama kita?" tanyaku memastikan.
"Iya, gue ngerti kok. Tapi masih ada lima belas menit, Pras, please." Hiba Firda sambil menyentuh bagian bawah tubuhku yang sedikit mengecil karena terkejut.
“Gua buka punya lu ya, gue pengen liat gimana sih bentuknya,” ucapnya sambil tersenyum.
“Fir!” seruku tak percaya.
“Lu tadi udah ngasih enak sama gua, sekarang gua mau ngasih lu enak juga, mau gak?” goda Firda. Dan aku benar-benar kehabisan kata-kata.
"Gue pake cara lain aja ya, biar lu merasa lebih nikmat." Firda kembali bicara dengan nada yang sama sekali tidak panik.
Dan aku pun tak mungkin sanggup menolaknya walau sesungguhnya tidak tahu apa cara lain yang dia maksud.
"Gak papa kan, kalau gue pegang punya lu?" tanya Firda. Aku hanya mengangguk.
Mana mungkin ditolak dan aku baru menyadari ternyata Firda memang benar-benar super nekad. Dia berani memegang adikku yang sesungguhnya tidak pernah aku kira sebelumnya.
"Geli, Fir!" ucapku sambil meringis saat tanganya mulai menyentuh.
"Waw! ternyata kaya begini ya. Gue baru pertama kali megang punya cowok, loh. Punya lu gede amat, Pras! Kaya punya orang dewasa," ucap Firda dengan nada kekaguman.
"Gue juga baru pertama kali diginiin sama cewek. Emang lu pernah liat punya orang dewasa?" tanyaku iseng.
"Pernah sih, tapi cuma di internet. Punya lu diobat bukan, kok gede banget sih Pras?" tanya Firda.
"Gak lah! ini alami, ngapain diobat," sangkalku.
“Buset! gede amaaaaat! Kaget gue. Hmmm... bentuknya gini ya," ucap Firda sambil meraba-rabanya.
"Menurut gue, punya lu kegedean Pras. Gue yakin punya Galang atau Alvin gak mungkin segede ini. Gak sakit lu punya senjata segede gini?" tanya Firda.
"Itulah alasan mengapa gua gak nyaman pake celana dalam." Aku membuat alasan yang tak terlalu masuk akal.
"Kecilkan aja Pras, kasihan entar istri lu. Masih kecil aja udah gede, gimana entar kalau lu udah dewasa, bisa-bisa punya kuda kalah, hihihi." Firda bicara namun tangannya tak diam memainkan adikku yang maikin aneh rasanya.
Aku tak menjawab. Masa mau dikecilin? Emangnya balon bisa dibesarkan atau dikecilkan dengan meniupnya. Dasar Firda, kadang dia memang asal kalau bicara!