Langit mendung sore hari perlahan menghilang seakan berpamitan undur diri untuk berganti menjadi gelap. Semilir angin yang berhembus kencang di sertai dengan kilatan kecil menjadi pertanda jika akan turun hujan dalam waktu dekat.
Terdapat sepasang anak manusia yang memiliki hubungan gelap terlihat sedang menikmati kebersamaan ditemani dengan dua cangkir minuman hangat di luar balkon yang terhubung dengan ruang tamu apartemen mewah yang berada di salah satu puncak ketinggian bangunan pencakar langit.
"Kamu suka coklat hangatnya, sayang?" tanya Mitha setelah menyesap minuman hangat itu dari cangkir kaca yang ada di tangannya.
Posisi keduanya bersampingan. Jika Zyan menghadap kehamparan langit luas, maka Mitha memilih menyandarkan punggungnya di dinding balkon yang berbahan kaca tersebut.
"Ya," sahutnya sambil menganggukkan kepala, lalu menghela napas panjang.
"Kenapa? Ada masalah?" Mitha berbalik badan, menyamakan posisinya dengan Zyan.
"Enggak. Cuma masalah pekerjaan." Menyesap minumannya.
Mitha meletakkan cangkirnya ke atas meja yang ada di sudut, lalu juga mengambil cangkir milik Zyan dan meletakkannya.
Perempuan itu menempelkan tubuhnya pada Zyan dari belakang, menyelinapkan kedua tangannya ke d**a bidang Zyan yang masih berbalut kemeja kerjanya. Dengan mesranya Mitha memeluk sang kekasih gelap dengan penuh kehangatan. "Aku mau kamu melupakan semua masalah kamu saat berdua dengan aku, sayang. Kita nikmati saat seperti ini."
Biasanya Zyan sangat menyukai sentuhan hangat yang di lakukan oleh kekasihnya itu, kini justru Zyan merasa tak siap menerima perlakuan itu. Ia segera melepaskan tangan Mitha dari dadanya, berusaha menghindar sebisa mungkin. "Aku sedang lelah, Mitha."
"Kamu ini kenapa sih, sayang? Sudah dua hari ini aku perhatikan seperti menghindariku. Ada apa sebenarnya? Kamu marah sama aku? Apa salah aku?" Mitha melakukan protes, tak terima dengan penolakan Zyan.
Kepala Zyan menggeleng, lalu sebelah tangannya memijit pelan sudut pelipisnya. "Enggak, aku hanya lelah saja."
Mitha masih tak percaya, ia merasa jika kekasihnya itu sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Ia juga curiga jika ini ada kaitannya dengan istri sah Zyan. "Apa karena perempuan itu?" Memicingkan kedua matanya penuh selidik.
Perempuan? Maksudnya Freya? Istri sahnya? Entah kenapa Zyan merasa marah mendengar Mitha memilih untuk mengucapkan kata 'Perempuan' dari pada menyebutkan nama atau pun istrinya. Tapi Zyan pun tak ingin mengutarakannya, menurutnya itu juga tidak terlalu penting untuk di bahas.
"Ini enggak ada kaitannya dengan siapa pun. Aku lelah, mau istirahat. Jadi tolong, jangan tambah merusak mood aku saat ini." Suara Zyan sedikit meninggi. Lalu berjalan masuk, mengarah pada kamar utama miliknya di lantai atas.
Mitha berdecak kesal sambil menghentak pelan kakinya. "Apa salahnya aku, coba?" gerutunya.
Setibanya di dalam kamar, Zyan langsung mengenakan kembali jas kerja miliknya yang terletak di atas kasur. Lalu kembali berjalan keluar kamar untuk segera pergi dari sana.
Mitha yang baru saja ingin menaiki anak tangga pun mengurungkan niatnya saat mendapati Zyan tengah menuruni anak tangga dengan langkah cepat. "Loh, kamu mau kemana?" tanyanya dengan dahi berkerut.
"Pulang," sahut Zyan singkat tanpa menghentikan langkahnya.
"Tapi kan ini baru jam tujuh malam, sayang. Kamu temani aku dulu dong, seenggaknya sampai aku tertidur," rengek Mitha sambil mengekori Zyan dari belakang.
"Enggak bisa. Mama minta aku pulang sekarang," dustanya. Padahal sama sekali Renata tidak menghubunginya. Itu semua di lakukannya karena suatu hal yang membuat hatinya tidak nyaman.
Sepertinya jawaban terakhir Zyan mampu membuat Mitha menghentikan rengekannya. Mitha tahu betul, kalau sudah berurusan dengan Renata tidak akan ada yang bisa menghentikannya. Apa lagi Zyan tipe anak yang sangat penurut, meski pun kelakuannya seperti itu. Tapi dia tidak pernah sama sekali membantah ucapan Renata apa lagi membentaknya. Ia sangat menghargai sosok perempuan yang telah melahirkannya. Mitha tahu itu.
Sampai punggung Zyan menghilang di balik pintu pun Mitha tak mengeluarkan sepatah kata. Hanya tatapannya saja yang tak lepas dari laki laki itu.
`Kediaman orang tua Zyan.`
Mobil sport mewah milik Zyan terhenti tepat di depan rumah besar nan luas milik orang tua Zyan. Sebelum turun dari dalam mobil, Zyan memberikan satu tugas pada Samuel yang duduk di kursi kemudi.
"Carikan satu apartemen luas yang berjarak tidak terlalu jauh dari apartemenku," titahnya.
"Baik tuan," sahut Samuel menganggukkan kepalanya, sopan.
Zyan segera turun dari dalam mobil setelah Samuel terlebih dahulu turun dan membuka pintu sang Tuan Muda.
Langkah kaki yang tergesa membawa Zyan menelusuri bagian bangunan mewah dan luas itu. Tak tahu jelas alasan apa di baliknya hingga membuatnya sampai seperti itu. Dadanya bahkan memompa dua kali lebih cepat.
"Ma," sapa Zyan pada Renata yang terlihat sedang duduk di meja makan. Baru saja selesai mengakhiri santapan malamnya. Matanya seakan mengabsen penghuni meja makan yang hanya di isi oleh mama dan adiknya saja.
"Eh, sudah pulang kamu. Ayo sini makan dulu." Renata bersiap membuka piring nasi untuk Zyan. Tapi langsung di halangi oleh Zyan. "Enggak usah ma, aku belum lapar," dustanya.
"Freya belum pulang, ma?" tanyanya.
Renata menatap Zyan, seperti kebigungan. "Loh, bukannya Freya masih ada syuting di luar kota? Katanya kemarin sekitar dua sampai tiga malam gitu waktu pamit sama mama. Kamu enggak tahu?"
'Oh, jadi ini sudah di rencanakannya? Bahkan dia sudah meminta izin terlebih dahulu pada mama. Awas kamu, Freya,' batinnya kesal.
Sudah dua malam ini Freya tidak pulang ke rumah, Zyan semakin menjadi resah dengan tindakan yang di ambil istrinya itu. Padahal kemarin dia sudah meminta perempuan bermata hazel itu untuk pulang.
"Makanya, punya istri itu di perhatiin. Dia sakit atau kenapa napa juga mungkin kamu enggak tahu," sindir Jericho setelah meneguk habis segelas air putih.
"Jer, stop it. Kamu suka banget ya manas manasin kakakmu." Renata memperingatkan Jericho.
Jericho melempar senyum pada Renata sambil menganggkat kedua tangannya sejajar d**a lalu melakukan gerakan mengunci mulut rapat, seakan menyerah begitu saja.
Sementara Zyan menatap sinis sang adik yang sempat membuatnya geram sewaktu di taman bermain kemarin sore.
"Aku duluan ya ma," ucap Jericho kemudian berdiri dari duduknya.
Renata menganggukkan kepalanya, memberi izin pada putra bungsunya.
Tak lama giliran Zyan yang ikut undur diri. Ia segera menuju kamar Jericho, membuka pintu secara kasar dan menerobos masuk begitu saja.
"Apa maksudmu bicara seperti itu di depan mama? Ha?" Berdiri di depan kursi tempat Jericho sedang duduk dengan kedua tangan yang berkecak pinggang.
Merasa tidak melakukan dosa apa pun, Jericho justru menaikkan sudut bibirnya ke atas. "Kenapa? Kamu merasa?"
"Freya istriku, dan kamu enggak berhak untuk mengatakan hal seperti itu padaku."
"Enggak usah berpura pura, Zyan." Tersenyum meremehkan. "Aku prediksi, rumah tangga kalian tidak akan bertahan lama. Bahkan tidak sampai satu tahun," cibirnya santai.
Zyan meradang, jika tidak mengingat keberadaan Renata yang masih di luar kamar, pasti Zyan sudah menghajar mulut sialan adiknya itu. "Jangan asal kalau bicara. Kamu bukan Tuhan yang bisa menentukan takdir seseorang. Apa lagi dengan pernikahanku." Menaikkan sudut alisnya.
"Kamu memang selalu percaya diri. Kamu pikir aku enggak tahu kalau ada niat tersembunyi dari pernikahanmu dan Freya? Bahkan kamu enggak akan bisa melepaskan jalang itu. Cih..." cibir Jericho sekenanya.
Deg...
Jantung Zyan langsung berdetak, semua perkataan adiknya itu benar adanya. Zyan mulai khawatir jika Jericho sudah mengetahui kontrak pernikahannya.
Zyan bergerak maju, menarik kerah baju tidur Jericho dengan tatapan mengerikan. "Jangan sok tahu. Aku peringatkan untuk tidak mencampuri rumah tanggaku dan Freya." Lalu keluar dengan wajah merah padam.