Pertengkaran di Rumah Keluarga Naira

2031 Words
Pagi-pagi sekali Naira mendatangi rumah keluarganya. Wanita itu merapatkan jaket yang dipakainya saat merasakan udara dingin pagi itu menembus pori-pori jaket dan membuatnya kedinginan. Memang masih sangat pagi. Jarum pendek jam belum menunjuk ke angka lima dengan benar. Naira berjalan cepat, masuk ke halaman sempit rumah satu lantai berukuran 5x6 meter yang sudah beberapa waktu tidak didatanginya. Mengayun beberapa langkah hingga tiba di depan daun pintu, Naira langsung mengetuk benda persegi dari kayu yang terlihat sudah usang. Warna yang semula coklat—sebagian sudah menghitam, dan sebagian lagi mengelupas. Sementara dinding rumah itu jauh lebih mengenaskan. Sebagian besar cat sudah mengelupas dan jamuran. “Bu … Don,” panggil Naira setelah mengetuk. Buku-buku tangan kanan wanita 26 tahun tersebut masih menempel pada daun pintu. Menunggu hingga tiga detik, Naira kembali menggerakkan tangannya--hingga kembali terdengar suara tumbukan kerasnya tulang jari serta kerasnya kayu. Suara yang ditimbulkan membuat seseorang yang berada di dalam rumah akhirnya bergegas keluar. Naira menurunkan tangan, lalu kakinya terhela ke belakang satu langkah. Sepasang matanya masih terarah ke depan. “Na.” “Bu.” Naira menarik langkah ke depan. Tangan kanan wanita itu bergerak meraih tangan kanan sang ibu, lalu mencium punggung tangan wanita yang sudah tidak lagi muda tersebut. Naira mengedip melihat wajah sang ibu yang terlihat sudah semakin menua. Kerutan di wajah wanita yang sudah melahirkannya tersebut semakin banyak. Naira menghembus pelan napasnya. “Ayo, masuk.” Sang ibu menarik tangan Naira. Naira melangkah melewati ambang pintu. Wuri, ibu Naira segera menutup pintu kembali. Naira mengedarkan pandangan matanya, lalu mengembuskan napas pelan. Pengap. Rumah sempit yang dihuni keluarganya tidak memiliki cukup ventilasi. Sebenarnya, Naira sadar rumah ini tidak layak. Bukan hanya cat yang sudah mengelupas dan berjamur, serta ventilasi yang kurang. Lantai rumah yang hanya ditutup dengan semen itu pun sudah retak-retak. Begitupun dengan beberapa bagian dinding yang nyaris terbelah. Benar-benar miris. Namun, Naira tidak mampu memindahkan keluarganya ke tempat yang lebih baik. Untuk bisa membayar kontrakan rumah ini saja, Naira harus berhutang pada bos tempatnya bekerja dan membayar dengan cara mencicil tiap bulan. "Doni kemana, Bu? Masih belum bangun?" tanya Naira sambil mendesah. "Belum pulang. Dia tidur di rumah temannya." "Tidur di rumah teman? Dia sudah kerja?" tanya Naira penuh harap. Melihat gelenggan kepala sang ibu, wanita itu hanya bisa mengeluh dalam hati. Entah ada apa dengan para pria di rumah ini. "Suruh dia kerja, Bu. Nggak usah berharap kerjaan yang muluk. Apa saja yang penting kerja. Dia hanya lulusan SMA." Naira mengucapkannya dengan nada kesal. Jika saja adiknya yang sudah berusia 22 tahun itu bekerja, tentu saja tanggung jawabnya tidak sebesar saat ini. Mereka bisa memikul beban hidup keluarga bersama. Sayang ... sang adik masih saja lebih memilih bermain dibanding bekerja. "Nanti Ibu akan bicara lagi dengannya." Wanita itu menoleh, lalu tersenyum menatap sang putri. "Tumben pagi-pagi pulang. Lagi libur?" Wuri mengalihkan pembicaraan sambil membawa langkah kakinya menuju sofa panjang yang bisa menampung tiga orang. Sofa yang busanya sudah menipis hingga saat seseorang