***
"ARRRGGHHHHHH!!" Teriakan dari Danzel menggema di dalam hutan. Binatang yang ada di sana pun sontak menjauhi area itu.
Jika dilihat, sekeliling hutan yang sering ia jadikan tempat untuk melampiaskan rasa sakit saat kutukan nya aktif, terdapat banyak bekas cakaran yang besar di beberapa pepohonan.
BRAAK!
Tanah yang Danzel pijak seakan bergoyang bahkan sampai retak, saat pria itu menghantam pohon besar hingga tumbang. Kondisinya pun terlihat mengerikan.
Rambut yang memanjang, disertai dengan kuku juga giginya yang mencuat keluar bagai Vampire, Mata merah, tak lupa juga dengan bentuk tubuhnya yang membesar dengan dikelilingi garis hitam yang berasal dari tanda kutukan di telapak tangannya.
Tidak ada yang tahu mengenai wujud nya yang seperti ini kecuali kedua orang tuanya--Kenzie dan Jesslyn-- yang sudah pernah menyaksikannya secara langsung saat kutukan-nya aktif.
Namun, saat itu terjadi dengan sangat menegangkan. Disebabkan oleh kesalahan yang Danzel lakukan pada Jesslyn membuat Kenzie marah besar. Hingga terjadilah pertengkaran ayah dan anak itu dalam wujud devil mereka.
"Grrrr."
Wujud Devil Danzel tiba-tiba berhenti memberontak. Dengan napas terengah-engah, Danzel yang berwujud mengerikan itu menyentuh d**a nya yang tiba-tiba berdenyut, ditambah pikirannya yang tiba-tiba kembali sadar.
Perlahan, wujud Danzel kembali ke wujudnya yang semula. Meskipun matanya masih samar berwarna merah.
"Argh!" ringis Danzel jatuh terduduk saat merasakan remuk di sekujur tubuhnya.
Rasa sakit seperti itu sudah sering ia rasakan hampir setiap hari. Setiap segel kutukan nya aktif dan ia kembali sadar, tubuhnya akan terasa remuk dan panas, terutama di area d**a nya. Ia merasa seolah tertusuk ribuan jarum.
Namun ada satu hal yang membuat Danzel cukup heran kali ini. Ia tidak merasakan sakit yang berlebihan seperti biasanya. Ia hanya merasa remuk di seluruh tubuhnya, namun hal itu tentunya tetap saja sangat menyakitkan. Rasa sakitnya hanya berkurang sedikit dari penderitaan yang seharusnya ia dapatkan.
Danzel hanya mengatupkan bibirnya rapat mencoba mengalihkan sedikit rasa sakit yang ia rasakan di seluruh tubuhnya.
Danzel menatap lurus ke depan dengan pikiran yang berkecamuk. Masih dengan raut wajah datarnya, pria kejam yang sialnya tampan itu melesat meninggalkan hutan menuju istana Ophelix.
*****
Kalian bisa menganggap Annastasia gila. Sejak pertama saat ia kembali bekerja, ia terus tersenyum lebar yang entah karena alasan apa.
Namun di detik berikutnya, gadis itu melunturkan senyumannya dan menyenderkan tubuhnya ke dinding dengan lesu, jangan lupakan dengan bibirnya yang mengerucut kesal.
Tentu saja kesal. Bagaimana tidak? Seseorang yang ia cari sedari kakinya menginjak lantai Restoran, ia tidak pernah menemukan objek yang ia cari.
Siapa lagi jika bukan Danzel? Pria misterius yang menolongnya dari para Vampire.
Pria itu menyuruhnya untuk tutup mulut soal kejadian saat itu, dan Anna tentu saja akan menurutinya.
Ya! Sedari tadi gadis itu memang mencari Danzel. Ia ingin menyelidiki lebih dalam mengenai mahluk Immortal. Bukankah kejadiaan saat Danzel menyelematkannya terasa aneh?
Hey! Tentu saja, Danzel menyelamatkan dirinya dari jeratan para Vampire. Dan sangat tidak mungkin jika Danzel hanya seorang manusia biasa bisa mengalahkan para Vampire yang jelas-jelas bukanlah manusia.
Belum lagi, para Vampire itu langsung hangus terbakar secara tiba-tiba, dan ada juga yang terlempar menghantam tembok. Memikirkan hal itu sudah membuat Anna yakin, jika Danzel bukanlah manusia biasa.
"T-tapi siapa dia?" gumamnya.
Pluk!
"Apa yang siapa?"
"AAAAA--Hmmmppp!"
Anna membelalak saat ada seseorang yang tiba-tiba menepuk pundaknya. Ia bahkan menjerit namun dengan cepat gadis tadi yang menepuk pundak Anna langsung membekap mulut Annastasia.
"Hey! Kecilkan volume suaramu!" ketus Gadis itu seraya melepaskan bekapannya dimulut Anna.
"Sebaiknya kau bekerja, Anna. Jika tidak, kau akan ditegur atau disinisi Indrya dan Liora," sambung Gadis itu yang ternyata adalah Pristin.
Anna mendengus pelan, tapi tak urung ia mengangguk menyetujui. Akhirnya mereka berdua kembali melanjutkan pekerjaan mereka, untuk mengantarkan pesanan para pelanggan.
.
.
Beberapa hari telah berlalu semenjak Anna mulai bekerja di Restoran RND seperti biasa tanpa diganggu Indrya dan Liora lagi.
Hari ini Anna terlihat berbeda dari biasanya. Tidak! Bukan karena ia tampak sangat cantik dengan mengenakan pakaian yang sangat indah. Dia memang selalu terlihat cantik, kan?
Oke lupakan! Yang membuatnya terlihat berbeda karena ia yang sepertinya tampak tidak semangat. Berbeda dari hari-hari sebelumnya di mana Anna selalu terlihat semangat.
Ia sangat kesal. Bagaimana tidak? Terhitung sudah berapa hari ia bekerja, tapi ia sama sekali belum pernah bertemu dengan Danzel lagi.
Ia tidak pernah melihat tanda-tanda keberadaan kakak dari Daniel itu. Anna justru lebih sering menghabiskan waktu bersama Daniel.
Bagaimana bisa? Entahlah! Ia juga tidak mengerti. Mereka hanya terkadang bertemu saat jam makan siang, dan berakhirlah mereka berdua sering makan bersama.
"Sebenarnya ada apa denganmu? Wajahmu sangat jelek dengan bibir yang mengerucut seperti itu!" ketus Pristin yang kesal karena terus diabaikan.
Anna menoleh ke arah Pristin dengan tatapan sendunya. "Dia tidak pernah muncul. Aku kan ingin bertemu dengannya," gumam Anna membuat Pristin semakin kesal.
"Ah, Mr. Danzel?" tanya Pristin yang dibalas tatapan bingung Anna.
Pristin yang mengerti pun kembali melanjutkan ucapannya. "Nama kakak Mr. Daniel itu Danzel Vanc Reynand. Aku tidak sengaja mendengar gosip para pelayan perempuan di dapur."
"Dengar! Lupakan mimpi mu yang ingin dekat dengan pria tampan itu. Kau tahu? Mungkin seluruh gadis single di dunia ini akan menjadi sainganmu," sambung Pristin dengan nada mengejek.
"Ck!" decak Anna seraya memalingkan wajahnya dari Pristin. Gadis itu kembali berkutat dengan pikirannya. Mengabaikan Pristin lagi.
'Jadi namanya Danzel?'
'Ck! Danzel Vanc Reynand!! Kau dimana?!' pekik Anna dalam hati tanpa sadar.
Namun, yang gadis itu lakukan berhasil membuat si empunya nama mengernyit saat merasakan kepalanya yang berdenyut nyeri dan telinganya yang tiba-tiba berdengung.
Pria itu memegang pelipisnya. Membiarkan para petinggi mengeluarkan suara mereka. Ya, Danzel tengah rapat dengan para petinggi kerajaan saat ini, begitupun dengan ayahnya--Kenzie.
"Ada apa?" tanya Kenzie saat menyadari kejanggalan pada putranya.
Hal itu sontak membuat seluruh pasang mata menatap Danzel dengan tatapan yang memiliki berbagai macam arti.
"Tidak apa-apa," jawab Danzel sembari menegakkan kembali duduknya.
"Hentikan rapat ini! Pembahasan kali ini sangat tidak penting," lanjut Danzel langsung beranjak pergi.
Kenzie tersenyum miring melihat kepergian putranya. Sifat putra pertamanya itu benar-benar sama dengannya dulu. Saat ia belum bertemu dengan istrinya.
Saat Kenzie juga telah meninggalkan ruang rapat, para petinggi istana mulai mengeluarkan kekesalan mereka.
"Lord kita sekarang sangat angkuh. Jika bisa, harusnya kita menggantinya saja," ujar salah satu menteri menatap pintu yang telah tertutup dengan sinis.
"Bukankah Lord Kenzie juga seperti itu dulu, Daroll?" balas yang lain dengan santai.
"Tidak! Yang ini berbeda, Lathan. Lagipula, dia pasti sangat mudah dikalahkan oleh musuh karena Mate-nya belum ditemukan!" bantah Daroll keras.
"Tapi tetap saja dia kuat meskipun Mate-nya belum mendampinginya."
"Kutukan-nya masih aktif. Bagaimana jika musuh tiba-tiba datang dan kutukan-nya aktif? Ingat! kita tidak tau apakah Devil Lord Danzel akan melindungi kita ketika itu, atau malah membunuh kita."
Para petinggi lain hanya menyaksikan perdebatan dua orang menteri itu tanpa berniat melerai. Mereka juga setuju tentang perkataan Lathan jika Danzel memang tetap kuat dan kejam tanpa sang Mate. Namun, perkataan Daroll juga berhasil membuat mereka ragu.
Memang benar, jika kutukan itu aktif, tidak ada yang tau apakah Danzel dalam keadaan sadar atau tidak. Karena mereka semua belum pernah menyaksikannya langsung. Bisa saja Devil Danzel malah menyerang mereka.
Diangkatnya Danzel sebagai Lord memang banyak yang tidak menyetujui. Dengan alasan, dia memiliki kutukan yang mengerikan. Namun, tidak ada yang bisa menentang Kenzie, bukan? Dia tetap menjadi penguasa seperti biasanya. Lagipula sudah menjadi turun temurun, putra pertama yang akan menjadi penerus.
"Hal itu tidak akan terjadi kalau tidak ada pengkhianat dari kita," ujar Lathan menekan kata 'pengkhianat'. Pria yang terlihat lebih muda dari tiga panglima terdahulu kerajaan itu segera beranjak meninggalkan ruang rapat.
Daroll menatap punggung Lathan yang mulai menjauh dengan tajam. Jangan lupakan kedua tangannya yang terkepal kuat.
Sementara itu, Danzel berjalan menuju kamar ibunya. Untuk saat ini, hanya ibunya yang bisa membuat Danzel tenang.
Sesampainya di depan pintu kamar ayah dan ibunya, Danzel langsung masuk dan melihat Kenzie yang tengah berbaring dengan menggunakan paha Jesslyn sebagai bantalan.
"s**t!!!"
Jesslyn terkejut saat Kenzie tiba-tiba mengumpat. Berbeda dengan Danzel yang tetap menampilkan raut wajah datarnya.
"Sudah kubilang carilah kekasih! Jangan ganggu ibumu. Dia itu milikku!!" sentak Kenzie menatap Danzel sinis yang entah sudah ke berapa kalinya Kenzie ucapkan jika waktunya bersama sang istri terus diganggu oleh putra-putrinya.
Pletak!
"Awwh! Apa yang kau lakukan, sayang?" seru Kenzie tak terima saat Jesslyn menepuk bibirnya.
"Diam!" desis Jesslyn melototkan matanya. Hal itu berhasil membuat Kenzie menutup mulutnya rapat, namun tidak dengan tatapannya yang menatap Jesslyn tajam dan jangan lupakan rencana licik yang ia susun di kepalanya untuk sang istri.
Sedangkan Jesslyn lebih memilih menatap Danzel lembut membuat Kenzie semakin panas dan memilih duduk tegap.
"Kemari sayang! Ada apa?" Tanya Jesslyn disertai senyum lembutnya. Danzel menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaan Jesslyn tanpa mengeluarkan suara.
Jesslyn mengernyit saat menyadari pikiran putranya yang sepertinya sangat kacau. Wanita cantik itu beranjak dari posisinya kemudian mendekati Danzel yang masih setia berdiri di tempatnya.
Danzel bisa melihat ayahnya dari ekor matanya yang menatap ia dengan tajam saat melihat Jesslyn semakin mendekatinya.
Tanpa kata, Jesslyn merengkuh Danzel yang tingginya jauh di atasnya. "Ikuti saja kata hatimu," serunya sembari mengelus punggung Danzel dengan sayang.
Danzel membalas pelukan sang ibu dengan senyum tipis yang merekah. Sangat tipis sehingga Kenzie maupun Jesslyn tidak dapat melihatnya. Namun, mereka tahu jika putra pertama mereka itu sudah merasa tenang.
Jika Danzel merasa tenang, maka berbeda dengan Kenzie yang menghembuskan nafasnya kasar dan melesat pergi meninggalkan kedua orang yang masih berpelukan itu.
"Suamimu marah."
Jesslyn terkekeh mendengar bisikan Danzel. "Nanti akan luluh juga," balas Jesslyn tersenyum yang sebenarnya lebih terlihat menahan tawa.
Danzel hanya menggelengkan kepalanya pelan dan mengecup pipi Jesslyn kemudian membuka portal meninggalkan Jesslyn yang kini menghembuskan napasnya.
"Sekarang waktunya untuk merayu suami mu, Jesslyn."
*****
"Ayolah. Sampai kapan kau terus cemberut seperti itu?" seru Pristin semakin kesal karena Anna masih terlihat tak semangat.
Anna hanya menatap Pristin sekilas kemudian kembali fokus membuat Coffe late pesanan pelanggan.
"Sampai pria tembok itu ada di depanku," jawab Anna lirih.
"Ck," decak Pristin seraya menggelengkan kepalanya.
Pristin kembali terfokus pada tugasnya. Hingga kedatangan seorang pria yang rupanya adalah Pak Alex. Hal itu membuat Pristin menoleh bingung sedangkan Anna masih dengan tidak semangat melakukan tugasnya.
"Anna? Mr. Daniel meminta mu agar ke ruangannya."
Berbeda dengan Anna yang nampak bingung mendengar penuturan Alex, Pristin justru membelalakkan matanya dengan mulut setengah terbuka.
"O-oh baiklah," balas Anna segera. "Pris, lanjutin yah," pinta Anna memelas. Yang mau tak mau disetujui oleh Pristin.
Gadis itu segera beranjak dari duduknya mengikuti Alex. Sesampainya di sana, Pak Alex meninggalkannya di dalam ruangan Daniel.
Anna mengernyit karena ia tak melihat keberadaan seorang pun dalam ruangan itu. Gadis itu mengedarkan pandangannya untuk mencari keberadaan seseorang yang mungkin tak ia lihat tapi tetap saja kekosongan yang di dapatinya.
Anna mendengus lirih seraya berbalik berniat meninggalkan ruangan itu, tapi mendengar sebuah suara sontak membuatnya mengurungkan niatnya yang ingin keluar.
"Berhenti!"
Deg!
Jantung Anna berdegup kencang saat menyadari siapa pemilik suara yang baru saja mengalun seksi di telinganya.
'D-dia.....'
Perlahan, Anna membalikkan tubuhnya dengan matanya yang kini terfokus ke arah satu objek. Seseorang yang selama beberapa hari terakhir ia cari keberadaannya dan sekarang pria itu tengah berdiri dengan posisi tubuh bagian belakangnya bersandar di meja.
'Darimana pria itu datang? Padahal tadi ruangan ini kosong,' batin Anna.
Melihat diamnya gadis di depannya membuat pria itu berdecak karena tak kunjung mendengar suara sang gadis.
"Kau tuli?" desis Pria itu sinis.
Anna mengerjapkan matanya tersadar. Ia menatap Danzel dengan pandangan bertanya. Ya, pria itu adalah Danzel.
"H-hah? K-kau bilang apa?" tanya Anna lemot.
Danzel memandang gadis itu datar tanpa berniat menjawab pertanyaannya.
"S-sejak kapan kau disini? Aku tidak melihatmu tadi," tutur Anna yang mulai ikut sebal karena keheningan yang tercipta.
Anna berdecak dalam hati saat Danzel mengabaikannya dan justru berjalan melewatinya menuju pintu yang kini tengah ia belakangi.
"Apa yang kau..." Kernyitan bingung di kening gadis itu semakin menjadi kala melihat Danzel yang mengunci pintu.
Anna kembali merasa gugup berlebihan saat Danzel menoleh dan menatapnya intens. Anna tidak tahu arti dari tatapan pria itu padanya, namun Anna sedikit menyimpulkan jika pria itu terlihat menahan emosi?
"D-danzel," gumam Anna lirih dengan alis bertaut bingung. Gadis itu bahkan sama sekali tidak berniat berbicara formal pada Danzel.
Gadis itu semakin dibuat heran pada sosok pria di depannya ini. Ditambah jarak mereka yang hanya terpaut sejengkal.
"A-aku---" Ucapan Anna terhenti karena terkejut akan apa yang pria itu lakukan padanya. Dengan mata yang terbelalak dan juga mulut yang setengah terbuka, Anna terus berusaha mencari jawaban dan arti dari pelukan Danzel.
Ya! Danzel tiba-tiba saja memeluknya erat seakan pria itu tidak ingin melepasnya ataupun kehilangan dirinya. Salahkah jika Anna berpikir bahwa Danzel memiliki perasaan padanya?
Anna sangat ingin waktu berhenti sebentar saja, bagaimana ia merasakan lengan pria itu yang melingkar erat di pinggangnya, dan wajah pria itu yang dibenamkan di perpotongan lehernya. Bagaimana pria itu menghirup rakus aromanya, memberikan kesan menggelitik di leher gadis itu.
"Grrrhh!"
Anna tersentak kala mendengar suara geraman yang teredam. Ia tahu jika geraman tadi berasal dari Danzel yang masih betah menenggelamkan wajahnya. Jarak keduanya pun tak tersisa, secenti pun tidak ada jarak yang membentangi tubuh keduanya.
Anna tersenyum dengan tangannya yang perlahan terangkat berniat membalas pelukan pria itu. Saat tangannya telah menyentuh punggung tegap pria itu ia kembali merasakan pelukannya yang semakin mengerat, membuatnya mengernyit merasa pelukan Danzel seolah terdapat arti yang tidak ia ketahui.
Anna tidak ingin memikirkan hal lain, setidaknya untuk saat ini. Yang ia tahu, ia merasa sangat senang karena direspon oleh pria dingin nan datar yang kini masih posisi berpelukan dengannya.
Namun, perasaan bahagia itu harus tertepis kala mendengar suara Danzel yang cukup keras meskipun teredam, tapi ia masih bisa mendengarnya jelas.
"Jangan pernah mendekatiku, lagi."
Dengan mata yang terbelalak, sorot mata gadis itu nampak kosong. Dan tanpa sadar setetes air mata jatuh dipipinya. Menyadari pernyataan pria itu yang merupakan bentuk penolakan atas kehadirannya, lagi.