3. Keluarga Lura

1832 Words
Bismillah. Happy reading. Dukung karya ini dalam Big Name Contests, ya. Terima kasih, readers. Salah satu lagu dangdut aransemen musisi jaman sekarang, terputar dan menggema memenuhi ruang berukuran empat kali lima meter. Pintu ruangan itu tertutup. Dari luar ruangan, tampak jika sudah tidak ada orang lagi, sedangkan kebenarannya masih ada seorang mahasiswa yang sibuk di depan komputer jinjingnya. Suara keyboard yang ditekan menemani alunan lagu yang terputar. Berbaris kalimat telah tersusun apik dan rapi, hingga melebihi 10 halaman dokumen kata. Pria yang hanya mengenakan kaos itu meregangkan otot dan tulangnya dengan menggerakkan badannya ke kanan lalu ke kiri. Kemeja yang telah ia loloskan sejak satu jam lalu tersampir di punggung kursi kayu pojok ruangan. Punggungnya benar-benar terasa lelah. Menghadap layar berukuran 14 inchi selama satu jam membuat matanya panas dan punggungnya kaku. Dering handphone-nya membuat Lura mengangkat tubuhnya malas. Ia baru saja merebahkan badannya di lantai keramik ruang kesekretariatan BEM. Matanya pun sudah hampir terpejam rapat. Niatnya ingin rehat sejenak pupus sudah. Dengkusan kecil keluar dari lubang hidungnya. Lidahnya pun ikut berdecak kesal. “Kamu kenapa nggak pulang-pulang!? Nggak tahu jika Mamamu dari tadi mencarimu, hah?!” Bentakan menyambut indra pendengaran Lura. Bukan sebuah salam atau sapaan hangat. Dan Lura sudah biasa dengan hal itu. Lura mengembuskan napas lelah. “Baru jam 9. Belum jam 10. Lagipula Lura baru saja mengerjakan laporan,” balas Lura tenang. Ia tak akan terpengaruh amarah orang yang sedang berbincang dengannya melalui sambungan telepon itu. “Kenapa tidak mengerjakan laporan di rumah? Kamu suka sekali membuat Mamamu marah.” Suara decakan seorang pria paruh baya terdengar jelas dan memekakkan telinga. “Telinga Lura panas jika mendengar Mama marah-marah. Lura butuh ketenangan dalam mengerjakan laporan. Katanya Lura dituntut harus mendapatkan nilai sempurna,” balas Lura dengan disertai dengkusan kesal. “Memangnya kamu mengerjakan laporan apa? Jangan-jangan kamu di kampus hanya buang-buang waktu saja.” Sebuah suara wanita paruh baya menginterupsi perbincangan antara ayah dan putranya. “Buang-buang waktu buat ngerjakan laporan kan nggak masalah, Ma. Mama jangan marah-marah terus. Nanti keriput Mama akan cepat terbentuk. Eh.. kan sudah mulai berkeriput ya,” jawab Lura tak sopan. Ia tak bercanda karena tak ada tawa yang menguar. Suka sekali ia bertindak durhaka pada kedua orang tuanya. Sangat tak patut untuk dicontoh. “Lura!!! Pulang sekarang atau kamu nggak boleh menginjakkan kaki di rumah ini selama satu minggu,” ancam mama Lura. “Nggak papa. Nanti Lura nebeng sama temen-temen deket kampus,” jawab Lura cuek. “Banyak temen yang ngekos di dekat kampus. Jadi Lura nggak bakal jadi gelandangan,” lanjutnya. “Jangan berani ya kamu, Lura!! Pulang sekarang atau motor kamu disita Papa!!” Setelah mengancam Lura dengan ancaman yang sudah sering dilontarkan itu, panggilan ditutup oleh mama Lura tanpa salam. Pertanda bahwa titah wanita paruh baya itu harus dituruti tanpa penolakan apalagi alasan. Lura mendengkus kesal. Ia mematikan komputer yang masih memutar salah satu lagu dangdut yang akhir-akhir ini Lura dengarkan. Sampai membuatnya hafal dengan lirik juga video klip lagu itu dalam pikirannya. Kemudian ia membereskan kekacauan yang dibuat oleh rekan-rekannya. Tak lupa ia juga mematikan komputer jinjing miliknya sembari menyapu ruangan kesekretariatan. Tak hanya memiliki ambisi dalam mencapai segalanya, Lura juga selalu perfeksionis dalam segala bidang. Ia pun bukan termasuk dalam jajaran laki-laki yang anti dengan sapu. Memang apa salahnya sapu sehingga laki-laki tak boleh memegang sapu? Ia sangat menyukai kerapian dan kebersihan. Hari ini adalah jadwal rapat rutin mingguan BEM Fakultas. Rapat dimulai sejak pukul empat sore hingga 8 malam membuat rekan-rekannya dengan semena-mena membuat rusuh ruang kesekretariatan. Sebenarnya Lura bosan dengan rapat yang selalu membahas topik yang sama. Namun, mau bagaimana lagi? Mau tak mau ia harus tetap hadir dalam rapat tersebut. Baginya menyampaikan pendapat selagi masih ada wadah maka akan ia manfaatkan dengan baik. Banyak yang menyebutnya sebagai mahasiswa serakah dan ingin menang sendiri. Bagaimana tidak bila Lura selalu menyampaikan argumennya dengan menggebu juga kalimat persuasi yang sedikit memaksa. Namun Lura tak ambil pusing. Prinsipnya selagi ia menyampaikan sesuatu hal yang baik dan berdasar tak masalah. Lalu dengan berbagai alasan, anggota BEM satu per satu akan pamit pulang setelah rapat usai. Tak ingin membantu merapikan kembali kekacauan yang dibuat. Meninggalkan berbagai jenis sampah di atas lantai berkeramik putih. “Sudah mahasiswa tapi joroknya luar biasa,” gerutu Lura sembari menggerakkan sapu bergagang putih itu lurus sejajar lalu berpindah ke baris jajaran lainnya. Lura mengembuskan napas lega ketika ruangan itu kembali bersih dan semua barang tertata rapi pada tempatnya. Segera dicangklongkan ranselnya yang cukup berat di pundaknya. Lampu ruangannya telah padam. Lura mengunci pintu itu lalu menyimpan kunci pada sela-sela jendela. Selalu seperti itu. “Lura!!” Lura mengembuskan napas kasar. Padahal hari sudah malam, kenapa masih ada orang yang menghalangi langkahnya untuk pulang? Siap-siap saja telinganya terbakar karena amarah kedua orang tuanya karena pulangnya semakin terlambat. Lura memilih abai. Ia tetap melanjutkan langkahnya menyusuri koridor yang akan mengantarkannya pada area parkir liar. Area parkir yang mahasiswa buat sendiri setelah jam perkuliahan selesai. Biasanya oleh mahasiswa yang ikut organisasi atau kerja kelompok hingga malam hari. Langkah seseorang yang memanggil Lura terdengar mendekat. Lura tetap berjalan dengan langkah konstan seperti semula. Tak peduli pada orang di belakangnya. “Lura!!” Lengan Lura dicekal kuat oleh perempuan yang memanggilnya. Lura berusaha menyentaknya. Tak peduli jika ia sedang berhadapan dengan seorang perempuan. Lebih baik ia tegas dari awal daripada di akhir akan menimbulkan masalah berkepanjangan. Ia juga bukan laki-laki yang suka mengganggu perempuan yang telah dimiliki laki-laki lain. Tubuh perempuan itu terhuyung. Beruntungnya ia mampu menahan tubuhnya, sehingga ia tak sampai terjatuh di lantai koridor yang kotor dengan tanah juga berbagai jenis sampah. “Lura!! Sejak kapan kamu kasar sama perempuan?” tegur perempuan itu keras. Suaranya penuh emosi. Lura tak peduli. Ia kembali melanjutkan langkahnya. Wajahnya pun tampak datar. Seakan tak merasa bersalah. Perempuan itu tak tinggal diam. Ia mengejar langkah Lura. Baginya, malam ini adalah kesempatan yang tak boleh dibuang percuma. Ia juga telah memastikan bahwa tak akan ada orang yang berkemungkinan menjadi ember bocor. Ia menghadang langkah Lura dengan tubuh yang menghadap Lura dan tangan yang terentang. Ia harus berbicara dengan Lura, tekadnya. Lura tak kekurangan akal. Ia singkirkan salah satu lengan yang terlentang itu lalu melanjutkan langkahnya. “Lura! Kita harus bicara,” teriak perempuan itu di tengah sepinya kampus. Hanya tersisa beberapa mahasiswa, tetapi tampaknya tak peduli dengan Lura dan Bubunga. “Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Menyingkir dari kehidupanku. Urus kehidupanmu yang sekarang, di mana aku sudah tidak ada di dalamnya,” tandas Lura. Lura segera melangkah cepat menuju motornya. Hatinya tak boleh goyah. Ia harus menjadi laki-laki yang berprinsip. Suara deruman motor Lura memenuhi kampus. Meninggalkan Bubunga yang masih setia berdiri di posisinya. Kepergian Lura semakin menegaskan bahwa laki-laki itu memang sudah enggan bersamanya. Tak lagi ada kesempatan untuknya. “Kamu masih suka mengejar-ngejar Lura?” Suara itu berhasil membuat bulu kuduknya meremang. Bukan Bijama, tetapi salah satu sahabat dekat Bijama. “Jangan menyakiti perasaanmu sendiri. Berhenti mengejar seseorang yang tak pernah lagi menginginkanmu.” Bubunga tertawa sinis. “Lalu aku harus tetap bertahan dengan seseorang yang temperamen dan suka melakukan kekerasan? Bahkan…” Bubunga tak melanjutkan ucapannya. Air matanya telah meluruh. Tenggorokannya terasa tercekat. “Ah.. lupakan. Aku memang sudah tak pantas untuk siapa pun. Terutama Lura bukan?” Bubunga mengusap air matanya kasar. Lalu melangkah lebar menuju motornya. Hidupnya sungguh menyedihkan. Melepaskan laki-laki terbaik hanya untuk laki-laki yang b******k. Keputusan bodoh. *** “Kamu mending home campus saja, Lura. Semakin ke sini kamu semakin suka pulang malam.” Bukan sambutan hangat yang menyapa Lura kala laki-laki itu menginjakkan kakinya di rumah berlantai dua itu. Mengembuskan napas pelanlah yang Lura lakukan. Berdebat di malam hari hanya akan menimbulkan masalah baru. “Ma, anaknya pulang itu mbok ya disambut dengan hangat. Ditanya bagaimana harinya Lura di kampus. Gitu kan hati Lura jadi adem dengernya,” kata Lura setelah mencium tangan mama dan papanya. Mama Lura menggeleng mendengar jawaban yang selalu saja Lura utarakan setiap ia mengingatkan putra semata wayangnya itu. “Bisa nggak sih kamu nggak jawab tiap Mama atau Papa ngomong,” tegur mama Lura tegas. Lura mengembuskan napas pelan. ‘Selalu salah.’ “Kamu nggak betah di rumah? Kamu suka sekali membeli makanan di luar. Itu nggak sehat Lura!!” Mama Lura berteriak histeris. Rumah yang hanya dihuni lima orang itu menjadi ramai dan berisik akibat teriakan mama Lura. ‘Tetap saja ini yang menjadi bahan perbincangan. Membosankan.’ Lura hanya dapat berbicara dengan batinnya. Malam ini ia berusaha menjadi anak penurut. Papa Lura hanya diam di kursinya. Mengamati perdebatan antara istrinya dan putranya. Selalu seperti itu. Ia akan terkena semprotan pedas jika menyela di tengah ucapan Sang Nyonya Rumah. “Harusnya kamu bersyukur karena memiliki orang tua yang selalu ada waktu untuk kamu. Eh.. malah kamu yang seenaknya betah di kampus dan membiarkan kedua orang tuamu berdiam diri di rumah,” kata mama Lura berlebihan. Ia memegangi kepalanya, seakan ia benar-benar dibuat pusing dengan tingkah putra semata wayangnya. “Memang masakan Mama nggak enak? Sampai kamu jarang makan di rumah. Sarapan saja jika tidak Mama paksa kamu nggak bakalan sarapan. Giliran sarapan, kamu kayak ogah-ogahan.” Mama Lura kembali melanjutkan sesi curhatnya yang selalu sama setiap Lura pulang terlambat ke rumah. Lura diam. Papa Lura pun diam. Menjadikan ruang tamu itu hening. Lura hanya mampu mendumal dalam batin. “Lura!! Kenapa diam saja?! Jawab pertanyaan Mama!!” bentak mama Lura gemas. Lura mengembuskan napas perlahan. Mencoba bersabar. Mamanya memang juara dalam menyiksa batin dan pendengarannya. “Lura!!” Teriakan menggema. Mama Lura memandang Lura dengan tajam. “Kenapa, sih, Ma?” tanya Lura dengan sedikit kesal. “Mama ini memang suka sekali berdrama, ya? Tadi katanya Lura nggak boleh menjawab setiap ucapan Mama. Giliran Lura diam dibentak-bentak lagi. Lura memang selalu salah,” balas Lura dengan menunduk dalam. Berpura-pura sakit hati, padahal ia baik-baik saja. Tak terpengaruh dengan drama yang mama Lura mainkan. Mama Lura mengembuskan napas besar. Energinya selalu terkuras bila menghadapi Lura. “Terserah. Mama capek. Mama mau ke kamar saja. Lama-lama Mama beneran cepat tua kalau seperti ini,” gerutunya sambil mulai melangkah meninggalkan Lura dan suaminya. “Mama baru sadar jika sudah tua? Harusnya Papa mengingatkan pada Mama supaya selalu menjaga emosinya. Nanti Mama bisa-bisa kena darah tinggi,” ucap Lura pada papanya. Sebuah sandal rumah berbahan tipis melayang tepat di depan muka Lura. Hanya berjarak satu centi dari hidungnya. Untungnya sandal tersebut tak sampai menimpuk mukanya. Lura pun mengelus dadanya lega. Sayangnya sandal itu melayang mengenai pipi tembam papanya. Membuat Lura dengan cepat bergegas meninggalkan papanya seorang diri di ruang tamu. Dalam langkahnya menuju kamar, Lura siap menunggu debat kecil kedua orang tuanya yang baginya lucu dan menghibur. Memunculkan senyum yang sangat jarang ia tampakkan. Sehingga membuat istirahatnya terasa lebih tenang karena harinya ditutup dengan kehangatan kedua orang tuanya yang selalu awet bagaikan ditambahkan formalin setiap harinya. Terima kasih telah membaca cerita ini. Jangan lupa tap love cerita ini, juga follow Bilbul17. Selamat menikmati hari-hari dengan penuh semangat dan keceriaan. Sampai jumpa di chapter berikutnya. With love, -Bilbul17-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD