3

1785 Words
Aleya benar-benar kacau, ia berjalan tak tentu arah menyisir jalanan yang mulai sepi oleh lalu lalang. Matanya mengamati sekitarnya yang sudah senyap, apalagi ini merupakan malam hari. Jam tangan yang melingkar manis dipergelangan tangannya menunjukkan pukul sebelas malam, tadinya ia ingin pergi ke rumah Haniah, tapi Aleya memikirkannya matang-matang, ia tidak ingin Haniah kerepotan karena dirinya. Hanya terdengar suara jangkrik saling bersahutan, dinginnya malam merasuk pada tulang. Untuk kedepannya Aleya belum memikirkan lagi bagaimana kelanjutan studinya, pikirannya sedang kacau. Sedangkan dilain tempat, beberapa orang pria tengah memantau pergerakan gadis itu. Salah satu dari mereka menyeringai kejam, merasa bahwa targetnya sudah berada didepan mata. Layar komputer yang menunjukkan wajah sedih Aleya sepanjang jalan menjadi fokusnya, tangannya menggenggam erat dan ingin memukulkan pada siapa saja, giginya bergemelatuk menahan amarah. “Jadi dia adalah anak dari Hartono?” “Benar, Tuan. Ia adalah anak kandung satu-satunya, dan dari penyelidikan bahwa gadis yang bernama Aleya itu diusir oleh Ayahnya.” Salah satu dari mereka menjawab pertanyaan yang diajukan. “Wah, ini merupakan pertunjukkan menarik. Gadis yang malang, sebentar lagi penderitaanmu akan bertambah.” Gumamnya, ia berdiri dari kursi nyamannya, berencana untuk melaksanakan dendam yang sudah diambang batas. Semilir angin menambah kesan misterius dan ngeri, ditambah pohon-pohon meliukkan dahan mereka seolah sedang menyambut suatu hal. Aleya mengusap tangannya yang terasa dingin, bibirnya bahkan mulai bergetar. Dibalik kegelapan beberapa orang tengah memperhatikan gerak gerik Aleya, mereka menanti waktu yang tepat. Aleya memeluk tubuh ringkihnya yang kedinginan, ia juga merasa bulu kuduknya meremang. Bukan hantu yang Aleya takutkan, tapi orang-orang jahat yang bisa berbuat kriminal. Sesampainya diperempatan, Aleya menengokkan kepalanya mencari-cari jalan kemana ia harus memilih. Dengan langkah gontai gadis itu memilih berbelok pada jalanan yang panjang disertai pohon-pohon menjulang dikiri dan kanannya. Orang-orang yang berada dalam kegelapan menyeringai, tepat sekali pilihan Aleya untuk menemui akhir hidupnya. Mereka berlari menghadang jalan Aleya, begitupun gadis itu langsung terperangah karena terkejut. Aleya berusaha memundurkan tubuhnya, ia menatap pria-pria yang menggunakan kain penutup wajah. Tato yang menjalar ditangan, otot kekar yang terkesan menyeramkan, membuat Aleya ketakutan. “Jangan mendekat! Apa yang kalian inginkan.” Suaranya terdengar bergetar, membuat orang-orang itu malah semakin mendekati Aleya. Gadis itu mencengkram erat gagang koper yang ia bawa, sekuat tenaga ia mencoba lari dan mencari keramaian. Seperti yang Aleya tahu, tempat ini benar-benar sepi. Ternyata Aleya masuk ke dalam perumahan yang kurang terkenal diwilayahnya, perumahan yang jarang peminat dan sepi. Kaki-kaki kecilnya menyusuri jalanan beraspal, jantungnya berdegup kencang. Dibelakang sana pria-pria itu sedang mengejar Aleya, air mata Aleya mulai meluruh. Ia ketakutan, tak ada yang menolongnya. Sedikit lagi mereka bisa meraih Aleya, tapi didepan sana sudah berdiri pria-pria