19. Sorrow Editor

1125 Words
Erina merebahkan tubuhnya yang terasa pegal, karena seharian ini ia menghabiskan waktu dengan Jenia dan si mungil Cherry. Ketiganya mengelilingi mal hingga kaki terasa tidak bisa digerakkan lagi. Bahkan Jenia pun sudah sangat kelelahan sehingga Dzaky harus datang menjemput, tentu dengan Alvaro yang menjadi supir pribadinya.   Awalnya lelaki itu memang tidak setuju dengan permintaan Erina yang menginginkan untuk tinggal di asrama saja, alasannya hanya karena hati Alvaro tidak tenang jika ia harus tinggal dalam lingkup seperti itu.   Seharusnya, jauh lebih waspada jika ia tinggal bersama lelaki itu. Tentu saja untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, ia harus berwaspada terlebih dahulu. Meskipun Alvaro adalah teman senegara dan setanah airnya, walaupun sudah tidak lagi memakai kewarganegaraan Indonesia. Akan tetapi, bersama lelaki itu sedikit menyenangkan untuk mengisi hari-harinya yang kosong.   Baru saja Erina hendak memejamkan mata, tiba-tiba ponsel miliknya berdering nyaring, membuat gadis berpakaian piyama teddy bear itu mengurungkan niatnya. Lalu, meraba-raba nakas mencari keberadaan ponsel miliknya yang lupa dimatikan.   Erina mengerutkan keningnya bingung saat mendapati panggilan dari rekan kerjanya, Lusi. Entah kenapa ia jadi cukup waspada gara-gara gadis itu mengetahui siapa Alvaro sebenarnya. Walaupun ia sendiri tidak yakin kalau Lusi akan melupakannya dalam waktu lama, sementara kehadiran Alvaro di kantor tempat kerjanya setiap hari.   “Zhen me la?” tanya Erina menyandarkan tubuhnya di sandaran tempat tidur sembari menyelimuti sebagian tubuhnya. (Ada apa?)   Lusi di seberang sana terlihat merebahkan tubuhnya sembari mengatur pendingin ruangan agar menurunkan suhunya. Entah kenapa malam ini terasa sangat dingin, padahal bukan musim dingin.   “Kamu kemana saja baru bisa dihibungin, Na? Aku dari tadi menelpon kamu tidak bisa,” jawab Lusi sembari mendengus kesal.   Erina tertawa pelan. Ia jadi teringat jika Lusi mencarinya sampai di dalam ruangan, itu pasti akan sangat memalukan. Terlebih dirinya hanya cuti untuk setengah hari saja.   “Maafkan aku, memangnya kamu tidak jadi bertemu penulis hari ini?” Erina terlihat mengerutkan keningnya saat menyadari bahwa keduanya hari ini memang ada janji temu dengan para penulis.   “Itulah yang ingin aku bicarakan malam ini, Erina.”   “Lalu, kenapa kamu tidak cerita dari tadi saja?”   “Aku tidak ingin mengganggu quality time yang jarang sekali kamu dapatkan.”   “Kalau begitu, me time malam ini akan kuberikan pada rekan kerja terbaikku. Silakan bercerita, Lusi.”   “Hmm ... baiklah.”   Erina pun bangkit dari kasurnya menuju balkon, kebiasaan gadis itu ketika sedang mendengarkan Lusi curhat. Karena akan menghabiskan banyak waktu, dan kalau tidak seperti ini bersiap-siap saja keesokkan harinya Lusi akan mengamuk karena curhatannya semalam ia tinggal tidur.   “Kamu tahu kan kalau sebelum bertemu penulis kita harus membawa sampul buku terlebih dahulu? Nah, pagi tadi aku sudah membawa sampul yang diberikan oleh Tim Kreator. Tapi, waktu aku lihat memang sedikit aneh, soalnya sampul itu tidak seperti cerita yang aku baca, Na. Berbanding balik. Oke, aku pikir itu memang kesalahan internal.”   Erina bergumam pelan, menandakan gadis itu mendengarkan dengan seksama sembari mendudukkan diri di kursi tunggal yang ada di sana. Menatap keindahan bulan yang bersinar di tengah gelapnya malam.   “Jadi, ya sudahlah aku lanjut ke tempat pertemuanku sama penulis itu. Sesampainya di sana aku langsung menghampiri dia, karena kebetulan sekali kali ini aku datang terlambat. Namun, waktu aku mau duduk di depan dia, aku terkejut, Na.”   “Terkejut kenapa?” desak Erina penasaran. Ia memang gemas sekali pada Lusi yang sering sekali memotong perkataannya pada saat k*****s.   “Kamu ingat ‘kan kalau aku punya salah satu gebetan waktu kuliah dulu?”   “Ya, aku ingat. Memangnya kenapa?”   “Itu adalah dia, Erina. Penulis Han Shuo adalah gebetanku sendiri.”   “Lalu, apa yang kamu lakukan?”   “Tentu saja aku terkejut dulu sebelum dia langsung menyuruhku duduk, tapi ada yang aneh sama dia.”   “Aneh kenapa?”   “Dia seperti tidak mengenaliku, Na. Padahal waktu kuliah dulu kita sering sekali berjalan bersama. Aku jadi penasaran dia berpura-pura tidak mengenaliku atau memang benar-benar tidak mengenali wajahku.”   “Kurasa gebetanmu itu mengenalinya, Lusi. Hanya saja dia tidak ingin membuka lembaran lama yang sejak lama ditinggalkan oleh sang pemiliknya.”   “Tapi, tidak perlu berpura-pura tidak mengenalinya ‘kan, Erina. Aku gemas sekali ingin mencakar wajah tampannya yang semakin tampan.”   Erina tertawa pelan mendengar nada kesal dari Lusi yang tidak pernah dibuat-buat, dan terkadang gadis itu melakukan apa yang diucapkan dari mulutnya. Kalau gadis itu berkata ingin mencakar, maka pada saat itu juga wajah korban akan tercakar.   “Sudalah, Lusi. Kamu selalu saja seperti itu pada orang lain, kalau nanti tidak punya pasangan jangan salahkan aku, ya? Karena kamu seperti ini saja sudah sangat menakutkan bagi orang lain.”   “Bagus, jadi tidak akan ada yang berani bermacam-macam denganku.”   “Oh iya, bagaimana dengan project garapanmu itu?”   Mereka berdua pun kembali pada obrolan orang normal yang jadi dari kata perbucinan, karena keduanya memang cukup serius untuk menjadi rekan kerja lintas buku antaran fiksi dan non fiksi.   “Syukurlah, sebentar lagi akan terbit di toko buku. Aku sebagai editornya merasa bangga sudah menjadikan project besar dalam buku tahunan kita.”   “Aku juga tidak menyangka kalau buku garapanmu itu bisa menjadi best seller nantinya. Karena di platform saja sudah seramai itu, ya?”   “Betul. Makanya aku suka sekali mengambil naskah-naskah yang ingin diterbitkan dari sana, karena selain menarik pembaca, aku juga ingin mempromosikan tanpa susah seperti seleksi naskah.”   “Sepertinya aku ingin pindah haluan seperti kamu, Lus. Jujur saja, memeriksa naskah dalam jumlah banyak tidak mudah, apalagi kalau para penulis itu belum pernah mempelajari PUEBI, KBBI, dan thesaurus.”   “Dan itu nikmat sekali rasanya,” kelakar Lusi membuat keduanya tertawa lepas bersama.   Keduanya memang tampak dekat, meskipun tidak bisa dikatakan sahabat. Karena prinsip Erina tidak ada yang namanya sahabat, selain Devin dan Ken. Oleh karena itu, dirinya selalu menyebut Lusi sebagai rekan kerja. Kalau ditanya kapan akan menganggapnya sahabat, maka dengan keras Erina akan mengatakan TIDAK TAHU.   “Hei, ingatlah kalau dulu kamu pernah menemukan penulis macam itu,” sinis Erina sembari meredakan tawa lebarnya.   “Iya, dan itu sangat menyiksaku, karena harus mengajarinya dari awal. Karena sangat tidak mungkin kalau aku sendiri yang merevisi naskah itu untuk dijadikan buku. Bisa-bisa aku mati muda,” balas Lusi bergidik ngeri membayangkan dulu ia pernah memeriksa naskah yang menyebabkan sakit mata. Namun, anehnya malah banyak sekali pembaca yang hadir di sana dan pada saat terbit pun sudah menjadi percetakan yang ketiga.   “Tapi, kabar baiknya buku itu menjadi best seller selama beberapa dekade, bukan?”   “Rasa senangnya memang seperti itu, Na. Terbesit rasa puas dalam hatiku telah menyelesaikan naskah sakit mata dalam kurun waktu sebulan penuh.”   “Suka duka menjadi editor memang cukup menyenangkan ya, Lus. Apalagi untuk orang-orang seperti kita terlalu membohongi keadaan,” ucap Erina tersenyum gamang menatap indahnya bulan yang seakan-akan memberitahunya untuk tetap semangat.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD