Pagi pagi sekali Freya sudah bangun, rencananya hari ini dirinya dan Gista akan pergi jogging sebelum mendatangi pusat gym yang sering ia datangi sejak dulu.
Sebenarnya Gista masih ingin uring uringan di dalam kamarnya. Tapi karena suara Freya yang semakin lama semakin menggema di telinganya, membuat perempuan berusia dua puluh empat tahun itu mau tidak mau membuka paksa matanya.
"Ayo turun," ajak Freya setelah keduanya sampai di Gelora Bung Karno.
"Kamu sengaja pilih tempat umum gini? Supaya jadi pusat perhatiaan orang orang. Yakin deh, enggak bakal sebentar di sini," gerutu Gista dari kursi sebelah kemudi.
"Sesekali enggak apa apa dong, lagian aku bawa masker kok dan pake ini." Menunjuk topi olahraga yang baru saja di pakainya, lalu membuka pintu mobil dan segera keluar.
Gista menghela napas panjang. Kelakuan artisnya itu memang selalu sulit di tebak. Tapi, satu hal yang tidak akan pernah berubah dari Freya, dia tidak akan pernah bisa berbuat kasar pada orang lain. Sekali pun mereka telah berbuat kejam padanya. Terhitung beberapa kali saja telapak tangan Freya mendarat ke wajah orang lain, salah satunya Bisma. Itu pun karena dirinya sudah benar benar kehabisan kesabarannya.
Hah, sungguh tidak bebas berlari menggunakan masker. Freya jadi tidak bisa menghirup udara segar pagi hari. Beruntung langit belum terlalu terang, jadi Freya masih ada waktu beberapa menit untuk membuka maskernya.
Dengan langkah yang tidak terlalu cepat, Freya menikmati setiap hembusan udara pagi yang menembus pori porinya. Perasaannya menjadi lebih tenang setelah semalaman di rundung dilema besar.
"Frey, aku duduk ya. Enggak sanggup lagi," teriak Gista dari belakang dengan napas tersengal.
Freya tidak menghiraukan teriakan Gista, karena bluetooth earphone yang tersumbat di telinganya.
Freya terlihat larut dalam keasyikannya sendiri, sampai sampai ia tak menyadari jika sejak beberapa detik yang lalu seorang laki laki mengikuti langkahnya dari belakang. Laki laki itu mengurai senyum di wajahnya saat melihat postur tubuh Freya yang mengiurkan mata dalam balutan crop hoodie hitam transparan di bagian lengan dan legging berwarna senada, lengkap dengan sneakers hitam bercorak putih, sangat kontras dengan kulit putih mulus Freya.
'Masih tetap menarik meski pun sudah bersuami,' batin laki laki itu.
Langsung saja laki laki itu mengeluarkan ponselnya, mengabadikan momen langka tersebut. Tak lupa pula laki laki itu mengambil gambar dirinya dari samping dan menampakkan wajah Freya.
Merasa ada yang mengikuti, Freya langsung menoleh ke samping belakangnya sambil melepaskan earphone di telinganya. Benar saja, dirinya langsung menghentikan langkahnya dan ingin merampas ponsel laki laki tersebut yang sudah mengambil gambar dirinya secara diam diam.
"Sini, sini handphone kamu!" pinta Freya dengan wajah yang menggeram.
Sayangnya laki laki itu dengan cepat memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Alhasil, Freya hanya bisa menggeram.
"Hapus semua poto poto aku! Kelewatan banget. Kamu ini memang gila ya, Bisma!" geram Freya dengan mata yang menatap sinis.
Sementara Bisma hanya tersenyum penuh kemenangan. Dirinya pun tak mengambil hati semua ucapan Freya untuknya. "Aku cuma mau poto sama mantan aku saja kok, memangnya salah?" Menaikkan sudut alisnya.
"Hapus enggak?" ancam Freya sambil menunjuk Bisma.
"Balikan dulu sama aku." Dengan santainya Bisma menjulurkan telapak tangannya pada Freya, berharap jika sang mantan bersedia menerimanya kembali.
"What the?!" Mata Freya terbelalak tak percaya. "Aku ini sudah bersuami." Menunjukkan cincin mewah yang selalu setia melingkar di jari manisnya.
"Aku enggak keberatan untuk jadi pelarian kamu, mana tahu saja ka-" Belum juga Bisma menyelesaikan ucapannya, tapi segera di potong oleh Freya.
"Dasar b******k kamu ya! Enggak pernah jera. Aku muak sama kamu!" Langsung pergi begitu saja dengan langkah panjang.
Freya bahkan melupakan maskernya yang masih menempel di dagunya, membiarkan wajahnya terekspos dengan orang orang yang melintas.
"Kita pulang," ajak Freya pada Gista.
"Loh? Cepat banget?" Mengerutkan dahinya, heran. Padahal biasanya, Freya paling cepat menyelesaikan jogingnya pukul tujuh sampai tujuh tiga puluh pagi. Tapi hari ini, belum juga jarum pendek mengarah pada angka tujuh, ia sudah mengajak pulang.
Tanpa menunggu lagi, Gista langsung mengikuti pergerakan Freya dari belakang. Mengambil alih kemudi karena wajah Freya yang terlihat begitu kesal.
***
Setelah mengemasi semua pakaiannya, Freya langsung mengemudikan mobilnya, mengarah pada kediaman mertuanya. Meski pun sebenarnya Freya masih belum ingin bertemu dengan sang suami, tapi setidaknya ia harus segera kembali untuk menghilangkan kecurigaan mama mertuanya.
Kebetulan hari ini Freya tidak memiliki jadwal syuting. Waktu ini akan di gunakannya untuk mengambil kesempatan mencari informasi tentang Mitha pada Renata. Seberapa besar kebencian mertuanya itu pada perempuan yang ternyata di cintai oleh Zyan.
Sayang sekali. Belum kesampaian niat Freya untuk menemui Renata, kehadiran Zyan yang muncul dari balik pintu utama membuatnya menghela napas panjang.
Zyan menghentikan langkahnya bersamaan dengan kedua tangan yang tersembunyi di balik saku celananya. "Lihat lah tuan putri satu ini. Sepertinya sangat lelah baru pulang dari luar kota." Matanya menatap tajam ke arah Freya.
Samuel yang kebetulan berdiri di belakang Zyan, langsung memilih untuk meninggalkan pasangan suami istri itu, sebelum keberadaannya menjadi boomerang untuknya sendiri.
Lihatlah Freya, dengan santainya ia mengumbar senyuman manis untuk sang suami. Sambil menarik kopernya, Freya berjalan mendekati Zyan. "Apa kabar mas? Pasti bahagia kan selama aku enggak ada?" ucapnya pelan, tapi masih bisa terdengar jelas di telinga Zyan.
Zyan menarik sudut bibirnya ke atas, menatap dengan tatapan merendahkan. Hal itu membuat Freya segera memajukan wajahnya. "Apa waktu empat malam ini masih belum cukup untuk kalian b******u?" bisiknya tepat di telinga Zyan.
Sontak saja, Zyan menarik lengan Freya hingga wajah keduanya berhadapan. Sudah tidak ada lagi toleransi untuk Freya. Sudah cukup dirinya di permainkan oleh perempuan licik seperti Freya, pikir Zyan.
"Lihat lah perbuatan ini, Freya. Mengatakan kalau aku melanggar kontrak. Padahal kamu sendiri yang bermain api," geramnya.
Tak terima di tuduh yang bukan bukan oleh suaminya, Freya membela diri. Berusaha melepaskan tangannya yang seolah di kendalikan oleh Zyan. "Bermain api katamu?" Semakin mendongakkan kepalanya untuk melihat jelas iris pekat Zyan. "Aku masih ingat Tuhan, mas. Walau pun hanya istri ko-"
Freya langsung menghentikan ucapannya saat suara wanita paruh baya mendominasi. "Zyan. Apa yang kamu lakukan sama istrimu?" Renata berjalan mendekat. Sukses membuat Zyan dan Freya terkejut.
"Kalian bertengkar?" tanya Renata lagi.
Freya menarik segera tangannya agar terlepas dari cengkeraman tangan Zyan. Tapi dengan cepat pula tangan Zyan melingkar sempurna di pinggang Freya sambil membalikkan tubuhnya menghadap Renata. Sempat ingin menghindar, tapi Freya tak ingin menambah masalah semakin rumit. Alhasil, keduanya memasang wajah senyum cerah di hadapan Renata.
"Bertengkar? Ah, enggak kok ma. Iya kan, sayang?" Zyan menatap Freya, lalu mengecup singkat pucuk kepalanya.
Sialan. Bisa bisanya saat seperti ini d**a Freya berdetak menerima perlakuan manis palsu suaminya itu. Setelahnya Zyan langsung melempar senyum mengejek. Semakin membuat Freya kesal setengah mati.
Tangan Freya bergerak mendekati wajah Zyan yang tak tersentuh oleh satu pun rambut rambut tipis di sekitarnya. "Heum, iya. Kita enggak bertengkar kok ma, kita lagi bercandaan saja." Menekan kuat hidung mancung Zyan lalu menariknya kuat. "Iya kan mas?"
'Argh, sakit sekali. Tunggu saja nanti kau, Freya!' batin Zyan kesal.
"Ah, syukurlah. Mama kira kalian bertengkar." Tersenyum lega. "Ya sudah ayo masuk, Freya. Kamu baru pulang kan? Pasti lelah. Mama buatkan teh chamomile mau?"
Kesempatan emas bagi Freya untuk kabur dari hadapan Zyan. Ia pun segera bergerak maju sambil meraih tangan Renata. "Biar aku saja yang buatnya ma. Kita minum berdua ya ma di taman belakang."
Melihat keduanya berjalan masuk, Zyan pun ikut berjalan masuk. Melupakan tujuannya untuk bekerja.
"Loh, kamu enggak kerja? Sudah siang loh ini." Renata menoleh ke belakang, menyadari kehadiran Zyan yang mengikuti keduanya.
"Iya mas, bukannya kamu sudah di tunggu sama klien kamu?" Freya menekankan kata 'klien' yang bermakna lain.
"Meetingnya di undur jadi malam," sahutnya ketus menatap Freya. 'Puas kan kamu?' batinnya tertawa.
'Dasar mulut sialan. Kena getahnya juga kan?' Freya mengutuk dirinya sendiri.