Reina Pov.
"Mau mau ke mana sayang?" Mamah bertanya, saat melihatku sudah mengenakan celana jeans warna biru dengan atasan kardigan berwarna putih, dan tangtop di dalamnya berwarna biru dongker. Rambutku yang sebahu aku gerai, dengan sedikit ditarik dengan jepit ke bagian atas telinga. "Kamu cantik sekali, sayang." Mamah memelukku. "Kamu mau pergi sama Raka?"
Ah, Mamah ini, Masa iya aku mau pergi sama Raka harus seribet ini. Dengan Raka, aku merasa tidak perlu terlalu rapi lah. Kami sudah seperti saudara.
"Nana ada janji Mah," ucapku, aku menambahkan sedikit parfhum ke bagian bajuku. Dan sekali lagi membuat Mamah berdecak. "Ya Allah ... anak Mamah sudah dewasa. Kamu udah punya pacar, ya ... kamu mau jalan-jalan ke mana hem?"
"Ihk, Mamah. Nana bukan mau jalan sama pacar. Nana cuma mau ketemu sama orang yang sudah Nana timpuk!" Aku tidak akan bisa berbohong pada Mamah. Aku selalu jujur pada Mamah.
Mamah terlihat menautkan kedua alisnya. "Orang yang kamu timpuk? Maksudnya gimana sih, Mamah gak ngerti."
Aku jadi tergelak kecil, kalau ingat itu. Enggak bisa lupain bagaimana kesakitannya Kak Anji waktu itu. Tapi aku juga sungguh merasa bersalah akan hal itu. "Intinya ini kesalahan aku Mah. Aku bikin Kakak kelas aku terkena bola kasti. Kasihan Mah, wajahnya merah banget. Dan malam ini, dia mau ditemani makan sate di tempat biasa itu."
Aku harap Mamah tidak menertawakanku. Karena mendengar ceritaku yang menggelikan ini. Dan yang paling lebih menggelikan lagi. Aku harus dandan sebaik ini hanya untuk pergi makan sate bersama Kak Anji.
Mamah menegakkan dirinya, dan menatapku dengan senyumannya. "Kirain Mamah, kamu mau nge-date. Malah mau pergi sama orang yang jadi korbannya kamu!" ledek Mamah, dia mencolek daguku gemas.
"Beruntung dia orangnya baik, mah. Jadi aku enggak kena marah, coba saja kalau dia orangnya jahat. Aku pasti bakal kena maki,"ucapku pada Mamah dengan terkekeh.
***
Aku bertemu dengan kak Anji, saat ini laki-laki itu sudah menungguku di tukang sate di pinggir jalan itu. Dia memakai kaos follo berwarna hitam, dengan celana jeans berwarna biru. Jam tangan berwarna silver melekat di lengannya. Dia berdiri dan tersenyum padaku.
"Kamu sudah datang?" tanya nya.
Aku mendekat, dan duduk di kursi kayu yang tersedia. "Maaf Kak, tidak lama menunggu kan?"
Dia menggeleng. "Enggak ko, aku hanya kecewa." suaranya terdengar pelan.
"Kecewa kenapa Kak?" Aku tidak tau apa yang membuatnya mengatakan itu. Apakah dia kesal dan menungguku terlalu lama. Dia menunduk dengan tatapan sedih, lalu menatapku.
"Karena kamu enggak ijinin aku buat jemput kamu. Padahal, aku ingin sekali tahu rumah mu."
Ah, iya. Aku memang sengaja tidak menyuruh Kak Anji untuk menjemputku. Aku malah menyuruhnya bertemu di sini saja. Entahlah, aku hanya merasa kalau Kak Anji tidak perlu datang ke rumah hanya untuk hal ini. Lagi pula, aku tidak ingin ada orang yang tidak terlalu akrab denganku tahu rumahku.
"Ah, gak apa-apa Kak. Kan aku bisa datang sendiri. Lagi pula, dari rumahku ke sini tidak terlalu jauh." Aku sungguh tidak ingin terlibat lebih dengannya.
Kak Anji terlihat mengulum bibirnya. "Ok, tapi kamu enggak terpaksa kan datang ke sini?"
Aku menggeleng. "Enggak lah, Kak. Kebetulan, aku pun lagi pengin makan sate." Dia mengangguk mengerti. "Baiklah, satenya sudah aku pesankan, kamu mau pesan minuman nya? maklum, aku belum tahu apa minuman kesukaan kamu."
Dan hanya Raka dan Gio yang tahu minuman apa yang selalu aku minum disaat makan sate. "Enggak masalah lah, Kak. Aku akan pesan." Kemudian aku pun mendekat ke arah tukang sate."Mang, saya pesen teh panas ya ..."
Sate itu daging, yang juga ada lemaknya. Jadi aku harus memesan teh panas untuk mentralkannya. Setelah makan sate, Kak Anji ingin membayar satenya. Dia menghitung semuanya termasuk sate yang aku makan. Namun dengan cepat aku menahan tangannya. Dia menoleh. "Ada apa Re, ada pengin kamu pesan lagi?"
Aku menggeleng pelan. "Bukan, aku cuma mau bilang. Kalau sate dan teh yang aku makan, biar aku saja yang membayarnya." Aku tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan. Tapi aku melihatnya termenung untuk beberapa saat. "Kamu becanda Re?"
Aku menggeleng serius. Dan dia terlihat tidak senang. "Biar aku yang membayarnya, Re. Aku gak biasa kaya gini." Dan aku juga tidak biasa makan dengan gratisan. Aku dan Raka selalu patungan saat akan maka sate. Jadi menurutku, Kak Anji enggak boleh memaksaku untuk makan sesuatu yang ia kasih.
"Aku udah biasa kaya gini, Kak. Jadi aku gak biasa makan dengan dibayarin." Aku sungguh berharap dia mengerti.
"Tapi jujur, aku enggak biasa kaya gini. Aku lho yang ngajakin kamu makan sate, masa iya, aku gak bayarin punya kamu juga?"
Kak Anji bukanlah orang yang spesial untukku. Jadi menurutku, dia tidak punya kewajiban untuk mentraktirku. "Maaf, Kak. Tapi aku gak bisa." Tidak ingin ada perdebatan yang lebih lagi. Aku pun segera membayarnya dan meninggalkan Kak Anji begitu saja. Aku sungguh tidak ingin ada hubungan yang lebih dari ini dengan yang namanya lelaki. Setidaknya sebelum aku sukses terlebih dahulu.
***
Ojek online yang mengantarkan ku telah sampai di depan rumahku. Setelah selesai aku membayarnya, aku pun berjalan memasuki gerasi. Di sana aku menemukan tiga motor sport dan satu motor metik. Yang ku yakini adalah motor milik Raka, Gio dan Daffa. Kemudian yang motor metik adalah motor miliknya Lani.
"Gue enggak bohong, ini harga bakso kemarin lima ribu. Sekarang jadi sepuluh ribu. Gila aja, gue cuma berani beli satu mangkok!" Itu suara Daffa, dan membuatku harus menahan tawa.
"Anjir! Gue salut kalau ada cewek yang mau sama modelan cowok kaya lo!" Dia Lani.
"Alaaahhh ... palingan yang bakal jadi ceweknya si Daffa cuma lo!" Dan dia suaranya Gio.
Aku mendengar Lani berteriak kesal dan sepertinya memukul Daffa. Karena yang aku dengar suara berikutnya adalah suara rutukannya Daffa pada Lani.
Aku sampai ke ruang tamu dan melihat keempatnya sedang bercanda gurau. Raka yang lebih dulu melihatku merubah mimik wajahnya.
"Cieee! Yang baru pulang nge-date. Lo bawa apa buat gue?" Lani menghampiri.
"Gak asik, lo! Masa pulang nge-date gak bawa apa-apa!" Daffa ikut menimbrung.
"Lah, lo penginnya yang gratisan mulu sih?!" sambung Gio.
Aku hanya terkekeh saja melihat mereka. Kita tertawa bersama, kecuali Raka yang masih saja terdiam.
Membuat mereka bertiga merasa kalau akan ada hal penting yang di bicarakan Raka padaku.
"Duh, Na. Gue haus, gue bikin minum ya!" Gio pergi ke dapur.
"Eh, gue mau ke toilet! Numpang ya?!" Daffa pamit.
"Aih, gue lupa. Kalau gue ke sini mau minta bunga melati di belakang rumah lo!"
Aku hanya melihat mereka bertiga secara bergantian. Aku tidak mengerti kenapa ketiganya malah kabur.
Berakhir dengan Raka, dia berdiri dan mendekat padaku.
"Lo pergi sama Kak Anji?" tanya nya. Aku mengangguk pelan. "Iya. Eh, kalian udah pada lama ya?"
Raka senyum tipis. "Lumayan. Gimana, enak satenya?"
Aku mengangkat kedua bahuku. "Ya ... seperti biasa aja."
Dia mengangguk-angguk. Ia menarik paper bag dari atas kursi. Dan memberikan nya padaku.
"Na, gue minta maaf ya ..."
Tatapan tulus itu, adalah tatapan yang tidak pernah aku temukan sebelumnya. Dia seperti bukan Raka yang aku kenal.
"Ok, enggak apa-apa ko."
Memangnya apa lagi yang harus aku katakan. Raka sudah mengakui kesalahannya. Dia meraih tanganku dan meletakan paper bag itu di sana.
"Ini buat lo, sebagai permintaan maaf gue."
Aku terkekeh, dia agak sweet. Memperlakukan aku seolah bukan Nana yang biasanya.
"Lo lucu banget, ada angin dari mana lo ngasih gue sesuatu?"
Dia terlihat menggaruk pundaknya. "Ya ... gue inget, aja. Lo pernah minta tas slempang bulu-bulu ke gue."
"Itu cuma rengekan biasa. Kayak lo gak hapal aja gue kaya gimana,"
Dia menggeleng pelan. "Enggak masalah, yang penting lo maafin gue. Dan gue janji gak akan kaya gitu lagi."
Aku tergelak dan menerima paper bag itu. "Gue ambil ya ... so care aja lo!"
Dia kembali menggaruk pundaknya. "Gue mau pulang ya?"
Aku menatapnya. "Tumben, biasanya lo nginep di sini. Main catur sama Bokap?"
Dia terkekeh. "Gue ada perlu."
"Ngapain?"
Dia mengusap puncak kepalaku. Aih, dia sok manis dan sok peduli. Aku yakin dia sedang kesurupan jin baik.
Dia terdiam menatapku lekat beberapa saat. "Mancing ubur-ubur sama sponge bob!"
Ya Tuhan ... dia sudah ketularan si Daffa!