lain yang menghadang jalan gadis itu. Aleya terhenyak, ia sudah terjebak. “Mau kemana, Nona Aleya?” Salah satu dari mereka menyeringai kejam. “S-siapa kalian? Aku tidak pernah memiliki musuh preman-preman sepertimu.” Mereka semua tertawa, tertawa bagai iblis yang siap menerkam mangsanya. Salah satu dari mereka mendekat, membuat Aleya melangkah mundur. Tapi tak disangka dibelakang sana juga sudah ada pria lain, tubuh Aleya meremang karena ia terjebak dikondisi ini. “Memang bukan dirimu yang memiliki musuh, tapi Ayahmu!” ujar salah satu dari mereka. Aleya menelan ludahnya susah payah, Ayahnya? Apa yang Hartono perbuat sampai harus berurusan dengan mereka, terlebih kenapa Aleya yang menjadi sasarannya. Aleya meronta dan memukulkan kopernya ke sembarang arah, pria-pria itu dengan sigap meringkus tubuh kecil Aleya. “Jangan melawan, tikus kecil. Tenagamu tak sebanding dengan kita!” Tangan Aleya berhasil diringkus, mereka memasangkan gembok disana. Air mata terus mengucur dari netra indahnya, ia takut. “Langsung bawa ke bos besar!” Orang yang terlihat seperti ketua diantara pria-pria itu memerintah, dan semuanya langsung menuruti ucapannya. Masih berusaha meronta, Aleya mencoba diam dan tak mau menggerakkan kakinya, hingga membuat mereka geram dan langsung menyeretnya. Suasana ditempat itu sangatlah sepi, seolah sudah dikuasai orang-orang tersebut dan menjadi sarang bagi mereka, dalam benak Aleya berpikir bahwa semua ini telah mereka rencanakan. Dalam keadaan sadar Aleya diseret menuju rumah yang letaknya tak jauh dari tempat kejadian tadi, benar saja! Perumahan ini sudah diatur oleh mereka, Aleya bergidik ngeri membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya. “Lepaskan aku! Lepas.” Aleya berteriak-teriak. Rumah besar nan megah itu bisa Aleya lihat dengan mata buramnya, karena penglihatannya ditutupi oleh kabut air mata. Mewah tapi mencekam, entahlah Aleya merasa jika rumah itu akan menjadi kenangan buruknya. Dengan tubuh lemahnya Aleya mengikuti langkah pria yang menyeretnya, ia tidak memiliki banyak tenaga. Pintu mewah tersebut terbuka otomatis, memperlihatkan ruangan yang semakin megah didalamnya. Aleya tidak mungkin menjelajahi pemandangan rumah itu, yang terpenting baginya adalah bisa lolos dari sini. Lagi, Aleya diseret bahkan sampai terhuyung-huyung, kini semakin mereka menyeret Aleya dengan kasar. Tubuh gadis itu terasa remuk redam, tak dapat dipungkiri bahwa kekuatan mereka sangat kuat dibanding dirinya yang lemah. Aleya digiring menuju lantai atas, dimana ia harus melewati lift dengan suasana mencekam. Lift terbuka menampilkan deretan ruangan yang bisa disebut kamar, kamar yang berjejer lurus dengan rapi. Mulai saat itu juga pikiran Aleya dipenuhi oleh hal buruk. “Aku tidak berurusan dengan kalian, lepaskan aku!” Jeritan Aleya tidak digubris, mereka tetap membawa Aleya memasuki salah satu kamar tersebut. Pintu berwarna emas disertai ornamen kuno, pintu yang akan membawa Aleya pada sebuah akhir yang menyakitkan. Clek. Pintu itu terbuka memperlihatkan ruang kamar yang luas, ada ranjang besar ditengah-tengahnya. Ruangan itu berwarna abu-abu dan hanya terlihat remang-remang karena diterpa sinar lampu dari luar, pria yang mencekal Aleya membuka gembok tangannya, dengan segera Aleya berusaha memukulnya. Tepat sasaran, Aleya berhasil memukul tengkuk pria itu. Sementara pria-pria lain yang tersisa berada diluar langsung mencari sumber keributan, hampir saja Aleya berhasil menerjang pintu kamar tersebut. Namun, seseorang lebih dulu menghentikan pergerakannya, sedangkan pria yang berhasil Aleya lumpuhkan pun undur diri dan bergabung dengan yang lainnya. Pintu sudah tertutup dengan sempurna, hanya ada Aleya didalam sana bersamaan dengan seorang pria. Dari fisiknya yang tinggi dan tangannya yang berotot mampu Aleya deskripsikan bahwa itu adalah seorang pria, tubuhnya bergetar ketakutan. Tangan pria itu masih bertengger dilengannya, Aleya bergerak tidak nyaman. Klik. Terdengar suara jentikan tangan lalu disusul oleh lampu kamar yang sangat bersinar terang. Aleya mendongak menatap wajah pria yang tingginya melebihi dirinya, ia menatap tepat manik mata tersebut. Seorang pria berwajah rupawan, rahangnya terlihat kokoh dan terbentuk dengan sempurna, tubuhnya kekar dan jangan lupa bahwa mata elangnya sedang menatap Aleya dengan tajam. Aleya tersentak dari lamunannya, ia berjalan mundur ke belakang. Pria itu tetap diam melihat aksi tak berguna Aleya, sedangkan gadis itu sendiri sudah tak memiliki jalan untuk keluar dari sini. Pintu tertutup dengan rapat, jendela terkunci, dan parahnya lagi ia tidak tahu sedang berada dilantai berapa. “Aleya Lestari Hartono.” Suara tegas dan terdengar mengancam. Aleya menoleh menatap pria itu, pria yang menatap dirinya dengan penuh kebencian. “Setelah sekian lama aku ingin membalaskan dendam keluargaku, akhirnya hari ini aku akan menuntaskannya.” Lanjutnya. Aleya bergeming, ia tidak tahu apapun. Kenapa harus dirinya yang menjadi sasaran balas dendam? “Aku tidak mengenalmu, jangan libatkan aku dengan balas dendammu.” Pria itu tertawa menggelegar, tawa yang tidak sinkron dengan wajahnya yang mengeras marah. “Benar, kamu memang tidak mengenalku, tapi Ayahmu yang mengenalku. Orang yang telah berani mengusik ketenangan keluargaku tidak akan ku biarkan hidup dengan damai.” “Aku tidak mengenalmu! Urusanmu adalah dengan Ayahku, kenapa melampiaskan padaku.” Aleya berteriak marah. “Karena hanya dirimu lah yang bisa menebus kesalahan Ayahmu.” Prang. Pria itu melempar vas bunga dengan sembarang arah, atau hampir terkena tubuh Aleya. Gadis itu menatap nanar pecahan vas tersebut, jika seandainya ia yang terkena lemparan itu, maka sudah dipastikan bahwa wajahnya akan mendapat banyak jahitan. Emosi pria itu tidak stabil, ditambah dengan pikirannya yang berisi tentang niat balas dendam. Semua rasa sakit yang ia terima berasal dari keluarga Aleya, dan gadis itu harus mendapatkan balasannya. Membelalakkan mata terkejut setelah melihat pria itu berlari ke arahnya, jangan lupa bahwa tangan besar itu dengan sigap terarah pada leher mulusnya. Posisi Aleya sudah berada didepan tembok, ia tidak bisa memundurkan tubuhnya. Tubuh Aleya terlentang dilantai, sedangkan orang yang berusaha membunuhnya tepat berada diatasnya. Aleya menarik-narik sesuatu dengan tangannya, sedikit lagi ia bisa mendapatkan pecahan dari vas bunga itu. Napasnya terasa tercekat sesaat tangan itu menekan kuat titik-titik tempat pernapasannya, ya Aleya tercekik. Dan berhasil, Aleya mengarahkan pecahan tersebut tepat diwajah pria yang sekarang meringis kesakitan. Tak hanya satu kali, Aleya bahkan melakukannya berkali-kali, ia menggores wajah itu hingga berdarah-darah. “Kurang ajar!” Makinya tegas. Tangan Aleya bergetar keras, lagi-lagi lehernya dicekik. Ia meronta-ronta berusaha mencari pasokan udara, lehernya terasa perih karena kuatnya cengkaraman tersebut. Tetesan demi tetesan darah yang berasal dari pria itu menetes diwajah mulusnya, aroma amis langsung merangsek masuk dalam hidungnya. “Kamu harus merasakan penderitaanku, keluargaku hancur karena Ayahmu. Aku hidup menderita karena Hartono sialan itu, aku tidak terima. ARGHH!” Semakin ia mengeluarkan tenaga untuk mencekik Aleya, sedangkan sang empunya sudah benar-benar lemah. Pria itu menatap lekat manik mata Aleya, memperhatikan netra gadis itu. Bola mata Aleya berwarna kecokelatan, sangat teduh. Beberapa detik kemudian cekikannya mengendur, digantikan dengan kilatan gairah dari mata elangnya. Aleya bukan tidak tahu apa yang terjadi pada pria dihadapannya, ia tahu persis. Oh Tuhan, ini yang sangat Aleya takutkan. Sembari mengisi paru-parunya dengan pasokan udara, Aleya mencari celah untuk kabur dari kungkungan pria itu. Namun, Aleya kalah gesit. Pria itu segera mengetahui gerak-geriknya, Aleya menggeleng dengan keras. Ia tidak mau, Aleya tidak ingin akhir nasibnya seperti ini. “Tolong lepaskan aku, a- aku” Perkataan Aleya terputus karena bibirnya lebih dulu dibungkam. “Bermimpi lah, karena penderitaan yang sesungguhnya akan kamu dapatkan.” Pria itu tersenyum iblis, menjilat bibirnya yang terasa manis akibat dari ciuman itu. Aleya terisak, apakah ini akhir hidupnya? “Hidupmu akan benar-benar ku hancurkan, Aleya.” Suara pria itu bagai malaikat pencabut nyawa bagi Aleya. Pria itu menyeret tubuhnya dan langsung melemparkan tubuh Aleya pada ranjang besar disana, Aleya diambang ketakutan. Pikirannya mulai diisi oleh hal-hal negatif, tidak, jangan! Pria itu mencari-cari sesuatu yang menjadi objek kesukaannya. Ia akan menyiksa Aleya terlebih dulu sebelum menimatinya, sebuah cambuk. Aleya menelan ludahnya susah payah, merasakan ketakutan luar biasa yang akan ia terima. Cambuk itu terangkat ke atas lalu dengan cepat menyabet tubuhnya. “Akhhhh…” teriakan Aleya terdengar memilukan, rasa perih dan sakit langsung menjalar ke seluruh tubuhnya. Ctyarrrrr……… Lagi, cambuk itu mengenai lengannya. Tubuh Aleya sangat kesakitan, darah mulai merembes kaluar. Gadis itu tersungkur memeluk tubuhnya yang terluka, pria itu tertawa puas. “Sudah cukup bermainnya, ayo kita lanjutkan penderitaan sesungguhnya.” Bahkan hal yang selanjutnya terjadi merupakan kesakitan yang lebih buruk dari sekedar cambukan, pria itu merobek pakaian Aleya dengan kasar. “Johan, sebut namaku dalam kenikmatan ini.” Ujar pria yang bernama Johan tersebut, ia mengerang nikmat. Malam itu menjadi saksi akan kehancuran Aleya yang sesungguhnya, hidupnya hancur, masa depannya telah direnggut, mahkota yang selama ini ia jaga diambil paksa oleh seorang b******n.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD