2. Kehidupan Lura

1584 Words
Happy reading!! Tetap patuhi prokes dan jaga kesehatan ya ❤ Lura meninggalkan kelas dan berjalan menuju ke ruang keskretariatan mahasiswa. Selain memiliki ambisi menjadi mahasiswa yang aktif dalam pembelajaran, ia juga ingin aktif dalam organisasi. Ia tergabung dalam kepengurusan himpunan mahasiswa jurusan. Lura masuk ke dalam ruang kesekretariatan. Sudah banyak mahasiswa lain yang juga baru selesai kelas. “Nanti sore jadi rapat dengan dekanat?” tanya Lura pada ketua BEM yang duduk di dekatnya. Anggukan menjawab bahwa agenda rapat dengan dekanat akan berlangsung nanti sore. “Kenapa? Kamu mau ikut?” tanya ketua BEM itu. Ia memiliki perawakan yang tinggi tegap, seperti seorang atlet atau perwira negara. “Emang aku nggak boleh ikut?” tanya Lura balik. Ia sedikit kesal dengan ketua BEM-nya itu. Ia memiliki hak untuk bergabung dalam rapat sore nanti. Rapat nanti seharusnya dihadiri oleh ketua dan wakil ketua BEM, kepala tiap-tiap departemen, dan pengurus DPM. Ketua tersebut memasang wajah menyebalkannya. Ia sudah hapal betul dengan sifat Lura. Laki-laki itu tidak akan diam saja dalam rapat nanti. Bahkan, pesonanya dan wibawanya sebagai Ketua BEM akan terkalahkan dengan Lura yang pandai mengolah kata dan mempersuasi orang. “Mau berlagak jadi ketua BEM lagi?” tanyanya dengan kesal. Rapat tiga bulan lalu telah membuat dirinya dipermalukan di hadapan banyak orang, baik mahasiswa maupun pimpinan jurusan dan fakultas. Lura dengan percaya dirinya ia menyampaikan ide-ide yang memang cemerlang. Lura mendapatkan pujian dari para pimpinan, citranya sebagai Ketua BEM seperti hanya butiran debu. Menyebalkan. Ia ingin mencekik Lura rasanya. “Aku tidak pernah berlagak menjadi Ketua BEM. Aku hanya menyampaikan ide yang ada dalam pikiranku. Dirimu saja yang memang menjadi Ketua BEM boneka,” ejek Lura dengan senyum culas. Sebelum terjadi pertaruangan antara Lura dengan Ketua BEM itu, Lura segera mengangkat pantatnya dan berdiri menjauh. Ia paling benci dengan pertengkaran yang harus menggunakan otot. Bukan dirinya lemah, tetapi ia menyayangi tubuhnya dari luka. Ketua BEM itu sudah hendak mengejar dan menghajar Lura, tetapi rekan-rekannya yang menyaksikan perdebatan mereka berdua segera menghalangi niat itu. Lura dan Ketua BEM itu memang dari dulu tidak pernah akrab. Selalu berbeda pendapat. Selalu berdebat. Lura dan Bijama—ketua BEM saat ini dulunya adalah teman akrab. Namun, menurut isu yang beredar, karena mereka pernah sama-sama mencalonkan diri menjadi Ketua BEM dan Bijama yang terpilih, akhirnya membuat hubungan mereka berdua menjadi renggang. Entahlah. Tidak ada yang tahu kebenarannya kecuali mereka berdua. “Kamu nggak bisa ya, Lur nggak buat masalah dengan Bijama setiap hari?” tanya sebuah suara perempuan yang mengejar Lura. Lura hendak pergi ke food court universitas. Namun, langkahnya dihadang oleh Bubunga. Lura memandang malas ke arah perempuan itu. “Nggak usah ikut campur,” ucap Lura tegas. Ia melanjutkan langkahnya. Baru tiga langkah Lura berjalan, lengannya sudah ditarik oleh Bubunga. Bubunga mengabaikan banyak pasang mata yang sedang memperhatikan mereka. “Lura, kamu tahukan kalau aku sayang sama kamu? Aku nggak mau kamu sama Bijama terus-terusan bermusuhan,” jelas Bubunga penuh penekanan. Suaranya melemah. Ia tidak ingin semakin menjadi pusat perhatian banyak orang jika mendengar ucapannya itu. Bisa-bisa masalah akan semakin runyam. “Sayangnya seorang perempuan kepada laki-laki itu tidak untuk dibagi-bagi. Jadi, hentikan obrolan apa pun denganku jika menyangkut tentang cinta dan kasih sayang. Bullshit,” tandas Lura. Ia dengan perlahan melepaskan genggaman tangan Bubunga yang menempel di lengannya. Bubunga memandang nanar punggung Lura yang menjauh. Ia sudah berniat mengejar dan mengajak berbincang laki-laki itu dengan kepala dingin, tetapi saat melihat wajah Lura yang malas memandangnya membuat ia mengurungkan niat itu. Lura memasang wajah dinginnya. Ia hanya mengangguk kala beberapa adik tingkat atau temannya menyapanya di perjalanan menuju food court. Ia sedang malas bersosialisasi dengan orang-orang. Meskipun Lura mahasiswa ambis, ia terkenal humble dan asyik diajak berbicara. Yah, walaupun kadang-kadang Lura juga sering mengesalkan saat berbicara. Lura memesan soto. Tak lupa meminta pedagang soto tersebut menambahkan sambal tiga sendok makan. Jika sedang kesal atau marah, ia akan melampiaskan emosinya itu dengan makanan pedas hingga super pedas. Namun tetap memperhatikan kesehatan lambungnya. “Jutek banget mukamu, Lur. Aku gabung, ya. Males aku duduk sama temen-temen penjilat.” Seorang perempuan tiba-tiba duduk di kursi yang ada di mejanya. Perempuan itu bernama Penna. Ia satu kelompok dengannya dalam kegiatan praktikum lapangan mata kuliah Sistematika Tumbuhan nanti. Penna jika diibaratkan dalam dunia ibu-ibu, ia adalah salah satu anggota ibu-ibu sosialita. Mulai dari sepatu hingga tas semuanya adalah barang branded. Tatanan rambutnya saja diatur oleh hair stylist terkenal, wajar saja jika Penna mengatakan bahwa ia malas duduk dengan teman-teman penjilat karena kebanyakan orang yang berteman dengannya hanya ingin mencicipi kekayaannya. Dan bergabung dengan Lura menurutnya bukan pilihan yang berat karena laki-laki itu pasti akan bodoh amat dengan celotehannya. Benar dugaan Penna. Lura mengabaikan keberadaannya. Mungkin jika laki-laki lain yang duduk dengannya tidak akan menyiakan kesempatan untuk merayu atau mungkin dengan nekat akan mengajak Penna menjadi kekasihnya. Namun, lihatlah, Lura lebih asyik dengan mangkok sotonya. Hanya memandangnya sekilas tadi saat ia ijin duduk satu meja dengannya. Lura menandaskan es jeruknya dengan cepat. Ia malas menjadi tontonan gratis mahasiswa lain yang juga sedang makan siang di food court. Tidak lupa sebelum ia berdiri dari kursinya, ia meletakkan selembar uang 50 ribu ke mejanya. “Buat bayar makanmu,” ucap Lura. Tanpa menunggu jawaban dari Penna yang sedang asyik memakan salad buahnya, Lura berjalan keluar area food court. Ia diajarkan oleh ayahnya agar menjadi laki-laki yang bertanggung jawab. Yah, meskipun bukan dirinya yang mengajak Penna makan, tetapi ia bukan laki-laki b******k yang tidak tahu diri. Maka ia memilih meninggalkan uang saat akan meninggalkan food court. Jika ia memberikan itu saat masih sedang makan, maka Penna dengan tegas akan menolak. Ia tahu bahwa Penna adalah putri dari keluarga yang bukan sembarangan. Ia juga yakin bahwa Penna tidak pernah kehabisan uang, tetapi ia merasa harus dan perlu berbuat demikian. Ia satu meja dengan seorang perempuan yang juga sedang makan. Maka membayar sekaligus adalah perilaku yang harus ia ambil. Penna memasang wajah bingung. Ia memandang tubuh Lura yang sudah tidak terlihat. Ia tidak merasa terhina dengan uang yang Lura tinggalkan. Ia bahkan merasa terharu karena Lura adalah laki-laki yang baik. Selama ini ia menilai Lura adalah laki-laki ambisius yang tidak memiliki hati nurani. Namun setelah ia mendapatkan perlakuan istimewa seperti ini, penilaiannya selama ini salah. Benar kata pepatah bahwa kita jangan menilai orang lain dari mulut ke mulut, tetapi kita harus mengenal orang itu sendiri. Bubunga yang tadi membuntuti Lura hingga ke food court melihat bahwa Lura masih laki-laki baik seperti dulu. Laki-laki itu tidak pernah berubah. Ia selalu memperlakukan perempuan dengan baik. Memperlakukan perempuan dengan istimewa bak seorang ratu. Dirinya sajalah yang dengan bodohnya termakan bujuk rayu orang lain. ‘Bodoh,’ rutuk Bubunga pada dirinya sendiri. Ia memandang iri kepada Penna yang dapat duduk satu meja dengan Lura tanpa pengusiran. Sedangkan dirinya. Ah, sudahlah. ‘Sudahlah, Bung. Itu salahmu sendiri. Jadi jangan salahkan Lura jika ia memilih jauh darimu. Jalani hidupmu yang saat ini,’ ucap hati Bubunga. Bubunga pun ikut meninggalkan area food court setelah membeli satu cup jus jeruk, jus kesukaan Lura. ‘Lura lagi. Lura lagi.’ *** Lura yang akan menuju ke kelas berikutnya harus terhenti langkahnya karena Bijama yang menghadang langkahnya. Lura memasang wajah datarnya. Cukup sudah ia berdebat dengan Bijama tadi saat di ruang kesekretariatan, tidak perlu lagi dilanjutkan di lorong menuju gedung perkuliahan. “Ngapain ngobrol dengan Bubunga lagi? Pakek sok jual mahal lagi.” Lura diam. Ia tidak ingin merespons kesoktahuan sang Ketua BEM itu. Ia melanjutkan langkahnya. Bijama tidak terima. Ia segera menarik pundak Lura. Bijama sudah hendak melayangkan kepalan tangannya pada muka datar Lura tetapi terhalang oleh teriakan Bubunga. “Bijama! Apa yang kamu lakukan?” “Kenapa? Kamu mau membela laki-laki ini, hah?” Lura mengabaikan perdebatan dua anak manusia itu. Ia melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. “Heh! Berhenti b******n!” Lura tidak mempedulikan, ia tetap melanjutkan langkahnya. Bijama yang sudah hendak mengejar Lura sudah dicekal oleh Bubunga. “Kamu kenapa lagi sih?” “Kamu yang kenapa? Kamu kenapa masih mengobrol dengan dia, hah?” teriak Bijama. Bubunga pun tidak tinggal diam. Cukup sudah selama ini dirinya diam saat dibentak oleh Bijama. Bubunga memasang senyum mengejek. “Dan bodohnya kenapa aku harus mau sama kamu. Laki-laki yang lebih b******n. Pengecut.” Bubunga segera melangkah dengan langkah lebarnya meninggalkan Bijama dengan diikuti empat teman perempuannya. Mengabaikan wajah Bijama yang menampilkan raut menahan amarah. Rahangnya mengeras. Tangannya mengepal dengan kuat. Kepalan tangan itu sudah hendak ia tinjukan pada tembok terdekat. Namun niat itu terhalangi oleh sebuah lengan kekar yang mencekal lengannya. “Jangan merusak fasilitas kampus karena amarahmu. Ketua BEM itu dijadikan contoh yang baik, bukan malah merusak! Memang dengan kamu merusak fasilitas dan jabatanmu sebagai Ketua BEM membuatmu dengan bebas berbuat keonaran? Gunakan otakmu jangan hanya ototmu!” Laki-laki itu meninggalkan Bijama yang terpaku. Ah, karena emosi akibat perempuan membuatnya tidak dapat menahan amarah. Namun, memang itu kelemahannya dari dulu. Ia tidak dapat mengontrol diri jika di hadapan perempuan yang ia inginkan. ‘Bodoh. Bodoh,’ rutuk Bijama. Ia mencengkeram rambutnya kuat, membuat tatanan rambutnya berantakan bagaikan sarang burung. Ah, bahkan sarang burung lebih rapi dan indah. Reputasinya sebagai Ketua BEM semakin menurun. Ia sudah melemparkan kotoran ke mukanya sendiri. Sikap temperamen dan mudah marahnya ternyata memang membawa dampak buruk terhadap dirinya, kehidupannya, dan citra dirinya. Terima kasih sudah membaca cerita ini. Mungkin saya hanya meng-update dua bab dulu, ya. Saya masih ada tanggungan cerita My Porter is My Partner. Kalian bisa cek cerita itu juga, ya. Baca cerita saya yang lain juga. Sekali lagi terima kasih ❤
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD