Keduanya menggeleng.
“Iya aku ingat sekarang,” kata Nisa. “Minggu itu kita, kan, janjian sama Anggi dan Ila mau kerja kelompok di rumahmu,” tunjuknya pada Windy, “tapi jadinya cuma kita berdua saja yang mengerjakannya karena nomor mereka tidak aktif.”
Windy menjentikkan jemari. “Benar. Aku sempat berpikir ingin melihat ke rumah Ila, tapi aku dapat kabar nenek sakit, jadi aku ke rumah sakit.”
Kalau begitu, tidak ada yang menyadari Ila menghilang sebelum polisi bergerak mencari tahu. Mereka mulai mencari Ila karena fotonya di dekat mayat Reno. Berarti, ada kemungkinan kalau Ila pelaku penusukan Reno, lalu dia kabur. Tapi polisi tidak mencurigainya sama sekali.
Polisi memang tidak tahu kalau aku menyaksikan pembunuhan seorang wanita, tapi aneh sekali kalau langsung beranggapan aku membunuh Ila hanya karena aku menghilang selama tiga hari. Bukankah lebih masuk akal kalau membuat Ila sebagai tersangkanya? Dia membunuh Reno lalu menculikku.
Akan lain cerita kalau ternyata ada kesaksian seseorang yang menjadi pendukung Ila. Tentu saja polisi tidak menceritakan itu kepadaku. Melihat Anggi yang juga menghilang, bisa saja dia si saksi itu. Tapi, kenapa dia pindah ke luar kota bersama keluarganya? Sebagai wujud perlindungan, kah? Apa yang dikatakan Anggi sampai polisi melepaskan Ila dari tuduhan?
Kalau polisi baru bergerak menanyai Windy dan Nisa pada hari Senin, apa yang mereka lakukan pada hari Minggu itu? Polisi punya banyak tim, tidak mungkin semuanya hanya mengurusi mayat Reno, pasti ada yang menyelidiki teman terdekat Reno dan Ila juga, kan? Kalau mereka memang menanyai Anggi pada hari itu, harusnya Windy dan Nisa juga. Kenapa mereka sangat lama menanyai Anggi?
“Juni!” seru Windy. “Ya, ampun. Kau mimisan.” Dia menyodorkan tisu kepadaku.
Nisa terlihat panik. “Kita harus ke UKS.”
“Aku baik-baik saja. Tidak apa-apa.” Aku refleks menepis tangan windy yang mencoba menyentuhku. Gadis itu menatapku heran. “Maafkan aku. Sebaiknya kita kembali ke kelas.”
***
Pulang sekolah terasa cepat karena aku memikirkan berbagai kemungkinan yang berhubungan dengan Anggi sejak jam istirahat tadi. Aku bahkan lupa pada misiku untuk mendekati Gabriel. Pemuda itu juga tampaknya sibuk dengan OSIS.
“Ju, kau mau ikut ke mal?” Windy membantuku membereskan buku. “Biasanya kami nonton film dulu sebelum merayakan ultah Ila di rumah Anggi.”
Aku mengiyakan karena berniat mencari tahu lagi tentang Ila. Mengabaikan sakit kepala, aku menghubungi Wahyu untuk memberi kabar. Sebenarnya aku tidak perlu melakukan itu karena sudah ada polisi yang mengikuti, juga ada alat pelacak di tas. Tapi sudah menjadi kebiasaan untuk melapor kepada Wahyu.
***
Selama perjalanan, Windy selalu cerita tentang pelanggan nail art. Aku harus pura-pura antusias dengan kisah membosankan itu. Nisa hanya sesekali menanggapi. Kalau menyinggung basket, barulah dia antusias. Apalagi Gabriel anak basket. Aku mulai bertanya, apakah basket yang disukainya? Atau Gabriel?
“Kita menonton romance saja.” Nisa menunjuk poster pasangan dengan latar belakang sekolah.
“Tidak bisa. Kalau ada Ila, dia pasti ingin melihat ini.” Windy menunjuk film thriller dengan pisau dan darah dicetak jelas, sementara gambar orang berkelahi yang menjadi latar belakangnya dibuat samar.
Kupikir Ila gadis kalem yang akan menyukai cerita romantis seperti Nisa.
“Bagaimana menurutmu, Ju?” Nisa meminta saranku.
Sejujurnya aku tidak tahan melihat film thriller, tapi kalau menolak, aku tidak bisa bertanya lebih jauh tentang Ila. “Seperti kesukaan Ila saja. Ini, kan, hari ulang tahunnya.” Begitu jawabku akhirnya.
“Juni tidak asik.” Nisa cemberut, beda dengan Windy yang bersorak.
“Ngomong-ngomong, kenapa Ila suka film seperti ini?” Aku membantu Nisa membawakan popcorn ke dalam bioskop.
“Katanya sebagai inspirasi musik.” Windy mengedikkan bahu. “Aku bahkan tidak mengerti hubungan keduanya.”
“Bagaimana menurutmu, Nis?” Aku menoleh ke kanan.
“Aku juga tidak terlalu mengerti, tapi dia pernah bilang, kalau melihat film tegang seperti jenis thriller, dia lebih mudah membuat lagu.” Nisa memasukkan popcorn ke mulut.
“Tidak itu saja,” sambung Windy, “Ila juga sering melihat film slasher.”
“Apa itu?” tanyaku.
“Jenis film yang memakai sudut pandang si psikopat,” jawab Nisa.
Windy mengangguk. “Aku sempat berpikir Ila punya gangguan kepribadian karena terobsesi pada hal-hal aneh begitu.” Dia tertawa.
Nisa merengut. “Ila hanya mencari inspirasi untuk lagunya. Kau lupa, dia tidak hanya menyaksikan adegan yang begitu saja. Dia juga sering duduk diam sambil memerhatikan kegiatan orang-orang di sekitarnya. Setiap orang punya cara masing-masing. Bahkan dari mimpi, pun, bisa mendapat inspirasi.”
“Kalau begitu, Ila bisa menjadi komposer hebat kalau menyaksikan kejadian pembunuhan? Atau mungkin kalau dia membunuh langsung?” Tiba-tiba mereka menatapku, Nisa bahkan mengerutkan dahi. “Apa aku salah? Aku hanya menyimpulkan dari yang kau katakan.”
“Maksudku hanya sebatas melihat di film. Kenapa kau mengaitkannya ke dunia nyata?” Nisa menyelipkan anak rambut ke belakang telinga, terlihat gugup. "Jangan menyimpulkan semuanya semaumu. Apalagi kau tidak mengenal Ila."
Aku tertawa. “Ayolah. Aku hanya bercanda.” Kugamit tangannya lalu meletakkan kepala ke bahunya. “Maafkan aku. Kau marah, ya?” Aku benci harus akting jadi perempuan sok ramah seperti ini.
Nisa tersenyum kecil. “Aku tidak marah. Hanya tidak tahu saja kalau kau sedang bercanda.”
“Sudah cukup bicaranya, film sudah mau mulai.” Windy menginterupsi dan mengakhiri percakapan. Dia tampak sangat antusias.
Film diawali dengan adegan seorang ber-hoodie yang mengejar wanita muda di area pembuangan sampah. Gadis itu berlari sambil menggenggam ponsel, ditemani isak tangis tertahan. Lalu pembunuh datang dan memukul kepalanya dengan tongkat bisbol.
Napasku mulai sesak. Aku mencengkeram kuat botol minum dalam genggaman. Airnya tumpah membasahi Nisa yang memekik kaget, lalu pandanganku mengabur dan gelap. Perlahan aku seperti kembali pada kejadian malam itu.
●●●
Malam itu
Reno baru saja menghubungi polisi. Kekhawatiran terlukis jelas di wajahnya. Sesekali dia mengamati sekitar, kembali melihatku yang terduduk di aspal dingin.
Aku melihat belakangnya. Tidak ada si pembunuh di sana. Kamus wanita itu masih tergeletak, lalu kuambil dan membukanya. Ternyata sebuah kotak dengan 3 digit angka. Kugoncang kotak untuk mendengar isinya tapi tidak terdengar apa-apa. Saat meraba tulisan timbul berjudul for our love di bagian samping kamus, tiba-tiba seseorang memukul Reno.