Reina POV
Ok, ini bukan keinginanku. Lebih tepatnya keinginan dari Nyokap dan Mamahnya Raka.
Pagi-pagi sekali seperti biasa aku harus ke rumahnya Raka untuk membangunkan laki-laki itu. Menyuruhnya mandi, menyiapkan sarapan untuknya. Aku tahu di sana sudah ada pembantu. Tapi Raka tidak akan mau bangun kalau hanya dibangunkan dengan bahasa mulus seperti bahasanya Mbak Minah.
"Den ... bangun. Sebentar lagi jam tujuh. Den takut kesiangan."
Menurutku cara Mbak Minah membangunkan lelaki menyebalkan itu terlalu lembut. Raka malah keenakan dan hasilnya tidak bangun sama sekali. Dia malah terus tidur, bahkan sampai bolos sekolah karena tidak bisa bangun.
Tapi beda ceritanya kalau aku yang membangunkan mahluk itu.
"NANA!"
Tuhkan, dengan sekali siram saja dia sudah berteriak. Aku tidak perlu menghabiskan banyak tenaga untuk membuatnya tahu diri.
Aku hanya santai, sambil berdiri dengan memegang ember kosong. Melihat Raka mengusap wajahnya yang basah karena ulahku.
"Lo jahat banget, bantal dan kasur gue basah. Selimut gue juga basah. Gue nanti malam enggak bisa tidur di sini lagi."
Dan memangnya apa urusannya denganku. Aku mengangkat kedua bahuku masa bodo, kemudian keluar dari kamarnya. Di luar pintu Mbak Minah hanya meringis saja melihat Tuannya yang basah kuyup.
"Udah Mbak, biarin aja dia," kataku, aku pergi begitu saja ke arah dapur. Aku harus menyiapkan sarapan untuk anak yang terlantar itu.
Sejak Om Hardiawan menceraikan Mamahnya Raka. Lelaki itu jadi jarang tinggal di rumahnya. Dia seolah lupa, kalau rumah megahnya itu adalah miliknya.
Omong-omong tentang Mamahnya Raka. Beliau memang istri kedua. Ah, lebih tepatnya Om Hardiawan menikahi Mamahnya Raka dengan menyembunyikan identitasnya.
Seperti pepatah, sedalam-dalamnya menyembunyikan bangkai. Maka lambat laun akan ketahuan juga. Begitulah kehidupannya Raka. Kedua orang tuanya bercerai karena istri pertamanya Om Hardiawan mengetahui hubungannya itu.
Jadi, ketika Raka sekolah TK nol besar. Perceraian itu pun terjadi.
"Mana sarapan gue!"
Dia sudah duduk di bangkunya, lengkap dengan seragam sekolah yang dikenakannya. Aku tersenyum."Waw! Om Buaya sudah tampan! Mari silahkan dimakan sarapannya Om!" ledeku.
Dia mendengus dan memutar kedua bola matanya jengah. "s****n! Gue tadi lagi mimpi. Tega banget lo!"
Dia mulai menikmati roti yang di dalamnya aku bubuhi dengan selai coklat. Aku menuangkan s**u hangat untuknya.
"Mimpi sama si Jesii, atau si markonah, si siti, atau siapa lagi?"
Dia menatapku tidak suka. "Bukan mereka!" katanya kesal.
Aku mengangkat kedua bahuku, dan ikut duduk kemudian sarapan. "Siapa emang?"
"Pokoknya ada, cewek spesial buat gue," jawabnya terdengar sangat menyebalkan. Bukan aku tidak suka, tapi perempuan yang spesial menurut Raka ini. Palingan perempuan yang tahan seminggu dua minggu dengannya. Setelah itu, perempuan itu pun tidak lagi jadi spesial.
Memang play boy ter-silet.
Semoga aku tidak terkena karma dan dosanya. Amiinn ...
***
Sampai di sekolah, Kak Anji menghampiriku. Saat itu, aku dan Raka baru saja sampai.
"Re, aku padahal pengin banget jemput kamu!"
Dia berdiri tidak jauh dariku dan Raka. Raka yang membuka helmnya, merapikan rambutnya dengan gaya menyebalkan, cukup membuat para cewek yang lewat histeris.
Lebay!
"Oh, gak usah sih Ka. Aku berangkat sama Raka ko," jawabku.
"Oh, begitu ya ... " dia melirik sekilas pada Raka. "Tapi kapan-kapan, bolehkan aku jemput?"
Aku berpikir beberapa saat. Sepertinya tidak ada salahnya kalau aku dijemput Kak Anji. Jadi aku tidak harus merepotkan Raka. Maksudku, Raka ini terlalu banyak mantan dan penggemarnya. Aku agak risih kalau ditatap mereka.
"Ok," jawabku, senyum tipis. Kak Anji terlihat lega. Ia segera pergi meninggalkan kami.
"Ok,"
Aku melihat Raka memperagakan ekspresiku saat bicara dengan Kak Anji barusan. "Apaan sih!" kesalku.
Dia menatapku lekat. "Lo!" dia menekan hidungku kuat. Sehingga aku mundur ke belakang.
Memang tidak sopan!
"Gak gue ijinin buat dijemput si Anji!"
Aku mengerutkan kedua alis, dan kembali menyeimbangkan diriku. "Kenapa sih?"
Dia mengangkat kedua bahunya. "Gak ada! Itu aturan gue aja!" kemudian berjalan meninggalkanku.
"EH, Buaya!" Aku mengejarnya. "Bukan urusan lo ya!"
Raka hanya melirik sekilas kemudian kembali melanjutkan langkahnya. Aku terburu mengejar, mengingat langkahku yang tidak sepanjang langkahnya.
"Ok, asal lo traktir gue sate! Gue hidup bertahun-tahun sama lo! Gak pernah tuh, ditraktir sate!"
"Aduh!"
Si Buaya itu mencubit pipiku. "Yang melarang buat bayarin, siapa Nyonya? Gue tanya?"
Aku mengerucutkan sepasang bibirku. "Sekarang gue lagi boke, soalnya lagi nabung mau beli novelnya Kak Etnilee yang judulnya Lana. Jadi gak ada buat beli sate!" liriku pelan.
Dia menghela napas. "Gak perlu! Nanti gue beliin semua novelnya Etnilee. Udah hayuk!"
Dia menggenggam tanganku, dan mengajaknya ke kelas. "Jadi nanti malem mau anter beli buku nih?" tanyaku. Dia mengangguk tanpa menoleh.
***
Sore hari, pukul tujuh malam. Aku sudah siap dengan celana jeans warna coklat, blouse warna putih lengan panjang. Lalu rambutku aku gerai begitu saja. Tas selempang bulu-bulu yang diberikan Raka waktu itu, aku pakai.
Malam ini aku seneng banget. Karena bakal dibeliin Novelnya Kak Etnilee.
Aku duduk di atas ranjang dengan melihat ponselku yang belum menerima chat dari Raka. Aku tidak mau nunggu di ruang tamu. Takut diledek mamah sama papah.
Aku ingat, kala itu aku tidak bisa menikmati sate yang aku makan. Kak Anji terus saja melihatku. Jadi aku makan sate itu dengan perasaan tidak menentu.
Tapi nanti, aku akan makan dengan lahap. Aku tidak peduli kalau Raka melihatku berantakan. Kami sudah terbiasa, dan aku tidak peduli kalau Raka akan merutuki seperti biasanya.
Ponselku berdering. Sebuah pesan masuk. Aku yakin itu Raka.
Tapi ...
Gio Buaya
Lagi ngapain lo?
Me
Mau makan sate sama Raka.
Gio Buaya
Serius?
Me
Sepuluh rius.
Aku terdiam kala melihat sebuah photo yang di kirimkan Gio. Photo Raka dengan anak kelas sepuluh. Kalau tidak salah Namanya Cantika. Dia memang cantik, sesuai dengan namanya.
Me
Mereka ngapain?
Aku bertanya, karena melihat di photo itu. Raka sedang bertekuk lutut di hadapan gadis itu di sebuah kafe.
Gio Buaya
Biasalah, dia lagi nembak mangsa barunya!
Aku jadi tertawa sendiri. Padahal aku sudah se-rapi ini. Aku melihat penampilanku di cermin. Dan kembali tertawa.
Dasar anak itu!
Rasanya ingin berteriak. Awas saja, aku tidak akan mau bicara dengannya besok.
Ponselku kembali berdenting.
Gio Buaya
Jadi gimana? masih mau makan sate? mau sama gue sama Daffa gak?
Me
Ok, jemput gue.
Aku mencengkram ponselku. Rasanya ingin sekali menelan si Raka saat ini. Hampir kumasukan ponselku ke dalam tas. Kala benda itu kembali berdenting. Dan aku pun melihatnya.
Raka setan Buaya!
Maaf sayang, gue lagi sama selingkuhan dulu. Nanti pasti gue bawain semua bukunya etnilee ok.
Dia mau nyogok aku?
Awas saja, besok dia akan aku cekik sampai mati!