duduk, p****t mereka akan langsung mengenai rangka kayu di dalam sofa. Naira tentu saja sudah paham. Wanita itu menurunkan p****t dengan hati-hati, sambil tangan kirinya meletakkan kantong plastik yang ditentengnya dari tempat kos. Ya … karena pekerjaan, Naira memang memilih tinggal di kos bersama seorang temannya. Teman senasib dan seperjuangan yang sama-sama harus merelakan sekolah demi untuk mengais rezeki. “Bawa apa?” Wuri tidak hanya bertanya. Tangan kanan wanita itu langsung terangkat, meraih lalu menarik mendekat kantong plastik yang ada di depan putrinya. Tubuh wanita itu terdorong ke depan. Tangannya membuka kantong plastik, lalu kepalanya melongok ke dalam. Hidung wanita itu bergerak-gerak. “Wah … baunya enak. Kamu habis gajian?” tanya Wuri begitu melihat apa yang ada di dalam kantong plastik tersebut. Menarik kembali punggung ke belakang, pegangan tangan wanita itu ke kantong plastik terlepas. Wuri menoleh ke samping. “Ibu sudah ditagih uang seragam Malika,” beritahu wanita itu dengan wajah sedih. Sepasang matanya menatap sang putri penuh harap. “Bayaran Ibu cuma bisa buat makan sehari-hari.” Wuri melanjutkan. “Apa bapak masih belum kerja?” tanya Naira sambil menghembuskan napas. Dia benar-benar kesal pada pria itu. Ibunya bekerja keras banting tulang menjadi buruh cuci di rumah tetangga, tapi sang suami hanya ongkang-ongkang di rumah. “Sudah cari, tapi belum dapat.” “Carinya dimana, Bu? Kalau carinya di kolong ranjang ya nggak bakalan dapat. Sudah lebih dari lima tahun. Kenapa nggak ibu ceraikan saj—” "Husss, kamu itu kalau ngomong. Hati-hati, jangan ngomong sembarangan. Nanti kamu bisa kualat.” “Sampai kapan Ibu mau terus bertahan? Kalau mau, bapak bisa jadi buruh panggul di pasar, atau tukang cuci piring di tempat makan, tukang parkir, atau apa saja selama bisa menghasilkan uang. Tapi sepertinya bapak lebih senang hidup sebagai benalu.” “Siapa yang kamu bilang benalu?” Naira dan ibunya langsung menoleh ke arah datangnya suara. Naira menatap kesal seorang pria yang baru keluar dengan rambut berantakan, dan wajah yang jelas menunjukkan jika pria itu baru saja bangun. Oh … dan lihatlah bagaimana pria itu menguap lebar tanpa merasa perlu menutup mulutnya yang pasti bau. Untung jarak mereka masih jauh, batin kesal Naira. Pria yang memakai kaos oblong putih dan sarung itu berjalan menghampiri dua perempuan yang duduk bersebelahan di sofa. Pria itu kemudian menjatuhkan tubuh di salah satu sofa single yang kemudian membuatnya meringis. Dia lupa jika busa sofa itu sudah nyaris tidak terasa. Pantatnya sakit saat menghantam rangka kayu sofa. “Kamu kerja dari pagi sampai pagi, tapi nggak bisa ganti sofa rumah ini.” Pria itu memiringkan posisi duduk, lalu satu tangannya bergerak mengusap p****t. Pria itu kembali meringis. "Kamu lihat ini ... p****t bapak sakit. Sofa ini seharusnya sudah dibuang," lanjut pria itu sambil meringis. Naira menatap kesal pria benalu itu. Hah … mengganti sofa rumah? Dia saja sudah mengurangi jatah makan setiap hari hanya agar bisa mengumpulkan uang. Siapa yang lebih banyak menghabiskan hasil keringatnya? “Sofa ini sama sekali nggak penting. Yang penting kita masih bisa makan.” Akhirnya Wuri yang menjawab suaminya. Wanita itu menarik napas pelan-pelan sebelum menghembuskannya. “Nggak penting bagaimana? Mana yang lebih penting … dia pakai uangnya untuk membeli sofa yang lebih layak, atau pakai uangnya untuk melakukan hal yang aneh di luar sana?” “Apa maksud Bapak? Hal aneh apa? Aku kerja dari pagi sampai pagi lagi. Apa yang bisa kulakukan di luar sana?” Naira tidak terima. Gerak d**a wanita itu sudah terlihat lebih cepat. “Kamu sendiri yang bisa jawab. Kami mana tahu apa saja yang kamu lakukan di luar sana. bisa saja kamu pergi minum-minum dengan teman-temanmu. Kami nggak akan tahu.” Naira membuka mulutnya. Dia benar-benar menyesal mendatangi rumah ini pagi-pagi. Merelakan waktu istirahat yang hanya beberapa jam sebelum harus kembali berangkat bekerja—hanya untuk mendapatkan tuduhan menyakitkan dari bapaknya. Sungguh … Naira benar-benar muak dengan pria itu. Sayang, sang ibu masih betah mempertahankan pria tak berfungsi itu. Benalu! "Jangan nuduh Naira sembarangan. Dia sudah kerja keras untuk kita." Wuri kembali berbicara. Wanita itu menatap sang suami sambil menggerakkan pelan kepalanya. Meminta sang suami untuk tidak melanjutkan perdebatan. Putrinya sudah berkorban banyak untuk mereka. Sayangnya, sang suami begitu bebal. "Mungkin karena uang yang dia kasih nggak halal, makanya hidup kita seperti ini." "Pak ...." Wuri menatap sang suami dengan sorot mata kecewa. Naira menekan keras katupan rahangnya. Bibir wanita itu bergerak. Susah payah Naira mengatur napas untuk menekan gejolak emosinya. Rasanya, dia tidak akan bisa menahan diri jika tetap berada di tempat itu. Naira kemudian beranjak. Wanita itu menoleh ke samping. “Aku pergi, Bu.” “Loh … kita sarapan bareng dulu. Kamu sudah bawa banyak lauk.” Wuri ikut berdiri lalu menahan sebelah tangan sang putri. Kepala wanita yang sebagian rambutnya sudah berwarna putih itu menggeleng. "Maafin bapak. Tinggal dulu, kita sarapan bersama. Ibu akan masak--" Lalu sepasang mata wanita itu mengerjap. Mulutnya tertutup--meninggalkan kalimatnya menggantung. Wanita itu menarik napas dalam. “Apa ibu sudah punya beras untuk dimasak?” tanya Naira saat melihat perubahan ekspresi wajah ibunya. Wuri mengerjap pelan. Wanita itu kemudian menelan ludahnya. Tangan yang semula menahan pergerakan sang putri, akhirnya turun. Dia tidak menjawab sang putri, tapi dia yakin—Naira sudah tahu jawabannya. Dan benar saja. Tak lama, uang dua puluh ribu sudah berada di atas telapak tangannya. “Pakai ini untuk beli beras, dan nikmati makanan itu. Jangan khawatir, aku sudah makan lebih dulu. Aku pergi.” Naira menggerakkan jari-jari tangan ibunya hingga wanita itu menggenggam satu lembar uang yang diberikannya. Dia belum gajian. Dia tidak punya banyak uang tersisa. Naira sudah akan memutar tubuh sebelum suara ibunya kembali terdengar. “Na ….” Naira kembali memberikan fokus pada sang ibu. Sepasang netra wanita itu menatap manik mata sang ibu yang sudah berbayang. “Maaf, Ibu selalu merepotkanmu. Terima kasih sudah mengurus kami selama ini. Sekali lagi, Ibu minta maaf.” Wuri menurunkan pandangan mata saat sudah tidak bisa lagi menahan kaca yang melapisi netranya. Satu tetes bening jatuh ke lantai semen yang retak. Naira menarik napas, lalu menghembuskan perlahan. Melihat sang ibu menangis, dia selalu saja tidak tahan. Dia tidak marah pada ibunya. Tidak pernah. Dia hanya tidak menyukai sikap ibunya yang masih mempertahankan pria yang tidak layak disebut sebagai suami. Seorang suami seharusnya mengurus istri dan anak-anaknya. Memberikan nafkah tidak hanya batin, tapi juga lahir—bukan malah menjadi benalu untuk istri dan anaknya. Ibunya susah payah bekerja sebagai pembantu di dua rumah tetangganya, tapi, sang suami justru menghabiskan uang hasil kerja wanita itu dengan membakarnya. Naira benci setiap mengingat itu. Berapa harga rokok sekarang? Kenapa pria itu tidak berhenti saja merokok hingga ibunya bisa menggunakan uang itu untuk membeli beras? “Aku pergi sekarang, Bu.” Naira tidak tahan. Wanita itu langsung memutar langkah kemudian mengayun kedua kakinya. Sementara Wuri mengikuti pergerakan sang putri sambil mengusap kedua pipi yang sudah basah. Dia banyak berhutang pada putri pertamanya. Naira sudah menjadi tulang punggung keluarganya sejak anak itu lulus SMA. Satu tangan Naira terangkat saat sadar jika pipinya sudah basah. Entah kapan cairan itu turun dari sudut-sudut matanya. Menarik napas dalam-dalam, tangan kanan Naira meraih handel pintu. Naira memutar kepala saat mengingat sesuatu. "Berapa uang seragam Malika?" tanya Naira dengan sepasang mata yang sudah memerah. Untuk adiknya yang satu itu, dia akan berusaha mencari uangnya. Naira sangat mencintai Malika. "Tu-tujuh ... ratus ribu." Wuri menurunkan pandangan matanya. Dia sebenarnya malu. Akan tetapi, hanya Naira yang bisa dia minta bantuan. Putranya yang seharusnya sudah bisa bekerja itu justru lebih suka bermain bersama teman-temannya. Dua tangan Wuri yang terjalin di depan tubuhnya itu teremas pelan. Dia merasa gagal menjadi seorang ibu. Seharusnya dia bisa membiayai putrinya, bukan malah sebaliknya. Naira bahkan harus merelakan bangku kuliah yang didapat dari jalur prestasi, hanya karena harus bekerja demi menghidupi keluarganya. Mengingat hal itu, rasa bersalah Wuri semakin besar. Naira menarik pelan napasnya. Sepasang bibir wanita itu sudah akan terbuka, tapi urung saat mendengar suara pria yang masih betah duduk di sofa yang katanya sudah seharusnya dibuang itu. "Uang tujuh ratus ribu itu nggak banyak. Kamu bisa melayani satu pria untuk mendapatkan uang itu." Refleks kepala Naira memutar ke arah datangnya suara. Jika saja tidak takut dosa, dia akan menghabisi pria tidak tahu diri itu. "Apa yang Bapak katakan? Putriku bukan p*****r!" "Halah ... kelihatannya saja dia baik. Kamu nggak tahu kelakuannya di luar sana, Wur." "Sebenarnya, apa yang Bapak mau? Sekalipun aku melacur, Bapak juga senang menikmati uangnya. Siapa yang lebih hina? Seorang anak yang melacur demi keluarganya, atau seorang Bapak pengangguran yang bisanya menikmati uang dari hasil melacur anaknya?" "Kamu!" "Sudah, Na. Sebaiknya kamu pergi. Jangan pedulikan omongan Bapakmu." Wuri memutar tubuh putrinya. Meminta sang putri untuk segera pergi ketika melihat suaminya mulai beranjak dari tempat duduk. Dia tidak mau keduanya kembali bertengkar. Sulit berada di posisinya. Yang satu putrinya, dan yang satu suaminya. Menghembus keras napasnya, Naira kemudian menarik handel pintu. Rencana untuk segera mengayun langkah meninggalkan rumah yang seperti neraka baginya itu--urung saat mendapati seorang wanita dengan tubuh tambun dan perhiasan besar-besar menggantung di leher dan tangannya--sudah berdiri di depan pintu. “Oh … kebetulan kamu ada di rumah, Na. Kontrakan rumah ini belum kamu bayar. Sudah terlambat dua bulan. Cepat lunasi, atau keluargamu harus angkat kaki dari rumah ini. Masih banyak orang yang nyari kontrakan dengan harga murah.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD