20. Acquisition

1140 Words
Pagi ini Alvaro terlihat tidak semangat akan kehadiran kedua manusia pengganggu tidur panjangnya. Karena Zhou Yuan yang tiba-tiba datang menyiapkan jas dan Meiying yang selalu datang mengantarkan sarapan. Keduanya memang sangat kompak untuk mengurusi manusia pemalas seperti dirinya.   “Presdir Alva, kita akan ada rapat di Distrik Binhang,” ucap Meiying sembari membaca buku agenda yang ada di tangannya, sedangkan Alvaro tengah memakan sarapan sembari mengerjakan pekerjaan yang tidak sempat ia lakukan semalam.   “Laporan pembelian Mal Guomao sudah selesai?” tanya Alvaro meminum koktail.   “Sudah, dan ini laporannya,” jawab Meiying sembari memberikan map hitam pada Alvaro yang terlihat tengah menutup laporan keuangan perusahaan pada tahun kedua.   “Saya ingin pada saar rapat di Distrik Binhang semua departemen perencanaan wilayah ikut hadir untuk mencegah pembocoran rencana seperti waktu lalu, karena saya tidak ingin ada kerugian untuk kedua kalinya,” tegas Alvaro membuat Meiying mengangguk mantap dan mulai mengetikkan sesuatu di ponselnya.   Lalu, dengan seksama Alvaro mulai membaca laporan yang dibuat oleh Meiying. Pembelian Mal Guomao bukan hanya kepentingan berbisnis saja, tetapi ia ingin membangkitkan mal yang hampir runtuh itu menjadi jaya kembali.   Sebenarnya, prinsip Alvaro dalam berbisnis itu sederhana, ia akan membantu siapapun tanpa mengenal latar belakang. Asal ada niat dan kerja keras yang kuat, ia pasti akan membantu mempromosikannya untuk menjadi lebih jaya lagi.   Maka dari itu, Perusahaan Aryasatya banyak sekali saingan sekaligus relasi yang diam- diam ingin mengambil keuntungan secara sepihak. Namun, Alvaro dengan mudah menyingkirkan mereka semua, karena ia sudah terlatih sejak SMA dulu.   Dan sekarang, waktunya ia menerapkan pembelajaran yang selama ini Dzaky dan Jenia ajarkan dulu. Karena tanggung jawabnya bukan hanya pada ratusan karyawan, melainkan masih ada anak cabang yang tersebar di seluruh kota besar di China.   “Bos, ada telpon dari Tuan Besar,” ucap Yuan membuat Alvaro mengalihkan perhatiannya.   “Sini,” balas Alvaro meminta ponsel pribadi miliknya.   Tanpa pikir panjang ia langsung menempelkan ponsel itu ke telinga kirinya sembari terus membaca laporan yang berisikan beberapa lembar tentang latar belakang mal, tujuan mal berdiri, sampai budget yang akan mereka keluarkan untuk membeli keseluruhannya. Benar kata Meiying, mereka tidak akan rugi kalau mengolah mal itu menjadi lebih besar lagi, karena terlihat dari pengunjung yang setiap tahunnya meningkat.   “Kenapa, Kek?” tanya Alvaro memberikan laporan pembelian itu pada Meiying, lalu beranjak bangkit dari tempat duduknya untuk berganti pakaian.   “Hari ini kamu ada rapat besar di Binhang?” tanya Kakek Wijaya balik.   “Iya, hari ini Alva berangkat sama departemen perencanaan wilayah untuk menghindari kebocoran data seperti kemarin,” jawab Alvaro mulai melenggang masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan kedua orang yang tengah sibuk itu di luar.   “Apa tidak sebaiknya ditemani oleh Dzaky?” Nada Kakek Wijaya terdengar khawatir, membuat Alvaro diam-diam tersenyum tipis. Kakeknya ini selalu menganggap dirinya anak kecil yang harus diawasi.   “Tidak usah, Kek. Alva habis rapat di Binhang mau ke Mal Guomao untuk membicarakan masalah pembelian,” tolak Alvaro halus.   “Iya, tadi Kakek sudah survei dan tempatnya lumayan bagus, hanya kurang tatanan saja.”   “Kalau begitu, Alva tutup ya, Kek. Pagi ini rapat di Binhang, habis itu pertemuan dengan Shang Yang, lalu kembali ke kantor untuk menanyakan laporan keuangan pada tahun kedua.”   “Baiklah, jaga diri hati-hati dan selalu ingat pesan Kakek.”   Setelah itu, telepon pun tertutup dan Alvaro memutuskan untuk keluar kamar, karena ia telah selesai berpakaian. Namun, saat ia membuka pintu kamar pandangannya terpaku pada Meiying yang merebahkan diri di sofa empuk sembari memejamkan mata, tetapi tidak ada Zhou Yuan di sana.   “Kak Mei, Kak Yuan kemana?” tanya Alvaro penasaran, kali ini ia tidak memakai Bahasa Mandarin, karena Meiying memang cukup fasih memakai Bahasa tersebut, meskipun terkadang campur aduk.   “Enggak tahu. Tadi katanya mau manasin mobil, kamu udah selesai?” Meiying membuka matanya perlahan dan terpaku pada penampilan Alvaro yang terlihat rapi.   Alvaro mengangguk pelan. “Udah, Kak. Yang lain udah ada di Binhang?”   “Katanya sih mereka lagi otw.” Meiying menjawab perkataan Alvaro sembari membereskan berkas-berkas yang ada di meja, lalu bangkit sembari mengikuti lelaki itu dari belakang.   Kini keduanya tengah menurun lantai menunggunakan evalator untuk keluar dari lobi, karena hari ini Alvaro menggunakan apartemen pribadinya, bukan rumah yang berada di Shanghai Railway Museum.   Tanpa menunggu lama lagi, ketiganya langsung menyusuri jalanan yang cukup lenggang, lalu berhenti di depan lampu merah. Keadaan di mobil cukup sunyi, Alvaro yang terlihat sibuk dengan laporannya, Meiying yang memantau keadaan kantor melalui ipad di tangannya, lalu Yuan yang sibuk memerhatikan jalanan di depan.   Tak lama kemudian, mereka pun sampai di gedung tinggi nan indah milik Perusahaan Gui. Salah satu kolega terbesar sekaligus kaya dalam relasi bisnis Aryasatya. Entah sudah keberapa kali ia datang ke gedung supermegah ini.   Walaupun tidak dapat menyangi Aryasatya, tetapi Gui wajib diacungi jempol. Karena banyak sekali kolega yang ingin bekerja sama, namun sayangnya ditolak oleh Presdir Gui. Dan hanya generasi Aryasatya yang mampu bekerja sama dalam beberapa generasi, termasuk Alvaro. Memang wajib diapresiasikan kepintaran Alvaro dalam menilai karakteristik seseorang.   Mereka bertiga pun masuk ke dalam, Alvaro yang memimpin jalan, sedangkan keduanya yang berada di belakang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Meiying yang menjaga tingkah serta kesopanan, sedangkan Yuan yang terlihat seperti bodyguard bagi Alvaro.   “Kak, mereka sudah ada di dalam?” tanya Alvaro kembali dengan Bahasa Mandarin yang dipakai, mereka tidak lagi menggunakan bahasa asing, karena akan sangat merepotkan bagi Yuan.   “Iya, katanya sudah di ruang rapat,” jawab Meiying sembari mempersilakan Alvaro untuk masuk terlebih dahulu, sedangkan Yuan berdiri tepat di depan pintu dengan pandangan lurus.   Alvaro tersenyum singkat pada orang-orang berjas formal nan mahal. Mereka terlihat duduk sembari menantikan Presdir Gui untuk datang dan segera memulai rapat.   Alvaro pun menduduki kursi yang tidak jauh dari Presdir Gui, sudah menjadi temoat favoritnya ketika datang rapat di sini. Bukan hal lain lagi, bahkan Presdir itu sendiri yang mengumandangkan bahwa kursi kesopanan itu hanya boleh diduduki oleh penerus Aryasatya, dan sampailah kini pada Alvaro yang duduk.   Semuanya terlihat santai sembari berbincang-bincang dengan suara kecil, bahkan Meiying ikut berbisik membicarakan pasal calon suaminya yang menjadi pegawai negara sipil, yaitu bekerja di salah satu pengadilan yang berada di Shanghai.   “Calon suami gue mau dinas ke luar kota, Al,” bisik Meiying santai, membuat Alvaro mengerutkan keningnya bingung. Kali ini mereka menggunakan bahasa planet yang tidak dimengerti oleh orang-orang di sana.   “Bukannya udah kemarin?” balas Alvaro tidak kalah berbisik. Mungkin sedikit aneh mempunyai bos seperti Alvaro, tetapi cukup menyenangkan untuk diajak berbincang. Karena tidak hanya masalah pekerjaan, melainkan kehidupan pribadi pun mereka bicarakan, membuat keduanya merasa nyaman dan tidak pernah bosan.   “Kali ini beda, Al. Calon suami gue mutasi ke Beijing selama beberapa bulan.”   “Kasihan banget sih lo jadi calon udah ditinggal-tinggal. Awas, nanti dia digaet dengan cewek lain,” ejek Alvaro tertawa pelan membuat Meiying refleks memukul kepala lelaki itu kesal, dan mengundang tatapan terkejut bagi kolega yang melihat keduanya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD