Freya dan Zyan sudah berada di penthouse mewah nan elegant milik Zyan yang berada di ketinggian hampir mencapai dua ratus tiga puluh meter salah satu kompleks apartemen mewah yang terletak di kawasan Jakarta Pusat.
Saat pertama kali menginjakkan kakinya ke dalam hunian milik sang suami, Freya sempat tertegun melihat luasnya bangunan yang akan di temapatinya, koridornya saja mencapai hampir tiga puluh meter. Benar benar luar biasa, pikir Freya. Tapi, itu semua harus sirna saat emosinya meluap luap. Di sana hanya ada mereka berdua, sementara Samuel berada di apartemen tiga laintai di bawahnya. Sengaja di berikan oleh Zyan untuk memudahkannya bertemu kalau ada keperluan mendadak di tengah malam. Kalau untuk pelayan, dia sengaja memperkerjakan sempai sore saja. Karena Zyan lebih suka menjaga privasinya kala berada di huniannya itu.
"Kenapa kamu beberin semuanya mas di depan media?" tanya Freya dengan nada yang sedikit meninggi.
"Itu faktanya," sahut Zyan singkat.
"Iya aku tahu itu faktanya. Tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya jelekin Bisma. Kamu sadar enggak kalau kata kata kamu itu bisa buat karir dia hancur. Jahat banget sih kamu mas," gerutu Freya sambil menggelengkan kepalanya dan langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa.
Mata Zyan menatap tajam Freya, langkahnya yang ingin meninggalkan perempuan itu harus terhenti. Zyan menarik lengan Freya hingga perempuan itu meringis kesakitan.
"Aduh mas, sakit. Kenapa ini?" Meski pun begitu, Freya tidak memberontak.
"Kamu bilang aku jahat? Hah?" Sangking geramnya Zyan, sampai sampai tubuh Freya ikut berdiri karena cengkeraman tangan Zyan yang menariknya.
"Kamu harusnya berterimakasih sama aku, karena aku sudah menyelamatkan wajah kamu dari kotoran yang di lemparkan b******n itu sama kamu dan tetap melanjutkan pernikahan kamu yang nyaris batal itu. Dan sekarang kamu bilang aku jahat? Cih... Enggak tahu diri."
Dada Freya berdegup cepat. Bukan karena getaran cinta, melainkan sakit yang teramat mendalam karena ucapan menohok suaminya yang melebihi tajamnya samurai yang menghunus jantungnya.
Iris hazel indah miliknya seketika basah, air matanya meronta untuk terbebas dari dalamnya. Tapi Freya tidak mengizinkan itu terjadi, dalam keadaan mata berkaca kaca, ia melemparkan senyum mematikan pada sang suami. Freya tidak boleh kalah, dia harus tetap kuat. Apa pun yang terjadi, ini adalah pilihannya. "Siapa suruh kamu nikahi aku? Aku enggak maksa kan? Tanpa kamu pun, aku masih bisa melindungi diri aku sendiri, mas." Menghentakkan tangannya hingga terlepas dari cengkeraman tangan besar Zyan. Lalu melengos pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dari Zyan.
'Sial. Beraninya kamu, Freya. Kamu akan menyesal Freya, lihat saja, setelah semua misiku berhasil. Aku akan segera mencampakkanmu,' batin Zyan di penuhi amarah.
Freya belum mengetahui betul letak apa saja yang ada di dalam penthouse milik suaminya itu. Hampir dua menit Freya berjalan menyusuri luasnya hunian bertingkat dua itu, sampai kakinya terhenti di depan sebuah pintu kaca yang terhubung langsung dengan kolam renang pribadi berukuran cukup besar itu.
Tanpa pikir panjang, Freya segera duduk di atas kursi kayu yang tersedia tak jauh dari pintu. Di sana Freya menumpahkan segala kekesalannya atas sikap Zyan yang lagi lagi membuatnya sakit hati. Air matanya berjatuhan bersamaan dengan bahunya yang berguncang. Kedua kakinya meringkuk ke atas untuk di jadikan tumpuan kepalanya yang tertunduk. Kedua tangan Freya memeluk erat kedua kakinya. Lagi lagi Freya tidak bisa berbuat apa pun selain menangis.
"Kenapa kamu nikahin aku kalau cuma untuk buat aku sakit hati. Lebih baik aku menanggung malu dari pada menanggung sakit," gumannya sambil terisak.
Freya mengangkat kembali kepalanya, menyeka air yang keluar dari mata dan hidungnya. Senyum getir kembali terpahat di wajahnya, matanya menatap ke pemandangan indah Kota Jakarta di malam hari melalui kaca kaca transparan yang menjadi dinding bangunan itu. Hawa dingin dari air kolam pun mulai membuat kedua tangannya mengelus satu sama lain.
"Sampai mana pun permainanmu, aku ikuti mas. Sampai akhirnya kamu menyerah dan bertekuk lutut di hadapanku."
***
Pagi pagi sekali Freya sudah bangun dari tidurnya, ia bersiap untuk pergi ke suatu tempat. Freya sedang duduk di atas kursi meja rias yang ada di dalam kamarnya. Kamar yang berada di lantai bawah menjadi pilihan Freya di antara tiga kamar lainnya. Sebelumnya Zyan telah menyiapkannya satu kamar di lantai atas di sebelah kamar utama, karena ukurannya yang juga tak kalah luas dan besar, walau pun terikat pernikahan kontrak, tapi Zyan tetap ingin memberikan fasilitas yang layak untuk istri kontraknya itu.
Freya sempat kaget melihat kehadiran seorang perempuan berusia sekitar empat puluhan yang sedang memasak di dapur. Saat itu dirinya ingin mengambil segelas air hangat sebelum meninggalkan hunian mewah yang akan menjadi saksi bisu pernikahan kontraknya bersama Zyan.
"Selamat pagi Nona Freya," sapa perempuan itu.
"Pagi. Hmm ... ini ...?" Freya tampak bingung untuk memanggil perempuan itu dengan sebutan apa.
"Saya Minah, non. Pelayan rumah tangga yang bekerja sampai sore di sini. Panggil Bik Minah saja, non." Menganggukkan kepalanya sopan.
Freya tersenyum dengan kepala mengangguk, lalu meneguk air hangat di dalam gelas yang ada di tangannya.
"Non, sarapan dulu. Bibik siapin sebentar ya."
"Terimakasih, bik. Tapi enggak usah, siapin untuk mas Zyan aja ya. Aku mau cepat soalnya." Melangkah pergi meninggalkan Bik Minah yang hanya melongo melihat kepergiannya yang begitu saja.
Jarum jam masih mengarah pada angka tujuh, tapi Freya seperti terburu buru saja. Menggunakan lift khusus, Freya tidak perlu repot repot menunggu lama. Ia segera memasuki mobil sport berwarna putih berlogo trisula miliknya yang sengaja di antar oleh sang sopir semalam.
Dengan kecepatan normal, Freya mengendarai Maserati kesayangannya membelah jalanan ibukota yang mulai di padati kendaraan.
Freya membawa mobilnya mengarah ke selatan kota Jakarta, hanya butuh waktu kurang lebih dua puluh menit perempuan itu telah sampai di tempat tujuannya. Ia segera memarkirkan mobilnya di salah satu cafe dua puluh empat jam yang menjadi tempatnya untuk bertemu dua orang sahabatnya.
"Freya," sapa kedua perempuan yang sudah tidak asing di mata Freya sambil melambaikan tangannya.
Membalas dengan senyuman, Freya pun bergegas mendekati Gista dan Dera, kedua sahabat baiknya sejak duduk di bangku sekolah menengah atas.
"Duh duh... Iya deh yang pengantin baru, tambah cakep aja sih," goda Gista sambil menarik tubuh indah sang sahabat ke dalam pelukannya.
"Bukannya udah dari dulu cakepnya?" seloroh Freya sambil tertawa.
"Makin kelihatan loh aura kamu, Frey." Dera bergantian memeluk tubuh Freya. "Happy banget dong ya, secara hidup sama pria tampan, super rich pula kan?" sambungnya.
Aduh... Rasanya Freya ingin sekali mengatakan pada kedua sahabatnya itu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi Freya tidak ingin mengingkari janjinya pada Zyan mengenai rahasia besarnya ini.
"Eh, jadi gimana? Kamu serius mau jadi manager aku, Gis?" Freya mengalihkan pembicaraan kedua sahabatnya itu. Ia langsung bertanya tentang tawaran yang ia berikan pada sang sahabat semalam.
"Yakin enggak mau cari yang lebih profesional aja?" Gista balik bertanya pada Freya. Tak ingin jika nanti sahabatnya menyesal karena memperkerjakannya sebagai manager.
Baru saja Freya ingin menjawab, tiba tiba seorang laki laki dari arah belakang mendominasi indera pendengaran Freya dan kedua sahabatnya.
"Apa maksud ini semua, Freya?"