Berkumis Tipis
Siang bolong di rumah joglo milik Pak Sinto, seorang juragan sayur. Berkumpul ibu-ibu dan gadis-gadis yang sedang unting--sebuah kegiatan menata sayur mayur dalam satu ikatan, dengan jumlah yang serasi. Sehingga sayur mayur itu siap dibawa ke pasar untuk dijual.
"Bul, siapa tamunya? Kok ibukmu sampai ndak ikut unting hari ini?"
"Iya, Bul. Kayaknya orang kaya. Mobilnya Fortuner warna putih. Uapik pol(1)!"
"Jangan-jangan ibukmu mau nikah ya, Bul?"
"Wah, si Bule mau punya bapak baru!"
Mereka heboh sendiri, padahal Elleanor tidak tahu menahu tentang siapa tamu yang datang ke rumahnya. "Aku ndak tahu. Tapi masak iya, sih, Ibuk mau nikah?" Elleanor menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"NDUK!" Seruan bernada tinggi terdengar.
Elleanor menoleh setelah mendengar seruan itu-suara Araya-ibunya.
"Duh, kenapa Ibuk kok manggil aku, ya?" Elleanor semakin dibuat bingung.
"Tuh kan!" seru Bulek Astuti. "Pasti kamu mau dikenalin sama calon bapakmu!"
Karena celetukan Bulek Astuti, seketika mereka semua tertawa-kecuali Elleanor.
Mereka kembali bersahutan, menyerukan kalimat-kalimat bernada menggoda, tentang seseorang yang diduga sebagai calon bapak si Bule.
"Udah, sana pulang! Nanti calon bapakmu keburu pulang!"
Elleanor berdiri meski dengan setengah hati. Ia membersihkan helai daun sayuran yang masih menempel di rok, sebelum akhirnya berlari pergi.
"Mandi dulu, Bul! Jangan sampai calon bapakmu ngira kamu masih kerabatan sama wedus gibas(2), lebus(3)!"
Elleanor tidak menoleh, karena sudah hafal betul dengan siapa gerangan pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan si Bulek Astuti yang mulutnya blong, seperti kehabisan kampas rem.
***
Nyatanya saat Elleanor sampai rumah, ia benar-benar mandi. Kalau dipikir-pikir benar juga apa yang dikatakan oleh Bulek Astuti, baunya memang mirip wedus gibas. Lebus sekali.
Semenjak lulus SMP, Elleanor tidak meneruskan sekolah. Karena tidak sekolah itu, ia jadi jarang mandi pagi. Hitung-hitung hemat air. Mengingat masih banyak daerah yang kekurangan air di seluruh penjuru dunia. Juga untuk anak cucu nanti.
Setelah bangun tidur, Elleanor rutin membantu Araya dengan urusan rumah, termasuk bersih-bersih dan memasak. Selesai dengan urusan rumah, mereka berdua akan nonton acara infotainment di televisi. Mengomentari segala tingkah polah artis Tanah Air masa kini.
Setiap hari tepat jam dua belas siang, mereka akan segera pergi ke rumah Pak Sinto untuk unting. Pekerjaan sederhana yang syukurnya cukup untuk menyambung hidup. Toh mereka hanya berdua, tak membutuhkan banyak pengeluaran.
Tapi hari ini ada tamu. Entah orang penting mana yang datang, sampai membuat Araya absen unting. Padahal biasanya wanita itu termasuk yang paling gigih untuk urusan unting. Kejar setoran katanya. Untuk menambah pemasukan, supaya kadang bisa sedikit hidup mewah. Contohnya dengan makan lauk ayam goreng.
Saat orang itu datang tadi, Elleanor tak terlalu memperhatikan karena sudah nyaris terlambat unting. Sistem kerja sebagai buruh unting adalah borongan. Jika ia sampai terlambat, maka sebagian besar jatah sayur akan diambil oleh ibu-ibu dan gadis-gadis itu, sehingga uang yang akan ia dapat tidak akan banyak pula.
Sayangnya, sayur-sayur yang ia perjuangkan itu tetap tak bisa ia unting semua. Tentu saja karena Araya bertitah padanya untuk segera pulang.
"Nduk, cepetan!" titah Araya lagi.
Mendengar hal itu, Elleanor langsung memaksimalkan kecepatannya menyisir rambut. Atau Araya akan berteriak, sampai gendang telinganya nyaris jebol.
Elleanor keluar kamar dengan baju renda warna-warni yang dibeli lebaran tahun kemarin. Aroma sabun mandi menguar dari tubuhnya. Kini ia sudah wangi, tidak bau kambing seperti tadi.
Elleanor gadis bule dengan tinggi rata-rata dan badan yang cenderung semok. Wajahnya cantik, dengan hidung mancung khas orang barat. Kulitnya putih bersih dan sehat. Rambutnya bergelombang kecoklatan, seperti milik Taylor Jonas McAdam, ayah kandungnya.
"Nanti kalau Ibuk udah duduk di sana ...." Araya menunjuk salah satu kursi di ruang tamu. "Ini kamu bawa ke depan, ya!" Ia menyerahkan satu nampan berisi kopi hitam dan gorengan.
"Lho, kok jadi aku? Kenapa nggak sekarang aja Ibuk bawa ke sana?" Elleanor kebingungan.
"Bul, siapa tamunya? Kok ibukmu sampai ndak ikut unting hari ini?"
"Iya, Bul. Kayaknya orang kaya. Mobilnya Fortuner warna putih. Uapik pol(1)!"
"Jangan-jangan ibukmu mau nikah ya, Bul?"
"Wah, si Bule mau punya bapak baru!"
Mereka heboh sendiri, padahal Elleanor tidak tahu menahu tentang siapa tamu yang datang ke rumahnya. "Aku ndak tahu. Tapi masak iya, sih, Ibuk mau nikah?" Elleanor menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"NDUK!" Seruan bernada tinggi terdengar.
Elleanor menoleh setelah mendengar seruan itu-suara Araya-ibunya.
"Duh, kenapa Ibuk kok manggil aku, ya?" Elleanor semakin dibuat bingung.
"Tuh kan!" seru Bulek Astuti. "Pasti kamu mau dikenalin sama calon bapakmu!"
Karena celetukan Bulek Astuti, seketika mereka semua tertawa-kecuali Elleanor.
Mereka kembali bersahutan, menyerukan kalimat-kalimat bernada menggoda, tentang seseorang yang diduga sebagai calon bapak si Bule.
"Udah, sana pulang! Nanti calon bapakmu keburu pulang!"
"Nah, ini Elleanor, Mas!" Araya mulai memperkenalkan dirinya.
"Cantik, sesuai dengan bayangan saya." Suara lelaki itu terdengar rendah dan sangat serak . Sepertinya ia adalah seorang perokok berat.
Elleanor mengulurkan tangan, dan lelaki itu segera menyambut. Jemari mungil Elleanor, seakan tenggelam dalam telapak tangannya yang kokoh.
Mata mereka pun bertemu.
Kini Elleanor bisa melihat dengan jelas bagaimana wujud calon bapaknya. Lelaki itu memakai seragam PNS. Usianya antara 35 sampai 40 tahunan. Rambutnya hitam legam, dengan garis wajah yang tegas. Jangan lupakan kumis tipis yang menghiasi wajahnya.
Tak ingin berlama-lama di sana dan mengganggu urusan Araya -- juga semakin tak nyaman dengan tatapan si calon bapak--Elleanor segera berpamitan dengan sopan. Ia meletakkan nampan di meja dapur terlebih dahulu, sebelum kembali masuk ke kamarnya.
Lumayan juga selera Araya. Lelaki itu memang beraura negatif serta suram, tapi jujur saja tampangnya me nawan. Elleanor tersenyum - senyum sendiri di atas kasur. Menatap langit - langit tanpa plafon, yang dipenuhi dengan sarang laba -blaba di s ana-sini. Sepertinya ia harus bersih - bersih kamar besok.
Elleanor membayangkan kehidu panya kelak saat lelaki itu sudah men jadi bapaknya. Membaya ngkan bagaimana rasanya memiliki seorang bapak. Mengi ngat Elleanor sama sekali belum pernah merasakannya. Rupa bapaknya seperti apa saj a ia tak tahu. Araya menyembunyika nnya rapat-r apat. Elleabnor hanya tahu ba paknya se orang bule.
Sayup-sayup suara obrolan A raya dan laki-laki itu terdengar sam pai sini. Senyuman Elleanor merekah. Ia tidak bermasuk meng uping. Salah kan rumah ini yang terlalu kecil, sehingga suara seren dah apa pun akan tetap terdengar dari segala sudut rua ng.