Sang Pengecut

1579 Words
Kevin melangkah gontai melewati koridor rumah sakit yang sudah sepi pengunjung, cowok itu baru pulang sekolah dan langsung datang menjenguk sang ibu yang sudah lama koma. Sesekali ia menghela nafas gusar, selalu saja ada perasaan aneh jika harus ke tempat yang ingin ia hindari itu. Namun, beberapa tahun ini ia harus menjadi langganan rumah sakit karena harus menengok sang ibu yang sudah lama di rawat disana setelah kecelakaan naas yang menimpanya. Tangannya meraih knock pintu dengan menghela pelan sebelum melangkah masuk. Kevin tersenyum samar lalu meraih tangan sang mama yang masih terpasang infus obat, "Assalamu 'alaikum Bu, Kevin datang lagi," ujarnya bermonolog sendiri. "Hari ini Kevin dapat uang tambahan lagi dari hasil ngajar. Ibu cepat bangun lah bu. Masa betah tidur mulu, gak cape apa tiduran mulu?" Terusnya lagi dengan tangan yang menggenggam erat tangan pucat ibunya. "Doain yah bu, semoga Kevin bisa ikut Olimpiade lagi," katanya dengan tersenyum tipis, pemuda yang masih berseragam sekolah itu merunduk dan mencium tangan ibunya. Deritan pintu membuat ia menoleh dan tersenyum samar saat melihat suster yang datang mengecek keadaan ibunya. "Mas Kevin tumben agak telat datangnya, biasanya sebelum sore udah disini?" Tanya suster karena memang pemuda itu sudah dikenali oleh beberapa perawat disana. "Ada hal yang harus saya urus dulu sus," balasnya dengan menarik kedua sudut bibirnya. Suster menatap haru kearah remaja itu, tidak tega melihat remaja seumuran Kevin harus menjadi tulang punggung keluarga.karena memang Kevin yang setiap hari datang menengok keadaan ibunya. Tidak ada sanak kekuarga yang lain, bahkan sang ayah tidak tahu dimana. Kevin yang harus kerja banting tulang dan berusaha membagi waktu untuk belajar demi mendapatkan uang untuk melunasi administrasi rumah sakit setiap bulannya. Untungnya Allah menganugerahinya otak cerdas, dan bisa menjadi tutor buat teman-temannya. Dan dari situlah ia mendapatkan uang untuk itu semua. "Mas Kevin sudah makan?" Kevin tersenyum tipis lalu mengangguk. "Kalau belum makan, ke kantin rumah sakit aja nanti bilang disuruh suster Laras," ujarnya membuat Kevin terkekeh pelan. "Makasih sus, tapi saya sudah makan di sekolah tadi," suster itupun mengangguk lalu menulis sesuatu pada kertas yang berlapiskan papan pada tangannya itu setelah selesai mengecek keadaan ibu Kevin. "Yaudah saya pamit, keadaan ibu kamu masih seperti biasa. Belum ada tanda-tanda siuman, perbanyak doa saja yah," pemuda berkacamata bening itu hanya tersenyum nanar menatap perempuan hebatnya yang masih terbaring di ranjang. Jujur ia ingin memberontak sekarang, tapi pada siapa? Melihat ibunya yang masih terbaring kaku disana membuat sebagian jiwanya hilang. Ia berharap sang ibu suatu saat nanti bisa hidup seperti layaknya manusia normal lainnya. Bisa beraktifitas selayaknya seorang ibu, bukan hanya menjadi manusia yang hanya bisa menunggu kematian menjemput. Padahal kematian tidak datang pada yang kecil, remaja, tua ataupun sakit. Kematian datang pada semua yang hidup. Skenario Allah tidak ada yang tahu, semua sudah tertulis lama di lauful Mahfudz. *** Azzam, Kevin dan juga Alisa tengah berdiri di depan ruang guru sembari menunggu Ibu Naya yang tadi memanggil mereka untuk datang menemuinya. Alisa sendiri sudah menggeser tubuhnya agar mendekat pada Azzam sembari tebar pesona. "Lo juga dipanggil sama bu Naya. Kenapa?" Azzam menggeleng pelan, karena memang ia tidak tahu kenapa harus berdiri disana dengan kedua seniornya itu. "Lo ada bikin masalah sama bu Naya, biasanya yah kalau ada yang berani cari masalah di mata pelajarannya beliau langsung dapat surat panggilan untuk orang tua," Ujarnya dengan mimik serius, Azzam tak menggubris hanya diam dan mengedarkan pandangannya mencari sosok Ibu Naya yang masih belum menampakan diri. "Kalau gue sama Kevin pasti dipanggil karena urusan Olimpiade, kita berdua itu langgangan OSN sekolah," sombongnya dengan bangga, Kevin hanya menghela pelan. Suara langkah kaki membuat ketiganya menoleh, wanita paruhbaya berkerudung itu tersenyum tipis kearah ketiganya. "Kalian dari tadi? Maaf agak lama soalnya tadi ibu dari kelas sepuluh dulu," jelasnya lalu mendudukan diri pada kursi kebesarannya. "Silahkan duduk," ujarnya membuat ketiga muridnya itu mendudukan diri lalu menatap serius kearahnya. "Maksud ibu manggil kalian bertiga mau menyampaikan masalah Olimpiade," Alisa menautkan alis bingung karena setahu gadis itu lomba Olimpiade hanya mmbutuhkan dua orang selama ini. "Bu, Azzam juga ikut?" Tunjuk Alisa dengan wajah seakan meremehkan cowok itu. "Setelah ibu lihat nilai sekolah dari Azzam, dia termasuk murid terbaik di sekolah menengah pertamanya. Bahkan nilanya lebih unggul dari kalian berdua, jadi ibu memutuskan untuk mengutus Kevin dan Azzam yang ikut olimpiade tahun ini," Alisa mengeraskan rahangnya merasa tidak terima dengan pernyataan ibu Naya. "Gak bisa begitu dong bu, selama ini kan saya dan Kevin yang wakilin. Kenapa harus anak baru, lagian ibu juga gak bisa memutuskan secara sebelah pihak begini dong bu. Ibu tahu kan, papa saya salah satu yang punya saham di sekolah ini" Kevin mendesah pelan merasa geram dengan sikap Alisa yang seenaknya. Ibu Naya menggeleng dengan senyuman yang sulit diartikan, "Ini gak ada hubungannya sama sekali dengan olimpiade. Mau kamu anak yang punya yayasan atau pemegang saham, ibu butuh itu. Yang ibu butuhkan siswa yang berotak, bukan yang beruang," sindir Ibu Naya pedas dengan tersenyum samar. Alisa menatap Ibu Naya kesal, "Lihat aja apa yang akan saya lakukan ke ibu nanti," ancamnya lalu menyempatkan melirik tajam kearah Azzam yang hanya diam saja sedari tadi. "Astagfirullah Alisa," ucap Ibu Naya sembari menghela nafas. Merasa miris dengan sikap putri semata wayang bapak Nugrogo itu. "Kalian siapkan wakilin sekolah buat Olimpiade?" Keduanya mengangguk pelan membuat senyuman terpatri pada bibir ibu Naya. "Besok Ibu akan kasih soal-soal dan buku-buku untuk kalian pelajari," lagi-lagi keduanya hanya mengangguk pelan lalu pamit untuk kembali ke kelas masing-masing. Keduanya berjalan beriringan dengan mulut yang sama-sama bungkam. Azura yang sedari tadi menunggu di ujung koridor, merasa cemas kenapa Azzam sampai dipanggil guru itupun berlari mendekat kearah keduanya. "Gimana, lo ada bikin masalah apa sampai dipanggil Ibu Naya?" Ujarnya cemas dengan nafas yang masih tersenggal-senggal. "Gakpapa," Azura mencak-mencak di tempat mendengar balasan tenang dari kembarannya itu. Kevin yang melihat itu hanya menatap cewek itu dengan mengulum senyum. "Emang gakpapa, gue dipanggil buat ikut Olimpiade," Azura memekik dengan mulut menganga kecil, Azzam langsung menjulurkan tangannya dan mengatupkan bibir mungil cewek itu. Mau tidak mau Kevin terkekeh pelan melihat interaksi keduanya. "Serius?" Azzam mengangguk pelan, "Ih gue senang sumpah, bangga bangat gue jadi kembaran lo. Baru jadi murid baru aja udah bisa wakilin sekolah ikut OSN," cerocos Azura masih dengan wajah merekah senang. "Kak Kevin juga?" Kevin mangangguk sedangkan Azzam mendelik kecil. Azzam menautkan alis mendengar itu, "Kak Kevin?" Ulang Azzam membuat adiknya itu mencicit malu. "Yah diakan lebih tua dari gue, gak sopan aja kalau manggil nama aja," alibinya sembari menahan senyum. "Gue juga lebih tua dari lo, tapi gak lo panggil kakak?" Protes Azzam merasa dihianati sebagai seorang abang dan juga kembarannya. "Apaan sih Zam, beda dua menitan juga. Udah yuk ke kantin, gue traktir mie pangsit bakso." Bujuknya dengan mengalungkan tangannya pada lengan cowok jangkung itu. "Kak Kevin ikut juga yah!" "Boleh," balas Kevin cepat, Azzam menghela kasar sembari melirik Kevin yang sudah tersenyum lembut kearah Azura. "Aduh, lama-lama leher gue cape dongak mulu kalau ngobrol sama kalian. Nunduk dikit bisa kek," ujarnya sembari menunduk karena merasa keram mendongak kiri dan kanan kearah Azzam dan juga Kevin. "Pendek sih lo," ujar Alvaro tiba-tiba muncul dengan Intan yang sudah melambai manis pada Azzam dan juga Kevin. "Gue gak pendek yah, mereka aja yang ketinggian," ujarnya membela diri, Intan hanya memutar matanya jengah melihat keduanya. "Kalau gue ngomong kayak gini sama lo, lo capek gak?" Ujar Kevin sudah memajukan wajahnya dan mensejajarkan tinggi badannya dengan Azura. Azura langsung mencicit kecil dengan berdehem pelan sembari melirik kearah Azzam yang memicingkan mata kearahnya. "Aduh kak Kevin peka bangat yah jadi cowok," pekik Intan, Alvaro mencebikan bibir kesal. "Heh daki firaun, gak usah kegenitan lo jadi cewek," Intan meliriknya tajam lalu tersenyum manis lagi kearah Azzam. "Bisa diam gak sih lo, kutu beras?" "Apasih minion," balas Al nyolot kearah Azura. "Kurang ajar lo yah ngatain gue minion," sentaknya dengan wajah sangar. "Emang tubuh lo mini, tulang lo tuh cuma seperempat dari tulang gue," cerocos Al menghina. "s****n. Azzam!" Rengeknya sembari mengadu, Azzam hanya mengedikan bahu tak tahu. "Kak!" Ujarnya sembari merengek pada Kevin yang langsung membuat cowok itu terkekeh melihat wajah imutnya. "Najis, sok cantik!" Kata Al lagi tak santai sembari mengusap kasar wajah Azura. "Al guguk!" Balasnya sudah melarikan diri membuat Alvaro langsung mengumpat kasar. *** Gadis berambut sebahu itu melangkah pelan memasuki rumahnya dan menautkan alis melihat mamanya yang sudah tersenyum bangga menyambutnya. "Mama udah siapin semua keperluan kamu buat olimpiade, mama juga udah pilih soal-soal yang biasa keluar," Alisa menghela kasar sembari tersenyum sinis. "Gak perlu, Alisa gak ikut olimpiade," ujarnya berlalu namun dengan cepat Clara mencengkaram tangan putrinya itu. "Maksud kamu apa? Kalau kamu gak ikut siapa yang gantiin kamu?" Sentak mamanya kasar sembari menarik Alisa untuk duduk. "Anak kelas sepuluh, namanya Azzam," Clara mengeraskan rahangnya merasa kesal dengan apa yang baru ia dengarkan. "Kamu kenapa bisa kalah dari dia. Kamu ini gimana sih. Papa sama mama udah banting tulang buat kamu, tapi ini balasan kamu. Jadi anak yang cuma bisa bikin malu keluarga? Contoh Karina anaknya tante Qila, dia selalu jadi murid terbaik disekolahnya." Alisa menepis pelan tangan mamanya yang masih mencengkram tangannya. "Kamu mau diam aja setelah mereka semua ngerebutin posisi kamu?" Alisa diam dengan mata yang sudah menajam. "Lakukan sesuatu, biar mereka gagal masuk olimpiade. Hancurin mereka semua," saran mamanya sesat. "Terkadang kamu harus menjadi pengecut agar bisa menang, walau harus menusuk lawan dari belakang," kata mamanya lagi lalu berlalu pergi. Alisa mengepalkan tangannya erat, menjadi pengecut? Menusuk lawan dari belakang ? Gadis itu tersenyum miring, kepikiran akan melakukan sesuatu sebagai bentuk perlawanan untuk Azzam. "Azura yang malang," tuturnya sinis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD