Gadis cantik yang hampir saja menjadi santapan para Vampire itu tak pernah mengalihkan pandangannya dari sosok pria yang baru saja menyelamatkannya.
"K-kau..." gumamnya menggantungkan ucapannya karena masih dikuasai rasa terkejut.
Pria itu menoleh ke arah Anna setelah berbicara pada salah satu Vampire yang ia biarkan hidup. Pria itu menatap Anna tajam sebelum memindahkan arah pandangnya pada kedua lengan Anna yang sempat disentuh oleh kedua Vampire tadi, selanjutnya ia kembali menatap mata gadis itu dengan tajam.
"Apa yang kau lakukan di sini?!" geram Danzel.
Ya, pria yang telah menyelamatkan Anna adalah Danzel. Entah mengapa ia bisa sampai di tempat tersebut. Hanya pria itu yang tahu.
Saat tersadar dari lamunannya, Anna tampak gelagapan. "A-aa. T-tidak apa-apa. Aku hanya sekedar lewat," gumam Anna dengan nada lirih.
Danzel mengacuhkan jawaban gadis itu. Ia justru memilih pergi meninggalkan si gadis sendirian di gang sempit itu setelah mengeluarkan decakan pelan. Namun, langkahnya terhenti kala mendengar pertanyaan yang Anna lemparkan untuknya.
"Tunggu dulu! Kau juga bukan manusia?" Pertanyaan itu spontan saja keluar dari mulutnya. Anna bahkan tak sadar telah melemparkan pertanyaan itu pada pria di depannya ini.
Danzel menatap Anna tajam membuat gadis itu tersadar dengan ucapannya. Anna merutuki dirinya yang berbicara tanpa berpikir dulu. Gadis itu menatap Danzel polos dengan satu tangan yang membekap mulutnya sendiri.
Danzel berbalik menghadap Anna seutuhnya. Pria itu melangkahkan kakinya mendekati Anna dengan tatapan yang tak pernah teralihkan dari mata coklat gadis itu.
Anna membelalak terkejut saat jaraknya dan Danzel yang mulai menipis. Ia segera memundurukan langkahnya. Namun semakin ia mundur, punggungnya malah menubruk dinding yang keras membuat posisinya terhimpit oleh tubuh Danzel.
Deg Deg Deg!
Gadis itu menurunkan tangannya yang semula di mulutnya menjadi di dadanya. Jantungnya berdegup kencang. Sangat kencang malah, dan pasti Danzel bisa mendengarnya. Tapi reaksi pria itu berbeda dengan yang ia pikirkan. Danzel justru semakin menatapnya dengan tajam.
'Bagaimana bisa?!' batin Danzel dengan kening yang mengernyit tipis.
Anna hanya mampu menahan napas saat Danzel semakin mendekatkan wajahnya. Ia bahkan bisa merasakan deru nafas pria itu.
Sedangkan Danzel terus berusaha menggali pikiran Anna dan berniat menghapus ingatan gadis itu mengenai mahluk Immortal. Tapi yang menjadi pertanyaan Danzel, mengapa ia tidak bisa menembus pikiran gadis di depannya ini?
Anna adalah satu-satunya manusia yang tidak bisa ia baca pikirannya. Termasuk satu-satunya orang di antara seluruh kaum Immortal yang tidak bisa ia baca pikirannya selain ayah dan ibunya.
Jangankan untuk membaca pikiran Anna, menghapus ingatan gadis itu tanpa melihat isi pikirannya pun Danzel tidak bisa. Hal itu membuat Danzel marah dan terus menatap Anna dengan tajam.
"Lupakan apa yang baru terjadi!"
Gadis itu mengerjap saat Danzel menghilang dari pandangannya. Apa pria itu baru saja melesat bagai Vampire? Pikirnya.
Anna menghembuskan napas setelah menahannya selama beberapa saat. Jantungnya masih berdegup kencang meskipun Danzel telah pergi.
Anna berjalan meninggalkan gang sempit itu dengan langkah gontai. Tatapan Danzel yang intens dan penuh intimidasi terus terngiang-ngian di pikirannya. Kali ini ia tidak merasa takut, justru ia merasa nyaman ditatap tajam oleh pria itu.
Katakanlah ia aneh ataupun gila. Merasa nyaman saat ditatap tajam oleh seorang pria yang sebenarnya tatapan itu sangatlah menyeramkan. Tapi Anna malah suka tatapan itu padanya.
Di detik berikutnya, senyum gadis itu merekah. "Baiklah tuan Arogan. Aku akan sering membuatmu marah saat bertemu nanti," ujar gadis itu semangat.
______
Ceklek!
Daniel dan Veizy menoleh ke arah pintu yang baru saja dibuka. Danzel masuk dengan raut wajah tak terbaca.
"Dari mana kau, Kak?" tanya Daniel dengan sebelah alis terangkat naik.
Danzel mengacuhkan pertanyaan Daniel dan lebih memilih duduk di sofa menghadap jendela yang berada di belakang tubuh Daniel.
Veizy mengangkat kedua bahunya tak tahu saat Daniel menoleh ke arahnya masih dengan ekspresi yang sama saat bertanya pada Danzel.
Gadis itu pun berinisiatif untuk bertanya pada Danzel. Veizy duduk di samping Danzel, ia memegang bahu pria itu namun Danzel tetap tak mengalihkan tatapannya.
"Ada apa?" tanya nya lembut.
Danzel mengepalkan kedua tangannya dengan rahang yang mengatup keras. Tatapannya semakin menajam.
"Dia manusia."
Veizy maupun Daniel awalnya mengernyit tak mengerti. Namun, saat menyadari kejanggalan dari sikap Danzel saat ini membuat keduanya paham. Daniel dan Veizy sontak membelalak terkejut.
"Bukankah statusnya tak masalah, Kak? Dia tetap akan menjadi belahan jiwa mu," ujar Daniel berpendapat.
Aura kemarahan kembali memenuhi ruangan saat Danzel mendengar penuturan Daniel.
"Tidak! Dia terlalu lemah," tukas Danzel tanpa ekspresi.
Daniel mengernyit. Ucapan Danzel memang terdengar datar dan dingin. Tapi sejujurnya ada terselip nada kebingungan sekaligus ketakutan di dalamnya.
Ketakutan yang untuk pertama kalinya Danzel rasakan dalam hatinya. Selama ini, pria itu tidak pernah merasakan rasa itu. Ia hanya mempunyai amarah di dalam hatinya.
"Sejak kapan kau menyadarinya?" tanya Daniel.
Danzel kembali menghembuskan napasnya. Ia menjawab pertanyaan Daniel, namun sebuah suara terlebih dahulu memotongnya sebelum ucapannya selesai.
"Beberapa hari yang lalu. Tapi saat itu aku belum yakin---"
"Belum yakin atau kau berusaha menepisnya?!"
Veizy maupun kedua pria dalam ruangan itu sontak berdiri saat mendengar suara lembut yang tiba-tiba mengalun.
"Ibu?" seru Daniel tak percaya. Begitupun dengan Danzel yang menatap ibunya heran.
Ini untuk pertama kalinya mereka melihat ibu mereka diizinkan datang ke dunia manusia. Karena biasanya suami tercinta dari sang ibu yang merupakan ayah mereka selalu melarang Jesslyn untuk datang ke dunia manusia. Alasannya hanya satu, pria itu tidak mau Jesslyn jauh darinya.
Jesslyn hanya melemparkan senyum lembutnya ke arah Daniel. Namun sedetik kemudian ia menatap Danzel tajam.
"Lalu di mana gadis itu?" tanya Jesslyn tanpa basa basi.
Danzel menyentuh pelipisnya pelan dengan matanya yang mengarah pada Jesslyn. Wanita yang masih nampak cantik itu masih setia menatap putra pertamanya dengan tatapan tajamnya.
Danzel beranjak mendekati Jesslyn yang masih melipat kedua tangannya di depan d**a. Masih menunggu jawaban atas pertanyaannya barusan.
Danzel mendekati Jesslyn dan meraih pinggang ibunya, melingkarkan kedua lengannya di sana.
"Kapan Ibu sampai? Aku tidak menyadarinya," seru Danzel mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Ekhem!! Kondisikan tanganmu kak. Jika Ayah sampai melihatnya...." sahut Daniel dengan menggantung ucapannya.
Danzel mengacuhkan Daniel. Pria itu masih tetap dengan posisinya memeluk pinggang sang ibu.
"Kau tidak perlu mengalihkan pembicaraan!" sentak Jesslyn. wanita itu menjauhkan kedua tangan Danzel dari pinggangnya.
"Dan berhenti memelukku atau Kenzie akan menghabisimu," lanjut Jesslyn membuang muka seraya duduk di tempat Danzel duduk sebelumnya. Danzel mengangkat sebelah alisnya bingung. Sepertinya sang malaikatnya itu tengah sensitif.
"Apa kabar Veizy sayang?" sapa Jesslyn yang suaranya berubah melembut.
Danzel yang mendengar penuturan sang ibu hanya mampu memutar bola matanya malas seraya mendudukkam bokongnya disofa yang berhadapan dengan ibunya itu.
"Baik, Bibi," seru Veizy tersenyum ke arah Jesslyn.
Wanita berambut hitam itu kembali menoleh ke arah putra pertamanya. Tatapannya pun ikut berubah menjadi menajam. Tertular tatapan Kenzie eh?
"Kau belum menjawab pertanyaanku!" desis Jesslyn. Meskipun tengah kesal, wanita itu tetap terlihat anggun, ditambah suaranya yang tetap terdengar lembut meskipun tengah dalam mood yang buruk.
Daniel beranjak dari kursinya dan duduk di samping ibunya, membuat posisi Jesslyn terhimpit oleh Veizy dan Daniel.
Pria itu merangkul bahu ibunya dengan tatapan menggoda khasnya. "Seandainya saja kau bukan Ibuku. Sudah ku jadikan dirimu kekasihku," ujar Daniel menyeringai.
Jesslyn menggelengkan kepalanya mendengar ucapan Daniel yang sengaja menggoda dirinya dan juga Kenzie.
Ya, Daniel sengaja mengatakannya untuk menggoda sang Ayah yang tidak bisa ke dunia manusia.
Di manapun Jesslyn berada, Kenzie bisa tahu apa yang terjadi di sekeliling istrinya itu. Ikatan mereka sangat kuat sehingga terpisah sejauh apapun mereka bisa saling mengetahui keadaan yang terjadi di sekitar pasangan.
"Lepaskan rangkulanmu Daniel!! TUNGGU SAJA AKU AKAN MENGHAJARMU SAAT KEMARI!!"
Jesslyn tersentak dengan kepala yang sedikit berdenyut nyeri. Ia menyadari jika Kenzie tengah marah besar dan membuatnya pening karna ia juga bisa merasakan amarah pria itu yang terbakar api cemburu oleh putranya sendiri. Konyol bukan? Ya, tapi itulah yang membuat Jesslyn semakin mencintai suaminya itu.
Gelak tawa terdengar memenuhi ruangan. Siapa lagi pelakunya jika bukan Daniel? Menggoda ayahnya merupakan hiburan yang sangat mengasyikkan.
"Kontrol amarahmu, Kenzie. Kepalaku jadi pusing karena amarahmu itu!" Sahut Jesslyn memperingati Kenzie melalui telepati.
Sedetik kemudian ia kembali mendapatkan jawaban dari suaminya yang terdengar sangat khawatir.
"Kau baik-baik saja sayang? Sebaiknya kau kembali sekarang, aku tidak mau kau kenapa-kenapa dan aku tidak ada di sampingmu."
Jesslyn terkekeh mendengar penuturan sang suami. Padahal beberapa saat lalu, pria itu sangat marah dan dalam sekejap berubah menjadi khawatir. Dan Jesslyn bisa bayangkan jika Kenzie tengah gelisah di Istana.
Danzel menghembuskan napasnya kasar. Ia juga bisa merasakan amarah ayahnya karena api cemburu. Danzel beranjak dan berdiri di jendela. Posisinya sama persis saat ia bertemu untuk pertama kalinya dengan gadis itu.
Keinginan terbesarnya sejak dulu hingga sekarang adalah segera bertemu dengan mate yang merupakan belahan jiwa nya. Namun, ia tidak menyangka setelah di pertemukan ia terus berusaha menepisnya. Danzel ingin apa yang baru saja terjadi padanya tidak terjadi. Namun, takdir berkata lain.
Ia dipertemukan dengan sang mate cukup cepat. Tapi ia merasa ekspetasinya selama ini tak sesuai dengan realita yang terjadi saat ini.
Pluk!
Danzel tak menoleh saat merasakan sebuah tangan lembut menepuk pundaknya dengan pelan. Tanpa menoleh ia tahu jika gadis di belakangnya ini adalah Veizy. Ia bisa merasakan auranya yang sangat kental seolah telah menempel kuat di pikirannya.
"Apapun yang telah ditakdirkan untukmu tak bisa kau tepis Danzel. Dia adalah takdir mu. Dia yang akan selalu berdiri di sampingmu kelak. Dan apapun yang terjadi kalian akan tetap bersama."
Danzel mengatupkan rahangnya keras. Ya! Apa yang Veizy katakan memang benar. Sesungguhnya sedari awal Danzel sudah bisa menebak jika Mate nya berbeda dengannya, setelah menyadari dan tidak menemukan sang belahan jiwa di dunia Ophelix. Namun Danzel tidak menyangka jika ia benar-benar mendapatkan seorang Mate manusia, dan gadis itu telah menjadi takdirnya seperti yang baru saja Veizy katakan. Tapi....
"Kau melupakan satu hal, Vee.... aku juga bisa menolak nya."
*****
Keesokan harinya, Annastasia sudah berdiri di depan cermin yang memantulkan tubuhnya dengan balutan pakaian formal.
Jarum jam mengarah pada pukul 06.30 pagi, Anna kembali mengingat saat hari di mana ia bertemu dengan pria arogan dan dingin, sedatar tembok yang seenak jidatnya mengusir dan mengatakan bahwa pria itu membencinya. Oh! Hari itu adalah hari yang sangat menjengkelkan. Tapi mengingat pertemuannya kemarin, senyum lebar langsung muncul lagi di wajah Anna.
Gadis itu akhirnya memilih keluar dari rumah sederhananya untuk menuju tempat kerjanya. Annastasia melangkahkan kakinya melewati gang sempit yang ia lewati kemarin. Ia ingin menjadikan tempat yang awalnya mengerikan itu menjadi tempat terfavoritnya. Mengapa? Tentu saja, karena kejadian kemarin yang membuatnya susah tidur semalaman.
Sekeluarnya ia dari gang tersebut, Anna menunggu di halte. Ia berniat menaiki Bus seperti biasa yang ia lakukan. Karena untuk mengeluarkan biaya menaiki taksi, rasanya sangat sulit, ia terus menanamkan kata berhemat di dalam pikirannya.
Anna sampai di depan gedung Restoran RND dengan durasi waktu hampir 30 menit. Ia tersenyum tipis melihat gedung tinggi di depannya itu.
Perlahan namun pasti, Anna mulai melangkahkan kakinya memasuki gedung. Ia harus segera mengganti seragamnya dan mulai kembali bekerja.
Oh ya, ngomong-ngomong tentang Indyra dan Liora. Kedua gadis itu sudah tidak pernah lagi mengusiknya semenjak Mr. Daniel kembali sering datang ke Restoran.
Sepertinya sih kedua gadis itu sudah berpindah haluan. Ck! Siapapun pria yang mereka taksiri, Anna yakin para pria itu akan menjauh duluan.
Meskipun mereka berdua cantik, tapi sifat centilnya itu sangat terlihat. Bukannya terlihat menggoda, jatuhnya malah mereka terlihat seperti jalang---Eh!
Jika di dunia manusia, Daniel maupun Anna yang sudah bersiap dengan profesi mereka, Maka beda halnya dengan Danzel di dunia Ophelix.
Pagi-pagi sekali, bahkan meskipun matahari belum tampak, Danzel sudah tidak ada di kamarnya.
Jika kalian bertanya di mana keberadaannya? Maka jawabannya hanya satu. Di Hutan Blackstone.
Jesslyn menghembuskan nafasnya pelan saat menemukan kamar putra pertamanya itu dalam keadaan kosong. Bahkan saat ia meraba atas ranjangpun terasa dingin, pertanda jika ranjang tersebut tidak pernah disentuh oleh siapapun sejak semalam.
Jesslyn menyeka air matanya yang sudah menetes. Ia tidak mau suaminya maupun putranya melihatnya menitihkan air mata. Karena yang terjadi pasti, mereka akan marah, menyalahkan siapapun dengan dalih telah membiarkannya menangis. Dan mereka pasti akan melampiaskannya pada para prajurit ataupun pelayan.
"Apa tidak ada yang bisa membantu putraku Kenzie? Aku tersiksa melihatnya seperti ini," ujar Jesslyn melalui telepati.
"Berhentilah memikirkan hal itu sayang. Penderitaan Danzel tidak akan lama lagi, kau tau itu bukan?"
Jesslyn tidak menjawab balasan Kenzie. Wanita itu memilih keluar dari kamar putranya. Entah sampai kapan putranya itu berhenti memasuki hutan di saat malam atau dini hari.
.